Mohon tunggu...
Denny Yan Fauzi Nasution
Denny Yan Fauzi Nasution Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

Yang selalu berusaha bisa bersyukur atas kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Diary

Surat Kecil untuk Anakku

27 Juli 2023   00:00 Diperbarui: 27 Juli 2023   00:05 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Hai, Nak, selamat ulang tahun, ya. Ayah berharap kamu bahagia.

Kamu tahu, Nak, ternyata ada orang yang serius memikirkan tentang kebahagiaan ini. Namanya Ruut Veenhoven. Ia adalah seorang profesor dari Belanda dan bapak riset kebahagiaan. Ayah juga baru tahu setelah baca buku Eric Weiner, The Geography of Bliss.

Veenhoven ini membuat basis data tentang kebahagiaan di dunia yang disebut World Database of Happiness (WDH). Dari sinilah Weiner mencoba menelusuri bagian-bagian dunia mana saja yang masuk kategori bahagia. Eric berkeliling dunia, tepatnya berkeliling ke sepuluh negara di dunia untuk menguji temuan Veenhoven.

Nak, sayangku, ayah sudah bilang ke Eric supaya kamu boleh ikut keliling ke sepuluh negara itu, ya...anggap saja ini hadiah kecil dari ayah di ulang tahunmu.   

Pertama-tama kita ke Belanda. Negara yang pernah begitu lama berkuasa di nusantara kita ini secara konsisten mendapat skor tinggi pada skala kebahagiaan dalam WDH. Apakah Belanda konsisten bahagia sejak menjadi tuan di negeri kita berabad-abad lalu? Betapa pun, Belanda juga pernah menderita di bawah Nazi Jerman. Eric tidak memberitahu kita sejak kapan persismya Belanda secara konsisten menempati peringkat di dekat puncak piramida kebahagiaan. 

Kenapa Belanda begitu bahagia? "Pertama-tama," kata Eric "orang Belanda adalah orang Eropa, dan itu berarti mereka tidak perlu khawatir kehilangan asuransi kesehatan ataupun pekerjaan mereka. Negara telah mengurus mereka. Dan satu lagi, toleransi. Orang Belanda menoleransi apa saja, bahkan ketidaktoleransian. Riset Veenhoven menunjukkan bahwa orang yang toleran cenderung bahagia."


Di Belanda ada kedai-kedai kopi yang menurut Eric bukan benar-benar merupakan kedai kopi, tapi kedai remang-remang yang menyediakan narkoba ringan, mariyuana, dan ganja. Ya, narkoba memang menjadi salah satu yang dilegalkan dan ditoleransi di Belanda, selain prostitusi dan bersepeda.

Ah, sepertinya kita tidak perlu masuk ke kedai remang-remang narkoba itu, ya, Nak. Ayah lebih memilih melanjutkan perjalanan. Cukup tahu saja. Eric sendiri mengkritik toleransi Belanda. "Toleransi itu sangat bagus, tetapi toleransi (dengan suasana yang begitu banyak kelonggaran) dapat dengan mudah bergeser ke ketidakpedulian." Ayah bahkan tidak terlalu yakin orang Belanda benar-benar bahagia. 

Kita tinggalkan Belanda. Siap-siap, kita ke satu negara Eropa lain yang berlimpah cokelat. Ya, Swiss. Nak, kamu mesti mencicip cokelat Swiss langsung dari pabriknya.  

Apakah Swiss lebih bahagia dibanding Belanda? Tingkat kebahagiaan Swiss hampir nomor satu, seperti Belanda. Agaknya itu wajar saja. Menurut Eric, selain kaya, Swiss juga negara yang efisien dan tepat waktu. Di Swiss nyaris tidak ada pengangguran, udaranya bersih, dan jalan-jalannya juga nyaris tidak bernoda. Apakah hanya itu? Apa yang membuat Swiss begitu bahagia? Orang Swiss menyadari sesuatu: "Lebih baik hidup di rentang tengah daripada terus menerus berayun dari titik tertinggi dan titik terendah." Barangkali itu artinya orang Swiss lebih suka menikmati apa yang ada. Dalam bahasa lainnya, ada ya bersyukur, nggak ada ya selow. Hehehe...

Kenyataannya, hidup di rentang tengah menjadikan orang Swiss berada di situasi yang konsisten stabil dan kondusif. Eric menyebutnya dengan istilah conjoyment, yang menggambarkan semua jenis situasi  di mana kita merasa bergembira tetapi sekaligus tenang.

Sampai di sini, kamu lebih suka Swiss atau Belanda? Tahan dulu, belum saatnya memilih. Perjalanan masih panjang. Ada delapan negara lagi yang belum kita kunjungi.

Sekarang kita singgah ke satu negara yang sangat serius dalam urusan kebahagiaan ini. Kalau kamu nanti mulai belajar peta dunia, perhatikanlah sebuah negara yang diapit Nepal dan Bangladesh, dan di antara dua negara besar di Asia Selatan, sisi utaranya ada Tiongkok dan selatannya India. Ya, Bhutan. Itulah namanya. Mirip dengan nama pulau penghasil aspal di negeri kita ya, Pulau Buton. Apakah guru ilmu bumimu sudah mengenalkannya di kelas? Ingat-ingat Buton, ingat-ingat Bhutan, ya, Nak.

Eric memberi kita petunjuk tentang negara kecil di pegunungan Himalaya ini. Kata Eric, "Bhutan memiliki keunikan yang menonjol. Bhutan memiliki pegunungan, puncak-puncak menjulang yang menyentuh surga, memiliki Lama dan mistik, dan tsechu, festival besar dengan berbagai hal yang kau tidak pernah lihat sebelumnya, hal-hal yang menakjubkan." Bhutan juga memiliki busana khas untuk pria, Gho namanya. Gho menurut Eric tampak menyerupai mantel mandi, hanya saja lebih berat dan dilengkapi dengan saku-saku besar. Semua pria Bhutan diharuskan memakainya selama jam kerja (Bhutan merupakan satu-satunya negara di dunia yang memiliki kode etik busana untuk pria). Selain itu, Bhutan adalah tempat yang terbalik. Di sini, angka 13 dianggap mujur. Ketika melakukan perjalanan di Bhutan, kita harus sungguh-sungguh menahan rasa tidak percaya.  Di sini, Nak, kenyataan dan fantasi hidup berdampingan. Kadang-kadang, keduanya tidak dapat dibedakan antara satu sama lain. Seru ya... 

Ada satu gagasan unik tentang kebahagiaan di Bhutan. Tahun 1973, Raja Bhutan, Wangchuk, mulai mengenalkan kebijakan yang disebut Kebahagiaan Nasional Bruto (KNB). Secara ringkas, KNB berusaha mengukur kemajuan bangsa bukan lewat neraca dagangnya, melainkan lewat kebahagiaan -- atau ketidakbahagiaan -- rakyatnya. Eric menerangkan bahwa hal tersebut merupakan konsep yang merepresentasikan pergeseran mendalam dari cara kita berpikir tentang uang dan kepuasan dan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya. Bagaimana suatu pemerintah dapat memiliki kebijakan tentang kebahagiaan? Menurut Eric, ini absurd. Betapa pun, seperti yang diungkap Eric, tingkat kejahatan yang rendah di Bhutan -- pembunuhan hampir tidak terdengar -- memberi kontribusi terhadap keseluruhan kebahagiaan. Harapan hidup telah bertambah, dari 42 menjadi 64 tahun. Selain itu, pemerintah menyediakan pendidikan dan layanan kesehatan bebas bagi semua warga negaranya. Dan satu lagi, Bhutan adalah negara pertama di dunia yang melarang merokok: penjualan tembakau dilarang. Tentu ini kebijakan baik buat mereka yang anti tembakau, tapi buat 'turis' perokok seperti ayah, itu berita buruk. Hehehe... 

Lalu, bagaimana rakyat Bhutan menerima gagasan KNB ini? Eric mengajak kita bertemu dengan seorang warga Bhutan, Sanjay Penjor. KNB bagi warga Bhutan seperti Penjor berarti "mengetahui berbagai keterbatasanmu. Mengetahui seberapa banyak adalah cukup." Kedengarannya mirip seperti conjoyment orang Swiss ya. 

Hei, Nak, apa kamu suka di Bhutan? Ayah rasanya mulai betah, kecuali larangan merokok itu. Tapi kita mesti berkemas. Eric sudah menunggu kita menuju Qatar.

"Ambil sebongkah pasir berkualitas rendah di Teluk Persia, tambahkan banyak minyak, sedikit gas, dan kocok. Atau bayangkan bahwa kau dan seluruh kerabatmu kaya. Luar biasa kaya. Kemudian, bayangkan bahwa keluargamu memiliki negara sendiri, di suatu tempat di semananjung Arab. Nyatanya, Qatar lebih merupakan keluarga daripada negara. Sebuah suku yang mempunyai bendera." Begitulah Qatar dalam gambaran Eric. 

Qatar menurut Eric memang merupakan puncak dari negara yang mampu memenuhi hak warganya (welfare state). Air di Qatar gratis, begitu juga dengan listrik, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Pemerintah bahkan menggaji mahasiswa perguruan tinggi Qatar meski kecil. Apabila seorang pria Qatar menikah, pemerintah memberinya sebidang tanah untuk membangun rumah, hipotek bebas bunga, dan, untuk membantu, tunjangan bulanan sebesar kira-kira tujuh ribu dolar. Tidak seperti di negara-negara Eropa yang mampu memenuhi hak warganya, orang Qatar tidak dibebani pajak tinggi.  "Mereka memang tidak dibebani pajak sama sekali," kata Eric. 

Apakah orang Qatar bahagia? Jika ukurannya uang dan kemakmuran, Qatar tentu negara paling bahagia di dunia. Di titik itu, agaknya kita memang tidak perlu membuat definisi yang terlalu kaku tentang (ke)bahagia(an). 

Ayah rasa kita tidak perlu lama-lama di sini ya, Nak. Eric bilang, di Qatar, orang asing seperti kita ini selalu bersalah. Ini ada kaitannya dengan apa yang disebut in vehicle veritas (kebenaran di dalam kendaraan). Ini adalah cara kamu mengetahui jati diri rakyat suatu negara dengan melihat bagaimana mereka berkendara. Pengemudi Qatar bisa menabrak kita dari belakang jika tidak segera minggir ketika ia ingin mendahului dengan berada dalam jarak dua puluh sentimeter, mengedip-ngedipkan lampu jauh berkali-kali dan membunyikan klakson dengan nyaring. Mengapa? Karena dia bisa. Dan itu bisa terjadi untuk orang asing. Sebelum itu terjadi, ada baiknya kita berkemas dan segera meninggalkan negara para emir ini. Ayah kira kita tidak bahagia di sini.

Dari Qatar, Eric membawa kita ke Islandia, "tanah es yang dingin dan gelap". Seluruh populasi negara ini menurut Eric hanya tiga ratus ribu. Wow! Hanya 3% nya dari seluruh populasi Jakarta (per Juni 2022, total penduduk DKI Jakarta 11.249.585). Bahkan lebih sedikit dari populasi warga di Jakarta Pusat yang berjumlah 1.105.731 jiwa. (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/10/09/jakarta-pusat-jadi-wilayah-terpadat-di-ibu-kota-per-juni-2022). 

"Islandia memang sekecil desa, tetapi dia adalah sebuah negara," terang Eric. Menurut database Veenhoven tentang kebahagiaan, Islandia secara konsisten mendapat predikat sebagai salah satu negara paling bahagia di bumi. Islandia agaknya penganut 'wilayah tengah' seperti Bhutan dan Swiss. Bangsa Viking ini menurut Eric percaya bahwa semuanya harus sedang-sedang saja, bahkan bersenang-senang pun tak boleh berlebihan. Bagaimana cara orang Islandia menjadi bahagia? "Melalui bahasanya. Segala sesuatu yang bijak dan hebat di Islandia mengalir dari bahasanya dan sumber melimpah bagi kebahagiaan," kata Eric. Ucapan selamat datang di Islandia adalah "datanglah dengan bahagia." Ketika orang Islandia berpisah, mereka mengatakan, "pergilah dengan bahagia."

Ada tiga hal yang ayah suka di Islandia; buku, kopi, dan catur. Mengenai buku, orang Islandia punya pepatah, "Lebih baik berjalan telanjang kaki daripada tanpa buku." Kopi di Islandia menurut Eric sama pentingnya dengan oksigen. Sebagaimana mereka mencintai buku dan kopi, orang Islandia juga memiliki cinta yang begitu dalam pada permainan catur. Ayah rasa ini kombinasi yang pas untuk merayakan hidup ini, Nak. Buku setidaknya mengingatkan kita bahwa perangkat akal yang diberikan Tuhan, yang dengan itu manusia mampu membaca dan menulis, dan melahirkan buku-buku, sungguh bermanfaat dan ada gunanya. Kopi dan catur menyadarkan kita betapa hidup ini meskipun terkadang pahit dan ruwet, tapi seru dan sesungguhnya asyik untuk dijalani. Kalau boleh dan bisa, ayah ingin di Islandia saja. Tapi agaknya, iklim yang dingin dan selalu dalam kegelapan barangkali tidak terlalu cocok dengan tubuh tropis kita.

Nah, kemana lagi Eric membawa kita? Ke Asia, tepatnya ke Bangkok, Thailand. Ada alasan kenapa Thailand menjadi salah satu negara bahagia di Asia. Menurut Eric, di Bangkok, yang sakral dan yang profan hidup berdampingan. Orang Thailand menerima apa yang telah terjadi, bukan berarti mereka menyukai apa yang terjadi atau ingin hal itu terulang lagi. Mereka mempunyai pandangan jangka panjang: keabadian. Jika tidak bisa dibereskan dalam kehidupan ini, masih ada kehidupan berikutnya, yang berikutnya, dan seterusnya.

Apakah kamu mulai bosan? Bagaimana kalau ayah sing a song? 

"Ob-la-di, ob-la-da, life goes on...bra...la la how the life goes on...,"

Yes, di sinilah kita, Nak. Kalau kau sudah melihat Abbey Road yang terkenal itu, artinya kita sudah sampai di 'rumah' The Beatles..., ya, Inggris, Britania Raya. Orang Inggris ternyata tidak sebahagia kelihatannya. "Bagi orang Inggris," kata Eric "kebahagiaan adalah barang impor lintas Atlantik. Orang yang bahagia hanya sedikit dan dicurigai." Kebahagiaan sebagai barang impor lintas Atlantik dicurigai sebagai 'terlalu Amerika', dan menjadi 'terlalu Amerika' atau seperti orang Amerika adalah hal terburuk bagi orang Inggris.

Nah, lho, kenapa juga menjadi terlalu Amerika atau seperti orang Amerika kok buruk ya bagi orang Inggris? Apa mungkin sebagai Eropa, orang Inggris merasa lebih berbudaya dibanding Amerika? Atau jangan-jangan, orang Inggris melihat kehidupan materialistis orang Amerika sesungguhnya rapuh, tidak layak dijalani, dan bukan merupakan kebahagiaan yang sesungguhnya? Entahlah. 

Tapi agaknya, yang dikehendaki sebagian orang Inggris, seperti kata Tim, teman kita yang dikenalkan Eric di sini, adalah "kehidupan yang bermakna, dan itu tidak mesti sama dengan hidup bahagia." Sampai di sini ayah setuju. Menjalani kehidupan yang bermakna ayah rasa menjadi sangat penting setidaknya untuk ayah yang seringkali lupa bahwa dengan menjalani kehidupan yang bermaknalah maka diri ini ada. Dan itu, sekali lagi, tidak mesti sama dengan hidup bahagia. 

Nak, kalau saatnya nanti kau membaca karya-karya Dickens, Orwell, Woolf, sebagian dari sastrawan besar Inggris yang ayah kagumi, ayah berharap ini dapat - setidaknya menuntunmu ke arah pilihan hidup yang lebih bermakna.  

Dari Inggris, kita ke India. Negara yang pernah menjadi negeri jajahan Britania Raya ini adalah satu dari sedikit negara dengan budaya yang kuat, yang setidaknya dengan budaya mereka berusaha menjadikan hidup lebih bermakna. Apakah menurutmu ini terdengar dipaksakan? Tentu ayah sekadar menarasikannya supaya sedikit masuk akal dan nyambung. Hehehe... 

Apa yang ingin ayah katakan adalah bahwa orang India, dengan budayanya yang kuat tidak mudah diayun ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang. Ini menjadikan mereka mampu beradaptasi tanpa 'merusak' tatanan budaya yang telah mengakar dan menjadi bagian keseharian orang India. Eric memberi contoh budaya makan cepat saji, McDonald's. Karena umat Hindu tak makan daging sapi, McDonald's untuk pertama kalinya menghapus Bic Mac dan seluruh menu hamburgernya. "McDonald's tidak mengubah India, Indialah yang mengubah McDonald's," jelas Eric.

Apakah orang India bahagia? "Ada banyak kontradiksi yang bisa diterima di negeri ini," kata Eric. Dan kau bisa menyaksikan semuanya, Nak. "Yang terbaik dan terburuk dari manusia. Yang menggelikan dan yang sublim. Yang profan dan yang mendalam...itulah India," tutup Eric mengakhiri perjalanan kita di negara berpenduduk terpadat di bumi ini. 

Kita hampir tiba di ujung perjalanan. Dan di sinilah kita, Amerika, negara adidaya, kaya, "tapi tidak sebahagia kelihatannya." Eric mengutip penelitian Adrian White di University of Leicester, Inggris, yang menyatakan bahwa kebahagiaan Amerika ada di bawah negara-negara seperti Kosta Rika, Malta, dan Malaysia. 

Ada paradoks yang menggambarkan hubungan kekayaan dan kebahagiaan Amerika. Menurut Eric, orang Amerika suka berbasa basi dengan gagasan bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan, tapi berperilaku seakan-akan uang memang bisa membeli kebahagiaan. "Orang Amerika," kata Eric  "bisa mendapatkan banyak hal yang mereka kira akan membuat bahagia dan karenanya mengalami kebingungan serta kekecewaan ketika ternyata kenyataannya tidak demikian."

Betapa pun, jika kebahagiaan adalah rumah atau tempat pulang yang nyaman, orang Amerika memiliki tempat-tempat yang menurut Eric diasosiasikan dengan kebahagiaan, jika bukan surga itu sendiri, yang setidaknya menjadi sanctuary terhadap situasi paradoks kebahagiaan Amerika, seperti Miami di Florida atau Asheville di Carolina Utara. 

Nak, sayangku, ayah rasa memang diperlukan situasi dan kondisi yang sepadan untuk bahagia. Maksud ayah, kalau kau ingin merasakan kebahagiaan sebenarnya, kau perlu merasakan ketidakbahagiaan dibaliknya. Agaknya Eric pernah juga mengatakan itu. Ayah lupa. Dan sebelum ayah semakin lupa, ada satu negara lagi yang berbeda dari sembilan lainnya dalam soal kebahagiaan, ya, Moldova. Menurut Eric, Moldova adalah sebuah negara miskin dan kumuh yang tidak punya budaya. Dalam WDH yang dibuat Veenhoven, Moldova merupakan negara paling tidak membahagiakan di bumi. Eric mengajak kita menengok dan coba merasakan ketidakbahagiaan negara bekas Republik Soviet ini. 

Nak, apa kamu bisa menemukan Moldova di peta bumi? "Untuk sampai ke Moldova ternyata hampir sama sulitnya dengan menemukannya di peta," kata Eric. 

Ada relasi yang barangkali aneh dan agak tidak lazim di negara beribukota Chisinau ini. Di sini, hubungan antara tuan rumah dan tamu berkebalikan. Tamu berkewajiban membuat tuan rumah merasa nyaman. Bukan sebaliknya. "Keramah-tamahan terbalik," sambung Eric. 

Kenapa orang Moldova tidak bahagia? Eric menerangkah beberapa musababnya. Kurangnya kepercayaan merupakan alasan mengapa Moldova menjadi tempat yang demikian tidak bahagia. Orang Moldova tidak memercayai barang-barang yang mereka beli di supermarket. Mereka tidak memercayai tetangga, bahkan mereka tidak percaya dengan anggota keluarga sendiri. Selain itu, rasa iri menyebar di Moldova. "Orang Moldova merasa lebih senang dengan kegagalan tetangga mereka daripada dengan keberhasilan mereka sendiri," terang Eric. Begitulah mereka terjebak dalam lingkaran kesakitan mereka sendiri. Ketidakbahagiaan mereka melahirkan rasa tidak percaya, yang melahirkan ketidakbahagiaan lagi, yang mengarah pada rasa tidak percaya lagi. "Benih ketidakbahagiaan Moldova tertanam di dalam budaya mereka. Sebuah budaya yang menyepelekan nilai rasa percaya dan persahabatan. Sebuah budaya yang menghargai jiwa pelit dan curang," tambah Eric.

Nah, Nak, apa yang kamu rasakan kini? Apakah kamu merasakan yang ayah rasakan; ketidakbahagiaan yang melingkari Moldova yang rasanya tidak asing? Ataukah hanya perasaan sentimental ayah saja? 

Eric pernah bilang, negeri kita, Indonesia Raya kita, yang suatu kali ia pernah singgahi, adalah tempat yang tidak membahagiakan. Barangkali Eric benar sebagian. Kalau kita tengok lagi Belanda, salah satu sumber kebahagiaan mereka adalah toleransi. Sebagai bangsa dengan ragam ras, budaya, bahasa, dan agama, tentu orang Indonesia lebih terlatih untuk toleran dan timbang rasa. Kebhinekaan kita, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu, adalah cermin toleransi orang Indonesia yang belum berubah, tidak akan berubah, dan tetap menjadi nilai keragaman dalam ikatan hidup berbangsa yang saling menghormati dan menghargai. Tentu saja nilai itu bisa goyah atau bisa terganggu oleh situasi dan kondisi tertentu. Politik barangkali salah satu yang seringkali menjengkelkan. 

Saat ayah menulis ini, di negeri kita sedang ramai pembicaraan tentang calon presiden Indonesia di tahun depan. Ada banyak opini, beragam pendapat, macam-macam pikiran dan pilihan. Tak banyak yang mencerahkan. Sebagian cenderung mau menang sendiri, sebagian besarnya lagi suka menyalahkan dan cenderung menuding tanpa menimbang rasa yang mengarah ke kebencian. Mau apa sebenarnya? Ayah rasa, sebagian besar orang lupa, selama negara hanya untuk dikuasai, bukan dikelola, maka akan selalu ada persoalan. 

Duh, Nak, ayah sebenarnya malas mengomentari ini. Ayah bahkan sedang merintis jalan ke arah yang ditunjukkan Rolf Dobelli, "Stop Membaca Berita." Tapi ayah ingin kamu setidaknya tahu bahwa ada hal-hal yang tidak dikehendaki dan di luar kendali kita, yang bisa saja menyebabkan kita sedih, kecewa, dan tidak bahagia. Salah satunya adalah kenyataan bahwa di negeri kita lazim sudah orang menjadi kaya dengan curang, sementara itu mayoritas rakyat tetap miskin. 

Tentu saja ada banyak yang membahagiakan, yang indah, yang menenangkan. Dengan hadirnya kamu di hidup ayah, tentu saja ayah bahagia. Kalau pun ada yang membikin hari-hari ayah buruk, rasanya itu terjadi di jalanan, ya, saat-saat berkendara. Di jalanan, semua orang sepertinya tidak perlu peduli dengan orang lain. Setiap orang di atas kendaraannya seperti selalu terburu-buru dan tidak sabaran. 'In vehicle veritas'...kamu masih ingat? Barangkali ini semua karena kita tidak pernah punya disiplin. Entahlah... 

Nak, sayangku, sudah dulu ya. Ayah mungkin belum mengatakan semuanya. Barangkali ada yang terlewat yang lupa ayah sampaikan. Tapi paling tidak, ayah berharap dari penjelajahan geografis kita bersama Eric ini, dari catatan perjalanan tentang sebuah perjalanan ke tempat-tempat bahagia - dan tidak bahagia - ini,  kamu bisa memeroleh sesuatu yang berharga, yang bermakna. 

Ini bacaan yang ayah anjurkan. Ini jenis perjalanan yang ayah ingin kau lakukan. Kita tidak hanya mengalami perjalanan di luar, tapi juga melakukan perjalanan ke dalam. Bukan hanya bacaan dan perjalanan itu sendiri yang akan resap ke kalbumu, tapi pencarianmu akan makna, itulah yang lebih tinggi. 

Depok, Februari-Juli 2023.

----------------------

Yang ayah baca saat menulis ini:

Dobelli, Rolf. 2021. (Edisi Digital). Stop Membaca Berita. Jakarta; KPG

Weiner, Eric. 2022. The Geography of Bliss: Kisah Sang Pelancong Filosofis yang Berkeliling Dunia Mencari Negara Paling Membahagiakan. (Edisi Kelima, Cetakan I).  Bandung; Mizan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun