Mohon tunggu...
Raden Nuh
Raden Nuh Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pemerhati di kejauhan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Surat Terbuka untuk Presiden Prabowo Subianto

3 Mei 2024   18:44 Diperbarui: 3 Mei 2024   18:44 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bapak Presiden Prabowo Subianto yang terhormat, 

Pertama-tama saya mengucapkan selamat atas terpilihnya Bapak Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia Ke-8 Periode Tahun 2024-2029. Semoga kepemimpinan Bapak menjadi rahmat, berkah dan membawa kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia.

Melalui surat terbuka ini izinkan saya Raden Nuh salah seorang rakyat,  warga negara Indonesia yang selama lebih 30 tahun aktif turut serta memperjuangkan, membantu, membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan rakyat dalam bidang sosial politik dan hukum menyampaikan aspirasi kepada Bapak Prabowo Presiden Republik Indonesia berkenaan dengan situasi dan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara  sekarang yang sangat memprihatinkan khususnya di bidang penegakan hukum.

Bapak Presiden Prabowo Subianto Yang Terhormat, 

Selama sepuluh tahun terakhir ini penegakan hukum tidak berjalan di Indonesia. Keadilan langka, rakyat jadi korban diskriminasi aparat hukum,  demoralisasi di kalangan aparat hukum seperti kanker, telah menyebar ke mana-mana, rakyat pencari keadilan (justibelen) kehilangan harapan dan  frustrasi. Uang suap, koneksi dan kolusi adalah praktik yang selalu ditemui dalam setiap penanganan perkara. Hukum dan aparat hukum  membela pihak yang bersedia membayar uang suap lebih besar / lebih banyak. Keadilan hanya jadi ilusi rakyat pencari keadilan yang  tak mampu atau tidak mau membayar uang suap.

Kehancuran hukum di Indonesia sudah sangat parah. Selaku praktisi hukum, saya secara langsung menghadapi, mengalami dan menyaksikan sendiri tentang bobrok dan korupnya institusi dan aparat hukum Indonesia. Lembaga peradilan sebagai benteng dan tumpuan terakhir rakyat pencari keadilan tidak dapat diharapkan mewujudkan keadilan. Pengalaman saya selama 10 tahun terakhir beracara /berperkara di pengadilan, hampir semua hakim terindikasi menerima suap, menjadikan putusan sebagai komoditi yang diperjualbelikan:  Tidak beri suap perkara dikalahkan, menang-kalah dalam berperkara tidak didasarkan pada norma-bukti atau fakta, hakim punya 1001 cara untuk memenangkan si pemberi suap atau menghukum bersalah terdakwa yang tidak berpunya atau tidak mau beri suap, berat-ringan vonis /putusan tergantung besar kecil uang suap yang diberikan. 

Kolusi oknum penyidik, penuntut umum dan hakim menindas kebenaran dan melenyapkan keadilan. Langka, sulit ditemukan aparat penegak hukum yang jujur dan berintegritas di negeri ini. Perkara korupsi/ gratifikasi oknum Hakim dan Sekretaris Mahkamah Agung terkait pesanan putusan perkara  kasasi sebuah BUMN yang terjadi baru-baru ini hanya fenomena gunung es: terlihat hanya puncaknya, sedangkan akarnya menyebar luas ke mana. Puluhan bahkan ratusan praktik suap menyuap untuk pengaturan putusan MA tidak tersentuh sama sekali.

Kerusakan hukum di Indonesia makin parah karena lembaga pengawasan internal di institusi hukum dan lembaga pengawasan eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian tidak efektif, diskriminatif dan terkontaminasi suap atau kolusi. Apalagi DPR, selama 10 tahun terakhir fungsi pengawasan DPR tidak pernah berjalan. DPR lebih seperti perwakilan partai dan politisi ketimbang sebagai wakil rakyat.

Fungsi DPR sebagai penampung aspirasi, agregasi, komunikasi politik dan artikulasi  aspirasi hilang lenyap seperti dikebiri. DPR absen dalam penyelesaian masalah atau konflik. Penderitaan rakyat tidak jadi amanat melainkan dirasakan sebagai beban bagi DPR, tidak heran anggota DPR selalu menghindar bertemu rakyat kecuali sekali waktu dalam lima tahun saat mereka butuh suara rakyat dalam pemilu.,

Sekarang aparat hukum Indonesia lebih takut kepada media dari pada  berbuat dosa. Lebih takut pemberitaan koran dari pada tuhan. Lebih doyan terima  uang ketimbang menegakkan hukum dan keadilan. Satu dua pencari keadilan kadang kala beruntung karena perkaranya diliput luas media (viral) sehingga menjadi perhatian, singkatnya No Viral No Justice. Dapat dibayangkan ribuan rakyat pencari keadilan yang tidak beruntung karena tidak mendapat perhatian media, mereka tidak mendapatkan keadilan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun