Percakapan dengan diri sendiri adalah kunci untuk mengelola emosi. Artikel ini menggali lebih dalam tentang bagaimana percakapan batin berperan penting dalam kehidupan seseorang.
Percakapan dengan diri sendiri sering kali dianggap sebagai hal yang biasa dan bahkan diabaikan oleh banyak orang. Namun, bagi sebagian orang, percakapan batin ini menjadi hal yang sangat menentukan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ada yang menganggapnya sebagai kekuatan yang membantu mereka mengatasi tantangan, sementara yang lain justru merasa terjebak dalam pikiran mereka sendiri, berlarut-larut dalam kekhawatiran dan kecemasan yang tiada henti. Dalam banyak hal, cara seseorang berkomunikasi dengan dirinya sendiri dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka secara signifikan.
Ethan Kross, seorang ilmuwan yang telah mengabdikan waktu lebih dari dua dekade untuk mempelajari emosi dan pengendalian diri, menyadari bahwa salah satu hal terpenting yang dimiliki manusia adalah kemampuan untuk berbicara dengan diri sendiri. Sebagai direktur Laboratorium Emosi dan Pengendalian Diri di Universitas Michigan, Kross menjelaskan bahwa banyak dari kita menghabiskan sebagian besar waktu kita dengan berpikir tentang berbagai hal---baik itu masa lalu, masa depan, atau hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan saat ini. Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari kita menghabiskan antara setengah hingga sepertiga waktu terjaga dengan pikiran yang melayang ke tempat lain, jauh dari apa yang sedang terjadi di sekitar kita.
Meskipun sering kali tidak disadari, percakapan batin ini memainkan peran penting dalam cara kita mengelola emosi dan menghadapi kehidupan. Suara-suara yang terdengar di dalam kepala kita tidak hanya berfungsi untuk mengingatkan kita akan sesuatu yang penting---seperti daftar belanjaan atau rencana presentasi---tetapi juga menjadi sarana kita untuk merencanakan masa depan, memotivasi diri, dan memahami dunia yang kadang terasa kacau. Sayangnya, kadang-kadang percakapan ini justru menjadi sumber stres dan kekacauan. Banyak orang merasa terjebak dalam lingkaran pikiran yang tidak berujung, meresapi kekhawatiran yang tidak ada habisnya, atau bahkan mengkritik diri sendiri dengan kata-kata yang keras.
Salah satu contoh yang dapat menggambarkan bagaimana percakapan batin dapat membawa seseorang ke dalam masalah adalah ketika seseorang mulai meragukan kemampuannya sendiri atau bahkan merasa bodoh hanya karena melakukan kesalahan kecil. Pikiran-pikiran seperti "Saya tidak bisa melakukannya" atau "Saya memang bodoh" bisa dengan cepat berkembang menjadi keluhan yang tak berujung, dan justru memperburuk perasaan. Kross menyebutnya sebagai "celoteh batin," sebuah fenomena di mana seseorang terjebak dalam aliran pikiran yang negatif dan tidak produktif, yang akhirnya menghalangi mereka untuk bergerak maju.
Namun, Kross tidak hanya memaparkan sisi gelap dari percakapan batin ini, ia juga menunjukkan bahwa ada cara untuk memanfaatkannya. Salah satu cara untuk mengatasi celoteh batin yang berlebihan adalah dengan mengubah cara seseorang berbicara kepada dirinya sendiri. Sebagai contoh, Kross mencatat bahwa ketika seseorang berbicara dengan diri sendiri menggunakan nama mereka atau kata "kamu," mereka dapat lebih objektif dalam menghadapi masalah. Hal ini disebut "distanced self-talk," dan penelitian menunjukkan bahwa teknik ini dapat membantu seseorang mengatasi masalah dengan cara yang lebih bijaksana dan lebih sedikit emosional.
Malala Yousafzai, seorang aktivis yang dikenal di seluruh dunia, memberikan contoh yang menarik tentang bagaimana menggunakan teknik ini dalam situasi yang penuh tekanan. Dalam sebuah wawancara, Malala menceritakan bagaimana dia menghadapi ancaman dari Taliban. Pada awalnya, dia berbicara dalam perspektif orang pertama---"Saya akan melawan mereka"---tetapi kemudian dia beralih ke perspektif orang kedua, menggunakan nama dirinya sendiri dan berkata, "Malala, apa yang akan kamu lakukan?" Dengan cara ini, dia mampu memberi nasihat kepada dirinya sendiri, seolah-olah dia sedang memberi nasihat kepada orang lain. Hal ini, menurut Kross, adalah salah satu cara yang efektif untuk mengurangi dampak negatif dari percakapan batin.
Tetapi tidak semua orang bisa mengatasi celoteh batin ini sendiri. Terkadang, berbicara dengan orang lain yang kita percayai bisa menjadi cara yang efektif untuk meredakan tekanan. Namun, Kross menegaskan bahwa curhat saja tidak selalu cukup untuk menyelesaikan masalah. Meskipun berbicara dengan seseorang yang mendengarkan dapat memberikan kelegaan sementara, jika percakapan tersebut tidak membantu seseorang untuk melihat masalah mereka dengan perspektif yang lebih luas, maka celoteh batin itu akan tetap berlanjut.
Untuk itu, seseorang perlu mencari orang yang tidak hanya mendengarkan, tetapi juga dapat membantu memperluas pandangan mereka. Idealnya, orang ini harus mampu memberikan nasihat yang konstruktif, yang bisa membantu individu mengatasi masalah mereka dengan cara yang lebih bijaksana. Ini adalah alasan mengapa sangat penting untuk memilih orang yang tepat ketika mencari dukungan emosional. Kross mengingatkan bahwa orang yang bisa membantu kita melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda akan lebih efektif daripada sekadar mereka yang membiarkan kita terus-menerus melampiaskan perasaan kita tanpa arah.
Selain itu, Kross juga membahas tentang pentingnya pengalaman yang menginspirasi perasaan kagum untuk mengatasi stres dan percakapan batin yang berlarut-larut. Penelitian menunjukkan bahwa pengalaman yang memicu rasa kagum---seperti menyaksikan pemandangan alam yang luar biasa atau merenungkan keajaiban alam semesta---dapat membantu seseorang merasa lebih kecil dalam skala besar dan mengurangi kecemasan yang mereka rasakan. Ketika seseorang merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri, seperti langit yang luas atau kedalaman luar angkasa, percakapan batin mereka cenderung menyusut, dan stres pun berkurang.