Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Prajurit

19 September 2021   14:44 Diperbarui: 19 September 2021   14:45 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Entahlah."

Sudah aku duga jawabannya. Dengan alasan bahwa ayah harus dikirim ke luar negeri untuk tugas tertentu. Aku percaya pada ayah. Ayah akan pergi ke luar negeri bukan untuk bertugas melainkan untuk bersenang-senang dengan perempuan lain. Jalan-jalan ke New York, Paris, mungkin ke ujung Afrika. Aku sudah besar,  jadi aku tahu gerak-gerik laki-laki seperti ayah. Meski kekayaan yang kami miliki berlimpah tetapi keutuhan keluarga tidak ada, maka tidak akan menjamin kebahagiaanku ataupun ibu.

"Sudahlah bu. Ibu menunggu apa lagi? Ceraikanlah ayah."

Suatu waktu aku mengatakan seperti itu.

"Anak durhaka."

Ibu malah memukulku. Dan aku pun beradu argumen dengan ibu mengenai ayah. Kata ibu, meski ayah tidak pernah pulang, ibu akan seta menunggunya.

"Dengan air mata?"

"Ya. Sampai mati."

Dasar keras kepala. Apa ibu tidak sadar. Meski aku punya ayah tetapi aku merasakan seperti tidak punya ayah. Seperti ayah sudah mati saja. Begitu pun dengan keadaan ibu. Ibu tidak pernah merasakan kepuasan lahir bathin. Apa ibu akan selamanya seperti itu?

Ibu memiliki kegiatan mengurus sebuah usaha mengenai garmen. Setiap hari ibu mencoba untuk mengisi kekosongan waktunya. Hanya itulah yang selalu mengobati kekhawatiran diriku mengenai ibu. Jadi ibu tidak akan selalu mengingat ayah yang biadab. Di rumah pun aku jarang berbincang dengan ibu. Semenjak aku menyuruh ibu untuk menceraikan ayah. Aku sudah meminta maaf dan bersujud pada ibu. Tetapi sikap ibu tetap berbeda denganku.

Mungkin perkataanku terlalu menyakitkan untuk ibu. Aku tidak habis pikir, apa yang diharapkan ibu dari ayah. Dari kecil hingga saat ini aku tidak pernah merasakan perubahan dari ayah. Ayah sama seperti dulu. Tidak pernah pulang, sekali pulang hanya semalam saja. Aku mencoba untuk mencari tahu tentang kegiatan ayah di luar rumah tetapi aku selalu mengalami kegagalan. Karena aku tidak pernah tahu pekerjaan ayah dan kalau aku menanyakan hal itu kepada ibu, ibu selalu mengatakan ayah sedang mencari nafkah untuk kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun