Mohon tunggu...
Delf Kalalo
Delf Kalalo Mohon Tunggu... Administrasi - Pekerja

Memahami diri dalam tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Aku, Bakwan, dan Perut ini

14 Mei 2019   15:38 Diperbarui: 14 Mei 2019   16:00 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Selama Ramadhan buka jam 17.00" Wah! Membaca tulisan di etalase gerobak gorengan itu seperti membaca "Jalan ditutup!" Perasaan bingung, sedih, campur aduk seakan-akan jalan itu satu-satunya menuju kontor. Hiks! Tulisan itu telah menggagalkan impianku menikmati bakwan pagi hari bersama secangkir kopi robusta yang pait, pait sedep"

Bulan Ramadhan banyak rumah makan dan jajanan pasar kaki lima tutup seiring dimulainya hari pertama puasa. Di kota bersimbol hiu dan buaya ini, mungkin juga di semua kota, suasana pagi di minggu pertama Ramadhan yang biasanya dipadati kendaraan hingga Barakuda terparkir di samping gedung KPU entah apa maksudnya mungkin supaya keren aja, kini terlihat sepi dan lengang. Laju kendaraanku dapat mencapai titik maksimal beberapa saja, setelah itu bernyanyi "Suasana Jogja..." (KLA Project) karena tiba-tiba kutemukan saat itu motor dan mobil berjalan pelan dan membuatku harus menyesuaikan kecepatan. Mungkin mereka berpikir, "Nah! Jalanan lengang santai aja bawanya".

Sebenarnya kondisi jalan lengang sangat menyenangkan, pikiran terasa tenang, tidak gamang terhadap laju kendaraan bermanuver ke kiri kanan dan membuat alis terangkat ke sorga. Ketenangan ini mungkin hanya bisa ditemukan di bulan Ramadhan. Tapi ada yang tidak bisa kutemukan di pagi hari selama bulan Ramadhan! Bakwan! Makanan yang mengilhamiku singgah untuk membeli dan menikmati kehangatannya.

Saat hari pertama puasa, ketika suasana jalan lengang tanpa aktifitas kendaraan motor mobil saling bertegur sapa dengan klakson, kendaraan kupacu dengan leluasa tapi tidak ugal-ugalan menuju tempat yang biasa kusinggahi untuk membeli bakwan, tiba-tiba terlihat olehku kertas menempel di tempat itu dengan tulisan, "Selama Ramadhan buka jam 17.00" Wiih! Baca tulisan itu kok kayak baca tulisan "Jalan ditutup!". Bingung, sedih campur aduk seakan jalan yang dilewati itu satu-satunya jalan menuju kantor. Hiks! Tulisan itu menggagalkan impianku menikmati bakwan di pagi hari bersama secangkir kopi robusta yang pait pait sedep.

Aku sampai berpikir puasa bakwan selama Ramadhan, tidak mau ke lain gorengan. Cukup bakwan yang menjadi pilihanku diantara semua gorengan yang ada. Aku telah mencoba untuk memilih yang lain tapi tetap saja bakwan yang ada di bayanganku. Sulit melupakan bau minyak perpaduan wortel toge, tepung, dan secuil udang sebagai topping pemanis tampilannya. Kesederhanaannya menarik diriku untuk menikmatinya dengan sambal petis yang menutupi atasnya. Wuih! Nasi mana... nasi...!

Terpikir sejenak olehku apa sebutan makanan itu di kota-kota lain ya, sambil berharap perut ini tiba-tiba kenyang karena membayangkannya. Ternyata kutemukan bakwan yang biasa disebut ote-ote ini punya a.k.a (also known as) di beberapa kota Indonesia, antara lain disebut weci/heci oleh penduduk kota 'Singo Edan' Malang, Jawa Timur, lain lagi di Kendari Sulawesi Tenggara ia terkenal dengan nama kandoang, orang kupang menyebutnya makao/macau God of gambler mungkin berasal dari sana, bagi masyarakat Pati Jawa Tengah disebut pia-pia, bagi orang Semarang dan Pekalongan ada istilah "mereka suka makan badak (bakwan)", di Jawa Barat orang Sunda mengenalnya bala-bala, orang Banyuwangi menyebutnya hongkong, dan penduduk Makasar, Sulawesi Selatan mengucapnya bikang doang.

Ternyata si Bakwan telah menjadi makanan tradisional-nasionalis, tidak hanya dinikmati sebagian orang beragama Islam, Kristen, Budha, Hindu, tidak juga hanya buat orang Jawa, Sumatera, Kalimantan, NTB-NTT, Sulawesi, Bali, Papua. Ia adalah bakwan yang punya nama lain bikang doang, hongkong, bala-bala, badak, pia-pia, makao, kandoang, weci, atau ote-ote yang, suka tidak suka, dikenal hampir di setiap pelosok nusantara.

Ya! Ada yang suka dan tidak. Mereka yang tidak suka, alergi dengannya dan menganggap ia racun dan pantang untuk dinikmati, bahkan tidak jarang mereka berdemonstrasi hanya karena kelezatan minyaknya telah menggoda jutaan orang dari segala suku, bangsa, dan agama.

Para pendemo ini adalah para perut yang sensitif terhadap kandungan bahan dari bakwan. Mereka bisa menolak mentah-mentah saat bakwan masuk ke wilayahnya, bahkan bisa dengan sekejap langsung didepak keluar, dan si pemilik perut berkata, "Aah! Ga lagi makan ni barang, kapok!"

Gara-gara perut konservatif, bakwan menjadi makanan yang menakutkan bagi sebagian orang. Ia bisa menentukan jenis makanan apa saja yang sealiran dengannya dan bisa diterima oleh kolega-koleganya, usus 12 jari, besar, kecil, dan lambung. Bila tidak sesuai dengan kriteria mereka lekas-lekas ditolak, didemo kemudian 'diturunkan'. Ironis!

Ini tidak baik bagiku bila perut ini nantinya akan mengikuti perut-perut lain menolak bakwan dan menghapuskannya dari peradaban dunia. Bakwan harus tetap mengada sekalipun para perut konservatif menolaknya. Ia harus tetap menjadi salah satu makanan pemberi rasa penasaran bagi orang saat pertama kali mencicipinya.

Aku harus jaga perut ini agar bisa menerima bakwan selayaknya saudara tak terpisahkan yang bertemu saat uang menipis, ada di tengah percakapan ngalur ngidul sejawat, dan sebagai teman kopi robusta nan pait pait sedep itu. Aku juga perlu menjaga perut ini dari gangguan maag yang menyerang senyap tak terduga dan nyeri lambung yang mematikan konsumsi gorengan lagi untuk selamanya. Weuh! kalau sudah begini bakwan bisa jadi mantan pacar terindah yang sulit dilupakan.

Aku ingin bakwan bisa jadi bagian hidup rakyat Indonesia dan simbol kebaikan bagi perutku dan para perut lainnya. Menguntungkan banyak orang, terutama Mas penjual bakwan di tempat aku biasa mencapit bakwan-bakwannya dan kumasukkan ke dalam kantong plastik bening sambil memperlihatkan kepada orang lain bahwa aku pendukung bakwan dan perut ini harus mendukungnya karena antara aku, bakwan, dan perut ini adalah kesatuan. Duh, nasi mana... nasi!

***

Sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun