Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Merajut Agama, Budaya, dan Lingkungan dalam Pertunjukan Seni

29 Juni 2022   08:02 Diperbarui: 29 Juni 2022   08:03 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para alim-ulama, perangkat desa dan warga membaur jadi satu. Dok. penulis

Maksudnya, kalau kita menilik sejarah panjang penyebaran Islam di Nusantara, budaya lokal tidak diberangus, tetapi menjadi bagian penting untuk menanamkan keislaman dalam kehidupan warga masyarakat. Itulah mengapa, Islam di Indonesia kaya akan adat dan tradisi yang tidak dijumpai di negara-negara lain. Sementara, budaya yang lepas dari sendi-sendi agama bisa memunculkan banyak permasalahan yang menjadikan banyak orang antipati.

Para santri perempuan Al-Ghofilin dalam Sendratari Roro Jonggrang. Dok. penulis
Para santri perempuan Al-Ghofilin dalam Sendratari Roro Jonggrang. Dok. penulis

Melalui sendratari Roro Jonggrang Bandung Bondowoso, para santri Al-Ghofilin sebenarnya ingin menunjukkan kepada publik bahwa manusia dilahirkan sebagai makhluk yang memiliki tanggung jawab terhadap diri, manusia lain, alam, dan Sang Penciptanya. Dalam kehidupan, mereka sudah semestinya bisa menjalin kehidupan bersama manusia lain dengan prinsip welas asih. 

Ketika mereka sudah mendapatkan banyak hal dalam kehidupan bersama manusia lain, tidak semestinya mereka mengembangkan sikap rakus dan khianat terhadap sesama dan lingkungan hidup. Sikap khianat itulah yang bisa merusak tatanan kehidupan, termasuk relasi harmonis manusia dengan alam sekitar dan semua makhluk yang ada di dalamnya. Pesan ini juga disampaikan kepada para penguasa yang duduk di pemerintahan. 

Atraksi para santri Al-Ghofilin yang berhasil membangun 999 candi. Dok. penulis
Atraksi para santri Al-Ghofilin yang berhasil membangun 999 candi. Dok. penulis

Ketika mereka mengkhianati kepercayaan publik, tindakan-tindakan eksploitatif, penyelewengan, dan koruptif bisa menguasai pemerintahan, sehingga merugikan kepentingan umum. Salah satu yang sering terjadi adalah bagaimana penguasa melegitimasi eksploitasi secara rakus terhadap kawasan hutan dan gunung untuk kepentingan pertambangan dan perkebunan secara massif, tidak mengindakan kaidah ekologis. Itulah sikap khianat yang benar-benar  membaca bencana dan kehancuran bagi kehidupan masyarakat luas.

Pengkhianatan Roro Jonggrang terhadap kerja keras Bandung Bondowoso dan pengikutnya merupakan representasi pengkhianatan manusia dan penguasa terhadap sesama manusia dan alam yang sampai saat ini masih kita jumpai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tafsir ini disesuaikan dengan konteks tujuan penyelenggaraan KSBW yang ingin mengajak masyarakat luas dan pemerintah untuk merawat kawasan benteng alam Watangan dengan laku agama dan budaya. 

Jangan karena kerakusan, mengorbankan benteng alam yang nyata-nyata bermanfaat buat kehidupan manusia. Secara lebih luas, para santri juga mengirim pesan kepada pemerintah Indonesia agar tidak mengkhianati Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan untuk menyelenggarakan kehidupan yang baik. 

Bukan mengutak-atiknya dengan alasan amandemen yang bisa melenceng dari tujuan dari berbangsa dan bernegara, termasuk memungkinkan eksploitasi alam tanpa mengindahkan aspek keberlanjutan ekosistem dan keselamatan warga. Pesan tersebut, sangat sesuai dengan kondisi kontekstual di banyak daerah di Indonesia selama puluhan tahun terakhir di mana atas pendapatan negara, pemerintah memberikan banyak izin pertambangan dan perkebunan yang merusak.

Seorang santri Al-Ghofilin membawa gunungan wayang. Dok. penulis
Seorang santri Al-Ghofilin membawa gunungan wayang. Dok. penulis

Maka, di bagian akhir sendratari muncul tokoh yang membawa "gunungan wayang " sebagai simbol puncak ketuhanan dan kehidupan manusia. Si tokoh yang berbaju adat Jawa tersebut mengajak para penonton, warga masyarakat, dan penguasa untuk menggali kembali nilai dan ajaran luhur ketuhanan sebagai basis untuk melanjutkan karya kultural dalam kehidupan yang tidak merusak alam dan tidak mengkhianati posisi manusia sebagai makhluk yang sudah semestinya mengembangkan kehidupan dan peradaban yang baik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun