Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Merajut Agama, Budaya, dan Lingkungan dalam Pertunjukan Seni

29 Juni 2022   08:02 Diperbarui: 29 Juni 2022   08:03 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para penari "Bidadari Watangan" dalam pertunjukan kolosal di Halaman Balai Desa Lojejer. Dok. penulis

Malam Minggu, selepas Maghrib, 26/06/22, halaman Balai Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, Jember, mulai ramai dengan kehadiran anak-anak kecil bersama orang tua mereka. Para pedagang mainan anak-anak, makanan, dan minuman menyunggingkan senyum ceriah karena rezeki bersiap mengalir. 

Cahaya warna-warni dari tata lampu panggung mulai menghiasai malam, melengkapi musik gamelan yang diputar oleh petugas sound system. Tampak Kepala Desa Lojejer, Mohamad Sholeh, mengarahkan para perangkat untuk mempersiapkan kursi bagi para undangan dan kebutuhan lainnya. Para seniman muda di ruang masing-masing mulai sibuk merias diri dan menyiapkan kebutuhan panggung. Sementara, tim produksi sibuk finalisasi kesiapan panggung, sound system, dan tata cahaya.

Para alim-ulama, perangkat desa dan warga membaur jadi satu. Dok. penulis
Para alim-ulama, perangkat desa dan warga membaur jadi satu. Dok. penulis

Begitulah gambaran suasana guyub menjelang pertunjukan kolosal sebagai malam puncak even Krida Sinatria Bhumi Watangan (KSBW). Setelah menggelar Jelajah Gua Purba (18/6/22), Sarasehan Kepurbakalaan, Kebudayaan, dan Lingkungan (19/6/22), Sarasehan Pertanian (20/6/22), Sholawat Al-Ghofilin (21/6/22), Sema'an Al-Qur'an (23/6/22), Senam Massal dan Konser Demy (24/6/22), dan Arak-arakan Gunungan (25/6/22, sore), pertunjukan seni yang melibatkan lebih dari seratus seniman muda menjadi penutup seluruh rangkaian kegiatan tersebut.

Sejak awal, KSBW memang didesain untuk merajut secara mesrah agama dan budaya sebagai cara untuk mengajak masyarakat merawat lingkungan hidup, khususnya kawasan Gunung Watangan yang merupakan benteng alam di selatan Jember. Selain itu, kegiatan ini juga diharapkan memberikan pengetahuan pertanian, kebudayan, sejarah, dan kepurbakalaan kepada masyarakat, agar mereka menyadari betapa pentingnya kawasan Watangan untuk kehidupan dan peradaban manusia.


Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pertunjukan yang digelar di halaman Balai Desa Lojejer ini mengambil tema "Ruwat Manusia Rumat Bumi." Mengapa demikian? Karena manusia dengan segala capaian pengetahuan dan teknologinya seringkali dikendalikan nafsu angkara murka sehingga banyak melakukan pengkhianatan terhadap perintah Tuhan Yang Mahaesa, merusak alam untuk memenuhi hasrat rakus mereka, serta melakukan tindakan-tindakan yang merugikan banyak manusia lain yang tidak berdaya. 

Dalang pertunjukan membuka acara. Dok. Pemdes Lojejer
Dalang pertunjukan membuka acara. Dok. Pemdes Lojejer

Itulah mengapa manusia perlu "diruwat," dalam artian diajak berpikir dan merenung kembali atas semua perjalanan hidupnya dan segala implikasi negatif yang dilahirkannya di muka bumi. Harapannya, mereka menemukan titik cahaya untuk menumbuhkan-kembali posisi harmonis dalam diri berbasis ajaran-ajaran luhur agama. Dalam posisi itulah, manusia diharapkan mau dan mampu menanamkan kesadaran dan menerapkannya dalam tindakan praksis untuk "rumat bumi", menjaga dan melestarikan lingkungan beserta isinya untuk keberlanjutan kehidupan dan peradaban mereka.

Selepas Isya', ketika lebih dari seribu warga sudah memenuhi depan panggung, setelah sambutan Kepala Desa dan ulama kharismatik Gus Baiquni Purnomo, sesudah dalang pertunjukan membuka acara, para santri TPQ Al-Ghoflin Talangsari Jember mempersempahkan sendratari "Roro Jonggrang Bandung Bondowoso", sebuah cerita legenda yang sangat terkenal tentang penciptaan Candi Sewu di Prambanan. Para santri remaja yang sehari-hari belajar agama ini dengan percaya diri, ber-acting secara total untuk menghadirkan pertunjukan yang memukau penonton. Sorak-sorai pujian pun memecah malam di Lojejer.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, mengapa cerita ini dikaitkan dengan persoalan agama dan lingkungan? Sebagaimana sering disampaikan oleh Gus Baiquni dalam banyak kesempatan, "beragama tanpa budaya terasa kering, berbudaya tanpa agama, budaya akan suram." 

Maksudnya, kalau kita menilik sejarah panjang penyebaran Islam di Nusantara, budaya lokal tidak diberangus, tetapi menjadi bagian penting untuk menanamkan keislaman dalam kehidupan warga masyarakat. Itulah mengapa, Islam di Indonesia kaya akan adat dan tradisi yang tidak dijumpai di negara-negara lain. Sementara, budaya yang lepas dari sendi-sendi agama bisa memunculkan banyak permasalahan yang menjadikan banyak orang antipati.

Para santri perempuan Al-Ghofilin dalam Sendratari Roro Jonggrang. Dok. penulis
Para santri perempuan Al-Ghofilin dalam Sendratari Roro Jonggrang. Dok. penulis

Melalui sendratari Roro Jonggrang Bandung Bondowoso, para santri Al-Ghofilin sebenarnya ingin menunjukkan kepada publik bahwa manusia dilahirkan sebagai makhluk yang memiliki tanggung jawab terhadap diri, manusia lain, alam, dan Sang Penciptanya. Dalam kehidupan, mereka sudah semestinya bisa menjalin kehidupan bersama manusia lain dengan prinsip welas asih. 

Ketika mereka sudah mendapatkan banyak hal dalam kehidupan bersama manusia lain, tidak semestinya mereka mengembangkan sikap rakus dan khianat terhadap sesama dan lingkungan hidup. Sikap khianat itulah yang bisa merusak tatanan kehidupan, termasuk relasi harmonis manusia dengan alam sekitar dan semua makhluk yang ada di dalamnya. Pesan ini juga disampaikan kepada para penguasa yang duduk di pemerintahan. 

Atraksi para santri Al-Ghofilin yang berhasil membangun 999 candi. Dok. penulis
Atraksi para santri Al-Ghofilin yang berhasil membangun 999 candi. Dok. penulis

Ketika mereka mengkhianati kepercayaan publik, tindakan-tindakan eksploitatif, penyelewengan, dan koruptif bisa menguasai pemerintahan, sehingga merugikan kepentingan umum. Salah satu yang sering terjadi adalah bagaimana penguasa melegitimasi eksploitasi secara rakus terhadap kawasan hutan dan gunung untuk kepentingan pertambangan dan perkebunan secara massif, tidak mengindakan kaidah ekologis. Itulah sikap khianat yang benar-benar  membaca bencana dan kehancuran bagi kehidupan masyarakat luas.

Pengkhianatan Roro Jonggrang terhadap kerja keras Bandung Bondowoso dan pengikutnya merupakan representasi pengkhianatan manusia dan penguasa terhadap sesama manusia dan alam yang sampai saat ini masih kita jumpai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tafsir ini disesuaikan dengan konteks tujuan penyelenggaraan KSBW yang ingin mengajak masyarakat luas dan pemerintah untuk merawat kawasan benteng alam Watangan dengan laku agama dan budaya. 

Jangan karena kerakusan, mengorbankan benteng alam yang nyata-nyata bermanfaat buat kehidupan manusia. Secara lebih luas, para santri juga mengirim pesan kepada pemerintah Indonesia agar tidak mengkhianati Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan untuk menyelenggarakan kehidupan yang baik. 

Bukan mengutak-atiknya dengan alasan amandemen yang bisa melenceng dari tujuan dari berbangsa dan bernegara, termasuk memungkinkan eksploitasi alam tanpa mengindahkan aspek keberlanjutan ekosistem dan keselamatan warga. Pesan tersebut, sangat sesuai dengan kondisi kontekstual di banyak daerah di Indonesia selama puluhan tahun terakhir di mana atas pendapatan negara, pemerintah memberikan banyak izin pertambangan dan perkebunan yang merusak.

Seorang santri Al-Ghofilin membawa gunungan wayang. Dok. penulis
Seorang santri Al-Ghofilin membawa gunungan wayang. Dok. penulis

Maka, di bagian akhir sendratari muncul tokoh yang membawa "gunungan wayang " sebagai simbol puncak ketuhanan dan kehidupan manusia. Si tokoh yang berbaju adat Jawa tersebut mengajak para penonton, warga masyarakat, dan penguasa untuk menggali kembali nilai dan ajaran luhur ketuhanan sebagai basis untuk melanjutkan karya kultural dalam kehidupan yang tidak merusak alam dan tidak mengkhianati posisi manusia sebagai makhluk yang sudah semestinya mengembangkan kehidupan dan peradaban yang baik. 

Memang itu bukan pekerjaan mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Apa yang dibutuhkan adalah kesungguhan dan keseriusan untuk terus berbuat kebajikan yang berdampak luas kepada masyarakat, bangsa, dan lingkungan. Sudah seharusnya kita belajar ke para santri yang harus berlatih serius penuh kesabaran untuk bisa menyuguhkan sendratari Roro Jonggrang Bandung Bondowoso, meskipun mereka sehari-hari juga harus belajar agama.

Kehadiran Gus O'ong Faturahman, pengasuh Kebun Sanggar Bermain (KSB) Mumbulsari Jember yang juga ayah angkat penyanyi religi Opiek, semakin menghangatkan suasana malam. Lelaki gondrong yang pernah berguru lama di Bengkel Teater Rendra ini membawakan puisi "Dari Warga Lojejer untuk Presiden Joko Widodo dari warga Lojejer." 

Dengan suaranya yang menggelegar, Gus O'ong mempertanyakan posisi warga di ujung selatan Jember dalam peta Indonesia. Ketika Pemkab Jember dan Pemprov  Jawa Timur kurang mempedulikan aspirasi warga warga dan pelaku seni, maka menyampaikan puisi kepada Presiden adalah sebauh pilihan. Diksi "warga Lojejer" sejatinya merepresentasikan banyak warga Indonesia yang suara dan kepentingannya tidak banyak didengar oleh penguasa. 

Termasuk keinginan mereka untuk hidup bahagia, menikmati suburnya tanah, mengirup udara yang sehat, dan menghayati keragaman budaya. Yang tidak kalah penting adalah keinginan warga Lojejer agar Watangan tidak ditambang dan dihancurkan karena bisa berbahaya untuk kehidupan mereka.

Adegan Caplokan. Dok. Agus Murdock
Adegan Caplokan. Dok. Agus Murdock

Suguhan berikutnya adalah pertunjukan Leak dan Caplokan Jaranan. Dengan rancak gamelan yang mengiringinya para pemain Leak dan Caplokan dari Kelompok Jaranan Citra Budaya Desa Lojejer menyemarakkan panggung dengan gerakan-gerakan atraktif mengikuti empat penjuru mata angin, dilengkapi permainan lampu yang menandakan ketegangan. 

Leak dan Caplokan merepresentasikan nafsu angkara murka manusia yang ingin menguasai semua yang ada di alam, sepert hutan dan segala isinya. Hutan yang begitu baik kepada manusia pun rusak. Tanaman endemik yang banyak dimanfaatkan oleh satwa dan manusia pun hilang dari muka bumi. 

Adegan Leak. Dok. Agus Murdock
Adegan Leak. Dok. Agus Murdock

Akibatnya, satwa pun masuk ke kawasan pemukiman warga untuk mencari makanan. Adegan Can-macanan Kaduk (tiruan macan yang terbuat dari tali rapiah dan dimainkan oleh satu atau dua pemain) dari Kelompok Seni Putra Sakti Pakusari Jember menandakan  betapa kehidupan satwa hutan benar-benar terancam karena kerakusan manusia. 

Hal ini tentu sudah berjalan lama, sejak era kolonial hingga saat ini. Harimau Jawa (Macan Gembong) yang dulu banyak terdapat di kawasan hutan Jember selatan perlahan tapi pasti tinggal dongeng. Kerusakan demi kerusakana, kepunahan demi kepunahan, pada akhirnya akan membayakan kehidupan manusia itu sendiri.

Semua itu menunjukkan bahwa kehidupan bernegara dan berbangsa sudah semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. Adegan tari lima Burung Garuda yang kebingungan menyimbolkan semakin terkikisnya nilai luhur bangsa yang disepakati para pendiri Republik dalam kehidupan masa kini. 

Adegan harimau (Can-macanan) yang akan ditundukkan manusia. Dok. penulis
Adegan harimau (Can-macanan) yang akan ditundukkan manusia. Dok. penulis

Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 mau dirusak oleh upaya elit-elit politik yang hanya ingin mengeruk keuntungan pribadi dan kelompok. Mekanisme demokrasi prosedural memang sudah menjadi tradisi dalam kehidupan politik bangsa ini. Sayangnya, mekanisme tersebut banyak dimanfaatkan para elit yang memiliki kekayaan, sehingga kebijakan yang ditelorkan bisa dikatakan kurang berpihak kepada kehidupan rakyat kebanyakan. 

Termasuk kebijakan untuk eksploitasi kawasan alam yang semestinya menjadi cagar alam, taman nasional, ataupun hutan lindung. Kalau nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945 benar-benar dijadikan landasan kebijakan, maka tidak akan terjadi perusakan lingkungan.

Menghadapi kondisi yang tidak menentu tersebut, mutlak dibutuhkan "kesadaran dan tindakan ksatria" yang dengan sungguh-sungguh ingin memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Para ksatria berbasis nilai-nilai agama dan budaya harus mengambil peran untuk mengembalikan kebaikan di negeri ini. 

Para jathil sebagai simbol kesatria. Dok. Mbah Purbo
Para jathil sebagai simbol kesatria. Dok. Mbah Purbo

Harapan tersebut diwujudkan dalam adegan para jathil (penari jaranan) yang dengan lincah bergerak dengan bermacam formasi, ke segala penjuru mata angin. Mereka ingin menjernihkan pikiran rakus dan apa-apa yang merusak tatanan kehidupan; menghancurkan harmoni antara manusia dengan alam, relasi antara penguasa dan rakyat.

Ketika kondisi sudah lumayan terkendali, para "bidadari Watangan" yang disimbolkan oleh sepuluh penari perempuan hadir di hadapan penonton yang terdiri dari perangkat desa, alim ulama, dan warga masyarakat. Dengan riang gembira mereka menari, menebarkan energi kebaikan yang bisa memperkuat kesadaran manusia. 

Para
Para "Bidadari Watangan" mengajak warga menumbuhkan energi positif. Dok. penulis
Mengkikuti alunan musik patrol Jemberan yang sudah didigitalisasi, kesepuluh penari dari Sanggar Tari Sotalisas Jember ini menarikan gerakan-gerakan atraktif, laksana para bidadari yang bergelimang cahaya.  Mereka mengajak manusia untuk terus menumbuhkan energi dan sikap positif dalam kehidupan agar tidak dikendalikan oleh nafsu angkara murka. Manusia juga diajak untuk dengan riang gembira menjaga kelestarian alam dengan energi dan tindakan positif tersebut. Dengan jalan itulah kehidupan yang tidak eksploitatif bisa berlangsung.

Ketika manusia sudah mampu menumbuhkan kembali pikiran dan tindakan positif, mereka pun bisa terus mengembangkan hubungan harmonis dengan alam semesta. Harapan itu digambarkan dengan tari "Bhekti Segoro" yang dipersembahkan oleh para mahasiswa dari UKM Kesenian Universitas Jember (UKMK). 

Adegan tari
Adegan tari "Bhekti Segoro". Dok. penulis

Tari kontemporer ini mengajak warga untuk terus mengucapkan raya syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas karunia berupa lautan luas. Adegan dinamis para penari dengan perahu kecil yang mereka bawa menandakan bahwa sudah sepatutnya manusia tidak merusak laut dengan tindakan-tindakan destruktif, karena laut sudah memberikan banyak bagi kehidupan manusia. Maka, warga harus terus mengusahakan perilaku dan tindakan yang tidak merusaknya.

Pertunjukan kolosal malam ini ditutup dengan kehadiran Gus Jaddin dari TPQ Al-Ghofilin yang membacakan puisi tentang hakekat kehidupan manusia yang harus terus berlandaskan ajaran-ajaran ketuhanan dan nilai-nilai luhur budaya. Diiringi para penampil, Gus Jaddin mengajak warga untuk menanamkan energi positif dalam bermasyarakat, berbangsa, dan berbudaya sembari terus memperjuangkan keberlanjutan lingkungan hidup. Itulah jalan kehidupan yang sudah sepatutnya diperjuangkan dengan riang gembira.

Pembacaan puisi oleh Gus Jaddin dari Al-Ghofilin. Dok. penulis
Pembacaan puisi oleh Gus Jaddin dari Al-Ghofilin. Dok. penulis

Seluruh rangkaian pertunjukan penutup KSBW, sebagaimana disampaikan Gus Baiquni dalam sambutan, menunjukkan bahwa antara agama dan budaya tidak harus dibenturkan. Para agamawan dan pelaku seni-budaya harus terus membuat karya bersama yang menandakan kemenyatuan keduanya. Bumi Lojejer dengan rangkaian KSBW yang ditutup oleh pertunjukan kolosal ini bisa menjadi titik awal bagi Jember untuk terus memperjuangkan kemenyatuan agama dan budaya dengan karya-karya kreatif yang membahagiakan. 

Nilai religiusitas-kultural-ekologis yang dihadirkan dalam karya bersama itulah yang diharapkan bisa terus menumbuhkan dan memperkuat kesadaran untuk menjalani kehidupan yang semakin modern tanpa harus mengabaikan ketuhanan dan kebudayaan serta terus menjaga lingkungan hidup.

Figur Burung Garuda di Balai Desa Lojejer tampak dari kejauhan seperti menjadi saksi pertunjukan kolosal. Dok. penulis
Figur Burung Garuda di Balai Desa Lojejer tampak dari kejauhan seperti menjadi saksi pertunjukan kolosal. Dok. penulis

Bagi saya, yang mengikuti rangkaian KSBW dari awal hingga akhir, pernyataan Kepala Desa Lojejer yang mengatakan bahwa even ini akan menjadi agenda tahunan desa sungguh sangat membahagiakan. Mengapa? Karena Pemdes Lojejer sudah berani memutuskan program kerja-kerja kreatif dalam menyebarluaskan pentingnya nilai agama, budaya, dan lingkungan dalam kehidupan manusia. Biarlah spirit figur Burung Garuda di bagian atas depan Balai Desa Lojejer yang akan terus membersamai niat luhur tersebut.

Selanjutnya, even KSBW ini juga bisa diarahkan menjadi aktivitas wisata budaya dan wisata minat khusus yang dikelola pemdes dan warga masyarakat sehingga merekalah yang akan mendapat keuntugan kultural dan ekologis sekaligus keuntungan ekonomi yang berkelanjutan. Begitulah impian kecil saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun