Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Budaya Lokal dalam Film: Kemungkinan Pengembangan di Daerah

9 Mei 2022   23:10 Diperbarui: 9 Mei 2022   23:11 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hutan jati meranggas di Lamongan selatan. Dokumentasi pribadi

Pasal 55 menjabarkan tugas pemerintah daerah seperti melaksanakan kebijakan dan rencana induk perfilman nasional; menetapkan serta melaksanakan kebijakan dan rencana perfilman daerah; dan, menyediakan sarana dan prasarana untuk pengembangan dan kemajuan film.

Apa yang menarik untuk dicermati adalah pada kata "memfasilitasi" dalam pasal terkait kewajiban pemerintah daerah. Kata ini bermakna plural, dalam artian (1) menyediakan kemudahan perizinan, (2) mem-back up sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk pembuatan, pengembangan, dan kamajuan film, dan (3) memberikan fasilitas pembiayaan dalam usaha perfilman. 

Memang, klausa "memberikan bantuan biaya" hanya ditujukan untuk kegiatan apresiasi dan pengarsipan. Tentu, secara finansial kedua kegiatan tersebut relatif murah. Saya menduga kata "memfasilitasi" memang sengaja dimunculkan untuk mempersempit pemaknaan hanya sebatas pada mempermudah dan membantu kelancaran kegiatan perfilman. 

Namun, jika kita merujuk Pasal 77 UU No. 33 2009, dengan jelas dikatakan bahwa sumber pendanaan untuk kegiatan perfilman bisa diperoleh melalui alokasi dari APBN dan APBD. Artinya, pembiayaan pembuatan film di daerah bisa meminta fasilitas pembiayaan dari pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. 

Logikanya, apabila pemerintah tidak mau membiayai, berarti mereka melanggar UU ini dan berarti pula melanggar hukum yang berlaku. Hal itu juga, sekali lagi, berlaku bagi kegiatan apresiasi dan pengarsipan serta pengkajian sebagai bentuk pengembangan perfilman.

Berdasarkan pasal-pasal dan ayat-ayat di atas, pemerintah daerah harus menyediakan anggaran untuk usaha perfilman yang bisa dimasukkan melalui APBD, khususnya untuk produksi film yang diorientasikan untuk pengembangan dan pemberdayaan budaya lokal. Di sinilah, sekali lagi, perlunya aparat pemerintah dan insan perfilman bertemu untuk memutuskan rencana induk perfilman daerah yang benar-benar bisa menghidupan kegiatan di lapangan. 

Saya tidak tahu, apakah Pemerintah Provinsi Jawa Timur sudah menganggarkan keperluan ini di APBD. Apa yang dibutuhkan kemudian adalah kejelasan politik anggaran yang ditujukan untuk kegiatan perfilman. Investasi besar jelas dibutuhkan karena biaya pembuatan film, baik dokumenter maupun fiksi, tidaklah sedikit. 

Kalau birokrat memandang bahwa investasi untuk kebudayaan dan film kurang menghasilkan, maka pandangan tersebut tidak lebih sebagai ketidaktahuan mereka tentang efek dahsyat film bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Aparat eksekutif dan legislatif sudah harus mau merumuskan besaran anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan perfilman. 

Tentu saja dengan mekanisme yang benar dan profesional. Kuncinya, untuk memulai usaha perfilman berorientasi pemberdayaan, jangan terburu-buru menghitung untung karena target utama adalah pembudayaan film yang berorientasi budaya lokal di masyarakat. 

Apakah ini ndakik-ndakik? Iya, ini memang ndakik-ndakik, tetapi akan lebih tidak menarik kalau belum memutuskan apa-apa kemudian mengatakan usulan anggaran sebagai sesuatu yang ndakik-ndakik. Komitmen terhadap penyediaan anggaran juga akan memutus mata-rantai fomalisasi rekomendasi dan kebijakan yang ditelorkan dari sebuah seminar.

Di provinsi ini, saat ini banyak terdapat komunitas-komunitas film yang digawangi oleh kawula muda, baik yang berorientasi kepada produksi film maupun apresiasi dan distribusi film-film pendek yang diproduksi secara independen. Mereka ini, mengadopsi pemikiran Featherstone (2007: 44), adalah para perantara budaya baru yang mampu menghadirkan beragam wacana sosio-kultural dalam masyarakat serta merintis pembentukan penonton di kelas menengah terpelajar; mahasiswa dan siswa SMP/SMA.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun