Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Budaya Lokal dalam Film: Kemungkinan Pengembangan di Daerah

9 Mei 2022   23:10 Diperbarui: 9 Mei 2022   23:11 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hutan jati meranggas di Lamongan selatan. Dokumentasi pribadi

Tentu saja, aspek-aspek kultural di atas masih bisa dikembangkan lebih luas lagi, khsusunya yang sangat spesifik di masing-masing kabupaten/kota. Apa yang harus diperhatikan adalah kita tidak mungkin mengkonstruksi budaya lokal dalam pola narasi yang kaku. Artinya, para sineas bisa memasukkan teknik maupun peristiwa naratif yang lebih menarik untuk ditonton. 

Titik-tekannya lebih kepada bagaimana memunculkan wacana dari peristiwa-peristiwa naratif terkait kemampuan masyarakat, mengikuti pemikiran Aschroft (2002), untuk mentransformasi nilai dan praktik kultural baru ke dalam kehidupan mereka yang menjadikan kekayaan lokal bergerak dinamis, sehingga tetap ada keinginan untuk mengembangkan identitas lokal. Dari pola tersebut, budaya lokal bisa menjadi wacana-wacana strategis di tengah-tengah modernitas dan tradisi pasar yang semakin menguat.

Berkaca dari bermacam tegangan konfliktual antara insan perfilman dan rezim negara, perlu kiranya dibuat sebuah pemahaman baru yang bisa mempertemukan kedua kutub biner ini. Ketika pemerintah memosisikan film sebagai bagian penting dalam transformasi dan diseminasi budaya lokal, maka mereka harus mulai memiliki kesadaran bahwa kekakuan paradigmatik tidak bisa dibiarkan terus meng-ada. 

Bagaimanapun juga, lokalitas masyarakat selalu berkembang dan berubah mengikuti pengaruh-pengaruh kontekstual yang melingkupinya, begitupula dengan budaya pop yang menuntut perubahan secara cepat. 

Dalam kondisi demikian, mengadopsi pemikiran Edensor (2002: 17), identitas kultural yang diyakini oleh masing-masing masyarakat etnis di Jawa Timur tidak bisa lagi dikerangkai dalam kebekuan, kepastian, dan ke-adi-luhung-an, tetapi sebagai bentuk negosiasi dan dialog secara ajeg yang menghasilkan kreativitas hibriditas kultural sekaligus esensialisme strategis. 

Implikasinya adalah otoritas negara akan kehilangan kemutlakan untuk menentukan makna dan wacana kultural seperti apa yang dikembangkan (Turner, 1999: 158). Mereka harus mau berbagi peran dalam menentukan wacana dan makna lokalitas seperti apa yang akan dimunculkan dalam film.

Pada titik inilah, semestinya bisa dilakukan perbincangan lebih lanjut dengan insan perfilman di Jawa Timur, baik mereka yang sudah profesional maupun yang masih belajar di perguruan tinggi dan komunitas. Usaha untuk mem-break down aspek-aspek kultural yang bisa di-film-kan, baik dalam format dokumenter maupun cerita, akan berimplikasi positif kepada terwujudnya konsensus baru dalam pengembangan budaya lokal melalui kegiatan perfilman. Tidak menutup kemungkinan akan muncul pro dan kontra. 

Tidak masalah, karena konsensus memang membutuhkan negosiasi secara ajeg, sehingga bisa berdampak secara luas kepada pihak-pihak terkait. Tanpa konsensus tersebut, bisa dipastikan bahwa akan selalu muncul tegangan-tegangan konfliktual antara idealisasi pemerintah dengan insan perfilman. Dan, ujungnya adalah keterpisahan antara gerak kreatif yang dilakukan insan perfilman dengan para penentu kebijakan di daerah, sehingga tampak tidak ada sinergi yang mampu memberdayakan.  

MEMIKIRKAN & MENENTUKAN ANGGARAN 

Berbeda dengan industri perfilman nasional yang melibatkan para pemodal besar, usaha perfilman daerah memang relatif kurang berkembang, khususnya yang di-sponsori oleh pemerintah daerah---baik provinsi maupun kabupaten/kota. Padahal, dalam UU No. 33 Tahun 2009 Pasal 54 dan 55, kita akan menjumpai beberapa bentuk kewajiban dan tugas pemerintah daerah. 

Pada pasal 54 pemerintah daerah wajib memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman; memberikan bantuan pembiayaan apresiasi dan pengarsipan film; memfasilitasi pembuatan film untuk memenuhi ketersediaan film Indonesia; dan, memfasilitasi pembuatan film dokumenter tentang warisan budaya bangsa di daerahnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun