Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Budaya Lokal dalam Film: Kemungkinan Pengembangan di Daerah

9 Mei 2022   23:10 Diperbarui: 9 Mei 2022   23:11 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hutan jati meranggas di Lamongan selatan. Dokumentasi pribadi

Jawa Timur, dalam  pemahaman saya, merupakan laboratorium budaya yang menyediakan ruang dan kesempatan bagi tumbuh-suburnya identitas-identitas lokal. Masyarakat Jawa Timur menjadi contoh nyata bagaimana budaya lokal di masing-masing kabupaten ataupun wilayah kebudayaan terbentuk melalui pertemuan dan dialektika antarbudaya yang masih berproses hingga saat ini. 

Majapahit memberikan teladan bagaimana kekuatan-kekuatan kultural lokal mampu mengapropriasi budaya-budaya asing yang masuk melalui jalur perdagangan maupun diplomasi politik. Pada zaman kolonial, masyarakat Jawa Timur juga mampu menyerap sebagian aspek budaya Eropa yang bisa disandingkan dengan budaya tradisional sehingga membentuk budaya lokal yang sangat khas, hibrid.

Wong Tengger menanam kentang, wortel, kubis, tomat, dan bawang pre, sebagai komoditas pertanian modern sejak masuknya orang-orang Eropa ke wikayah-wikayah sekitar Bromo. Alih-alih memosisikan komoditas pertanian tersebut sebagai ancaman, wong Tengger mampu menggunakan keberlimpahan rezeki dari hasil panen untuk terus melanjutkan ajaran leluhur. 

Meskipun demikian, pergeseran maupun beberapa perubahan orientasi memang berlangsung, sebagai konsekuensi dari proses 'percumbuan' dengan modernitas. Kita tidak mungkin lagi mengunci masyarakat dan budaya lokal dalam kampanye ketradisionalan karena kenyataannya mereka sudah menuju dan menjadi modern dengan cara-cara transformatif. 

Modernitas adalah wacana dan praktik yang bersifat hegemonik, di mana masyarakat dari gunung hingga pesisir, dari dusun hingga kota, tidak mungkin lagi tidak menerima dan menyerapnya dalam kehidupan sehari-hari. Namun, kita masih boleh berbangga, ternyata masyarakat Jawa Timur-lah yang saat ini menjadi penyangga utama kebudayaan Jawa dengan reyog, ludruk, tayub, gandrung, janger, jaranan, dan beragam ritual yang masih dilangsungkan masyarakatnya. 

Jawa Timur bisa menjadi contoh nyata dari multikulturalisme karena etnis Madura, Jawa, Using, Tengger, Arab, dan Tiongkok bisa hidup berdampingan, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya riak-riak kecil. Artinya, masih ada usaha-usaha strategis yang dilakukan oleh para pelaku untuk terus menegosiasikan, memobilisasi, dan mentransformasi identitas komunal ke dalam pikiran dan perilaku modern yang tidak diyakini dan dijalankan sepenuhnya. Itu semua merupakan sumber inspirasi bagi insan perfilman.

Siasat hibridisasi dan esensialisme-strategis, nyatanya, masih mampu menjadi ruang pertemuan dengan kebaruan-kebaruan zaman; bukannya pembekuan konsep adiluhung. Para pelaku seni di tingkat lokal memiliki keliatan yang luar biasa dalam berdialektika dengan perubahan orientasi kultural masyarakat. 

Para seniman sanggar di Banyuwangi mampu menggaet anak-anak, kaum remaja, dan kaum muda untuk berlatih tari dan musik tradisional yang sudah dikontekstualisasikan dengan kondisi zaman serta bekerjasama dengan produser lokal untuk merekam dan menyebarluaskan garapan mereka secara digital (Subaharianto, Tallapessy, & Pujiati, 2013). Para musisi Banyuwangi mampu menciptakan lagu Osing yang digarap dengan citarasa modern dan mendapatkan tanggapan sangat positif dari masyarakat (Sariono, dkk, 2010). 

Para santri di Pondok Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo dan Al Hidayah Silo Jember mulai menulis dalam bentuk narasi modern tanpa melupakan wacana-wacana religiusitas yang mereka serap dari kehidupan pesantren dan masyarakat sekitar (Pujiati & Astutiningsih, 2014). Artinya, para pelaku di wilayah lokal sebenarnya sangat pandai dalam memahami dan menyiasati kehadiran modernitas serta menjadikannya sumber kreativitas baru yang tidak melupakan kekayaan lokalitas mereka. 

Dalam kondisi demikian, apakah pemerintah masih terus berkutat dengan yang adiluhung dan tidak adiluhung? Kenyataannya, budaya lokal adalah sebuah proses aktif yang terus menjadi dan terus berdialektika serta memunculkan banyak kreativitas-kreativitas baru yang terus menegosiasikan lokalitas dalam bentuk-bentuk transformatif.

TRANSFORMASI BUDAYA LOKAL DALAM KONSTRUKSI FILMIS 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun