Dalam kondisi itulah, mengatakan masyarakat Tengger ataupun Using sebagai masyarakat tradisional, sangat jauh dari kenyataan yang berlangsung dalam masyarakat. Perspektif hibriditas, sebagaimana dilontarkan Bhabha (1994), menurut saya lebih tepat digunakan untuk memahami masyarakat dan budaya lokal.Â
Dalam perspektif hibriditas, budaya bukan lagi didefinisikan sebagai sesuatu yang esensial, beku, dan mapan, tetapi selalu berkembang dinamis sebagai tanggapan kreatif terhadap pengaruh budaya modern. Tanggapan itu berupa peniruan yang penuh ambivalensi; meniru tetapi tidak diam dan tidak sepenuhnya.Â
Artinya, masyarakat lokal mampu mengapropriasi sebagian nilai dan bentuk budaya modern yang dirasa akan memberikan keuntungan buat mereka untuk sruvive di tengah-tengah modernitas, tetapi bukan berarti meninggalkan sebagian warisan leluhur yang menjadi pengikat identitas komunal.
Dalam strategi itu pula, masyarakat lokal akan mampu untuk tidak menerima aspek-aspek kebebasan, rasionalisme, dan individualisme secara mutlak sebagaimana diajarkan oleh modernisme (Bhabha & Comaroff, 2002). Wong Tengger, misalnya, menikmati teknologi modern dan berorientasi kepada pendidikan formal, tanpa harus meninggalkan ritual Kasada dan wewaler-wewaler dalam menjalani hidup (Setiawan, 2012, 2013a).
Budaya lokal dalam pandangan esensialisme strategis. Meskipun masyarakat tidak bisa menolak lagi kehadiran budaya modern dalam kehidupan sehari-hari, Â mereka, sejatinya, masih bisa menggunakan aspek-aspek kultural yang sangat khas guna memperkuat kesadaran komunal.Â
Mengikuti pemikiran Spivak, salah satu pakar humaniora dari India, masyarakat bisa memahami dan mengembangkan budaya lokal dalam paradigma esensialisme-strategis. Paradigma ini menekankan pada kesadaran kolektif untuk memobilisasi karakter-karakter kultural komunitas atau masyarakat tertentu untuk menyemaikan dan menegaskan kekuatan lokal dalam menghadapi budaya atau kekuasaan dari luar yang berpretensi menindas mereka (Morton, 1999).Â
Mobilisasi secara ajeg budaya khas masyarakat bisa melahirkan politik identitas, di mana kekhasan dan keberbedaan kultural bisa digunakan untuk memperkuat dan memberdayakan masyarakat lokal demi menyukseskan kepentingan ekonomi, politik, maupun sosial di tengah-tengah budaya ataupun kekuasaan dominan (Moya, 2006; West-Newman, 2004; Thornberry, 2002; Harvey, 2005).
Secara ideal mobilisasi kultural memang cukup ampuh untuk memperkuat ikatan solidaritas, tetapi tetap membutuhkan kesadaran-diri dari semua anggota masyarakat dan pemangku kebijakan agar bisa memberdayakan semua elemen masyarakat dan tidak sekedar memberikan keuntungan kepada elit-elit lokal.Â
Mengikuti paradigma ini, budaya lokal pada masing-masing kabupaten di Jawa Timur bisa diposisikan sebagai penyokong ikatan solidaritas masyarakat Tentu saja, hal itu tidak dimaksudkan sebagai usaha untuk menjelek-jelekkan atau menciptakan permusuhan dengan etnis ataupun masyarakat dari wilayah lain.Â
Alih-alih, dimanfaatkan untuk bersiasat dan terus menegosisikan kekuatan dan kekayaan kultural di tengah-tengah modernitas dan globalisasi saat ini, sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat dan budaya di Jawa Timur adalah contoh nyata dari kekuatan multikultural yang setara dan sama-sama berjuang untuk bisa terus survive.Â
LAB BUDAYA LOKAL SEBAGAI SUMBER KREATIVITASÂ