Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Budaya Lokal dalam Film: Kemungkinan Pengembangan di Daerah

9 Mei 2022   23:10 Diperbarui: 9 Mei 2022   23:11 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hutan jati meranggas di Lamongan selatan. Dokumentasi pribadi

Pertama-tama, saya menawarkan pemahaman-ulang tentang budaya lokal dalam paradigma "hibriditas" dan "esensialisme strategis" yang bisa menempatkannya sebagai sumber kreativitas film. Berikutnya, saya akan mengeksplorasi beberapa paradigma strategis dalam kebijakan perfilman yang berorientasi pada pengembangan budaya lokal. 

Tentu saja, sebagai tulisan paradigmatik, saya menyadari akan muncul beberapa permasalahan teknis ketika hendak diaplikasikan ke dalam bahasa kebijakan. Paling tidak, permasalahan-permasalahan itulah yang bisa didiskusikan lebih lanjut untuk mendapatkan "jalan pembuka", sehingga apapun kebijakannya bisa ditindaklanjuti dengan kajian yang lebih mendalam agar benar-benar bisa berdaya-guna bagi para pelaku kultural dan perfilman serta birokrat. 

MEMAHAMI-ULANG BUDAYA LOKAL

Dalam kacamata awam, budaya tradisional selalu saja dipahami sebagai anti-tesis dari budaya modern. Pertanyaannya, di tengah-tengah arus besar "peradaban android" yang memungkinkan dan memudahkan manusia dan masyarakat Jawa Timur bertemu dan 'bercengkrama' secara lembut dengan aneka warna budaya global, masih adakah budaya yang bisa dikatakan tradisional? 

Warga Using Banyuwangi mungkin akan mengatakan, "kami masih punya seblang, gandrung, kebo-keboan, angklung, puter kayun, dan gredoan". Begitupula warga Ponorogo yang mungkin dengan lantang akan berkata, "reyog adalah identitas kami". Pertanyaan berikutnya adalah apakah tidak ada aspek budaya modern yang dimasukkan ke dalam 'budaya tradisional' tersebut, karena sejak era kolonial mereka sudah bersentuhan dengan yang modern. 

Seblang, misalnya, saat ini bukan lagi menjadi murni ritual karena sudah dimasuki kepentingan sponsor dan pariwisata yang melekat dalam acara tersebut. Kalaupun ritual Seblang diposisikan sebagai "yang tradisional", hal itu lebih dilekatkan pada tata cara, nilai dan harapan ideal, dan ketidakmasuk-akal-an dari hadirnya peristiwa-peristiwa gaib di dalam praktiknya. 

Sementara, hasrat untuk mendatangkan penonton dan sponsor adalah orientasi modern dalam mekanisme pasar (Subaharianto & Setiawan, 2012). Artinya, membakukan istilah budaya tradisional, tentu saja akan memunculkan delegitimasi terhadap ketradisionalan itu sendiri, karena kenyataannya mereka sudah bercampur dengan budaya modern. Untuk itulah, istilah budaya lokal sebenarnya lebih menarik untuk dipakai karena mensyiratkan dinamika dan dan kompleksitas kultural yang berlangsung di masyarakat pelakunya.

Hibriditas sebagai warna budaya lokal. Kalau kita lacak-kembali artefak, kitab, ritual, pakaian, kesenian, arsitektur, dan pola hidup masyarakat Jawa Timur, niscaya kita akan menemukan sebuah kenyataan campur-aduk kultural yang menghadirkan karya-karya intertekstualitas sebagai karakteristik masyarakat dan budaya lokal. 

Apakah ada jaminan bahwa gandrung Banyuwangi adalah budaya pribumi, sementara riset kecil Hamid (2011) menunjukkan bahwa tari pergaulan-profan ini memiliki unsur-unsur budaya Tiongkok di dalamnya, semisal gerakan tari yang menyerupai gerakan kung fu? Belum lagi kebiasaan mengenakan kaos kaki yang jelas-jelas menyerap tradisi kolonial Eropa. 

Akulturasi budaya maupun sinkretisme religi, meminjam istilah antropologi, adalah kenyataan yang tidak bisa ditolak lagi, sehingga untuk mengatakan bahwa sebuah komunitas memiliki budaya (yang benar-benar) asli akan menimbulkan permasalahan tersendiri. 

Kalaupun kemudian mereka meng-klaim bahwa ada budaya asli-tradisional, itu tidak lebih dari usaha untuk menjadikan apa-apa yang mereka terima secara turun-temurun sebagai kepemilikan komunal yang bisa mengkonstruksi identitas komunitas. Namun, hal itu tidak mungkin bisa membentengi komunitas dan budayanya dari pengaruh budaya modern yang sudah berlangsung sejak masa kolonial dan semakin massif sejak era Orde Baru sampai dengan hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun