Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Ulang Makna Heroisme dalam Gandrung Banyuwangi

1 Desember 2021   09:22 Diperbarui: 1 Desember 2021   09:36 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gandrung berkaos kaki dalam sebuah foto studio. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda

Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada hubungan sama sekali antara lirik-lirik lagu Seblang dalam gandrung dengan kondisi masyarakat ketika dijajah oleh Belanda. Sekali lagi, yang diragukan oleh Wolbers adalah wacana heroisme dan perlawanan terhadap penjajah, tetapi ia tidak menolak bahwa memang ada gambaran akan penderitaan, meskipun masih harus ditelisik lagi. 

Berikut ini saya kutipkan lirik salah satu versi Padha Nonton yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris olehnya dan kami terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Padha nonton/ Setiap orang menyaksikan

pudhak sempal ring ngalurung/ kembang pandan/budak patah di atas jalan

Yo pendhite pudhak sempal/ Batang kembang pandan/budak patah

lambeyane para putra/ mereka tetap berjalan, para lelaki muda

 

Para putra/ Semua lelaki muda

kejala ring kedhung lewung/ terjaring di pusaran

yo jalane, jala sutra/ Jalanya jala sutra

tampange tampang kencana/ tampang nya bersepuh emas

Menurut Wolbers (1992: 279), kata "pudhak" bisa ditafsir kembang pandan maupun pembantu/budak. Meskipun demikian, rujukan kepada para putra pada akhir bait ini menegaskan bahwa metafor tersebut memang dimaksudkan untuk membandingkan "para lelaki muda" dengan kembang yang sangat berharga yang batangnya patah; mereka adalah para budak yang dikalahkan oleh penguasa. 

Bait kedua menceritakan bagaimana para lelaki muda itu ditangkap dalam perangkap yang membuat mereka tidak bisa keluar lagi, kedhung (pusaran air di sungai). Mereka terpikat meskipun ditangkap, karena jala bersepuh emas.

Oleh beberapa budayawan tembang tersebut ditafsir dibuat pada awal abad ke-19 ketika banyak pemuda mengalami penderitaan karena harus bekerja membuat jalan utama Anyer-Panarukan di masa Gubernur Jendral Daendels. Wolbers (1992: 280) mengritisi pendapat tersebut karena jalan pos tersebut tidak sampai ke wilayah Banyuwangi ketika dibangun oleh Daendels; hanya sampai di wilayah Sumberwaru, dekat Panarukan, Situbondo. 

Artinya, secara implisit, kurang tepat kalau dikatakan bahwa lagu ini ditujukan untuk melawan pembangunan jalan yang dilakukan oleh Daendels. Mengapa? Bukan hanya karena letaknya yang jauh dari Banyuwangi, tapi juga karena pada masa itu warga Using sedang mengalami permasalahan sendiri, buat apa memikirkan bagian lain dari Pulau Jawa. 

Meskipun pembangunan jalan diteruskan ke arah Banyuwangi, yakni Bajulmati selepas masa Gubernur Jendral Daendels, kurang tepat kalau dikatakan tembang ini menceritakan keadaan buruk yang dialami oleh para tenaga kerja narapidana yang terlibat di dalam pembangunannya. 

Dengan kata lain, konstruksi diskursif terkait perlawanan terhadap kekuasaan Daendels di tanah Jawa yang dilekatkan pada lagu Padha Nonton versi di atas memang agak berlebihan. Namun, untuk mendapatkan wacana yang mendekati realitas historis memang perlu dilakukan penelisikan lebih jauh lagi. 

Apalagi ada beberapa ungkapan dalam lagu itu yang mewacanakan sentimen negatif, seperti "kembang yang patah/budak", "para lelaki muda yang ditangkap"; semua menunjukkan ada sesuatu yang salah di daerah tempat dibuatnya tembang-tembang tersebut. Wolbers (1992: 283) menjelaskan bahwa pemaknaan terkait protes terhadap penderitaan yang diakibatkan oleh kolonialisme tidak bisa dilepaskan dari sejarah penindasan yang dialami masyarakat Blambangan pasca kekalahan dalam Perang Bayu. 

Dengan demikian, berpijak pada tafsir tersebut, tembang-tembang Seblang yang dinyanyikan dalam pertunjukan gandrung memang merupakan bentuk protes terhadap keadaan, tetapi bukan untuk menggumpalkan perlawanan masyarakat eks-Blambangan terhadap penjajahan Belanda, meskipun memang terkesan romantik.

Apa yang menarik dari temuan Wolbers adalah kenyataan bahwa tidak semua musisi maupun penari gandrung yang menyepakati investasi diskursif yang dilakukan oleh para budayawan yang pro terhadap kebijakan pendopo. Sebagian besar informan yang ia temui ketika proses penelitian mengatakan bahwa mereka tidak berpikiran bahwa lagu-lagu tersebut dimaksudkan untuk kepentingan revolusioner. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun