Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Ulang Makna Heroisme dalam Gandrung Banyuwangi

1 Desember 2021   09:22 Diperbarui: 1 Desember 2021   09:36 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gandrung berkaos kaki dalam sebuah foto studio. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda

Sementara, "lawang gedhe wonten hang jagi", mengingatkan para pejuang akan kenyataan bahwa bagian-bagian penting di Blambangan telah dikuasai dan dijaga ketat oleh aparatus penjajah. "Medalo ring lawang butulan" menjadi semacam arahan bahwa kalau ingin melakukan penyerbuan, para anggota laskar sebaiknya memilih tempat-tempat yang lemah penjagaannya. 

"Wis biasane ngemong adine" menunjukkan bahwa seorang pemimpin/komandan harus mampu memimpin anak buahnya dengan perlakuan baik, sebagaimana mengasuh adiknya sendiri, sehingga perlu diperhatikan kesehatannya, keselamatannya, kesetiakawanannya, dan lain-lain. 

Adapun, "sak tindak baliyo mulih" merupakan peringatan sekaligus strategi perjuangan. Para pejuang hendaknya sekali melakukan penyerbuan, penghadangan, dan penyergapan segera menyelamatkan diri ke dalam hutan agar apabila prajurit bantuan datang mereka tidak tertangkap atau terbunuh. Dengan demikian, bait kedua tembang ini menekankan strategi dan metode operasional perjuangan yang bisa dilakukan oleh para pejuang. 

Metode othak-athik-gathuk yang dilakukan oleh Fatrah dalam menganalisis Seblang Lokenta dan juga tembang-tembang gandrung lainnya, seperti Sekar Jenang, Kembang Dirma, Kembang Pepe, Sondreng-sondreng, dan Padha Nonton, memang boleh didebat terkait ketepatan makna yang disampaikan. 

Namun, apa yang harus diingat adalah bahwa semua analisis itu dilakukan dengan menimbang konteks penderitaan masyarakat Blambangan pasca Perang Bayu, sehingga makna perjuangan gandrung dalam membangkitkan-kembali semangat perjuangan rakyat bisa dipahami. 

Kalau kita kembalikan ke dalam perspektif akademis, tafsir yang dibuat Fatrah sah-sah saja. Proses menafsir yang berujung pada invensi dan investasi tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks historis yang melatarinya. Dalam perspektif demikian, tafsir terkait masa lalu masyarakat Blambangan yang menjadi korban kolonialisme dan berjuang untuk melawan penjajah memang bisa diterima.

Menarik kalau kita menyimak pendapat Wolbers, seorang peneliti seblang (ritual sakral di Desa Olehsari dan Bakungan) dan gandrung dari Amerika Serikat terkait wacana heroisme gandrung. Selama ia melakukan penelitian di akhir 1980-an hingga awal 1990-an memang banyak budayawan yang mengatakan bahwa gandrung adalah seni perlawanan terhadap Belanda, khususnya berdasarkan tembang yang biasa dibawakan dalam ritual Seblang. 

Namun, Wolbers (1992: 278) memberikan analisis yang berbeda terkait keyakinan tersebut.

Apakah para penyair Using membawa keseluruhan kepulauan di dalam kepalanya ketika menciptakan lagu tentu sangat sulit untuk diceritakan. Namun, sepertinya hal itu menjadi anggapan yang tidak realistis. Tidak disangsikan lagi bahwa warga Using sangat menderita di dalam kekuasaan Belanda... Namun, menimbang pengalaman negatif mereka dengan masyarakat Mataram dan....kekuasaan Bali, rasa-rasanya sulit dipercaya bahwa lagu tua Seblang patut dijadikan kandidat bagi penyebaran perlawanan nasional terhadap Belanda, atau sebagai ekspresi cinta terhadap Indonesia secara keseluruhan.

Jikalaupun beberapa dari lagu tersebut benar-benar mengekspresikan sentimen anti-kolonial, yang tentunya sangat sulit dibuktikan melampaui keraguan yang dialamatkan kepada asal-usul ambigunya, maka ini, dalam banyak opini, harus dianggap sebagai sebuah fenomena lokal. Beberapa dari teks tersebut secara nyata ditujukan untuk mempererat ikatan di antara wara Using yang kecewa terhadap rezim baru.

Pernyataan di atas merupakan wacana moderat yang ditawarkan Wolbers ketika ia tidak bisa meyakini pendapat beberapa budayawan terkait heroisme gandrung yang memosisikannya sebagai aparatus untuk mempererat ikatan solidaritas dari warga Using yang terjajah. Hal ini didasari bahwa sangat sulit memercayai kalau penulis lirik lagu akan memikirkan kepulauan Hindia-Belanda karena antarpulau atau antarkerajaan masih belum diikat dalam bentuk resmi negara ketika lagu-lagu Seblang diciptakan oleh para penyair. 

Itulah mengapa Triadi (dikutip dalam Wolbers, 1992: 278) mengatakan bahwa sebenarnya lagu-lagu Seblang lebih merepresentasikan kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Tembang Padha Nonton, misalnya, menggambarkan ketertarikan yang saling berbalas antara perjaka dan gadis. 

Sementara, Erang-erang bermakna "perang-perang" yang melambangkan peperangan antara para lelaki dengan unsur-unsur yang mengganggu tanaman mereka. Dengan kata lain tidak ada keterkaitannya dengan heroisme maupun wacana perlawanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun