Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Ulang Makna Heroisme dalam Gandrung Banyuwangi

1 Desember 2021   09:22 Diperbarui: 1 Desember 2021   09:36 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gandrung berkaos kaki dalam sebuah foto studio. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda

Konstruksi imajiner yang dihadirkan oleh kesenian tradisi berbahasa lokal merupakan 'cara sederhana-tetapi-mujarab' untuk menegosiasikan dan memobilisasi kesadaran individual dan komunal berbasis kesamaan bahasa dan selera estetik. Selain itu, metode tersebut juga bisa dilakukan dengan memaknai-ulang ekspresi tradisional, tetapi masih memiliki banyak penggemar fanatik di tengah-tengah masyarakat. 

Dengan memaknai-ulang ekspresi tradisional, para aktor kultural bisa memformulasi makna-makna baru berbasis cerita atau data historis yang dikontekstualisasikan atau ditransformasikan ke dalam kesadaran terkini warga komunitas. Formula transformatif tersebut bisa mewacanakan perspektif dan pemikiran baru yang bisa melampaui cara pandang lama yang terkadang bersifat stigmatik dan bisa menjadi senjata untuk menyerang identitas kultural dan keberadaan kelompok. 

Namun demikian, mobilisasi makna-makna baru terkait dengan ekspresi budaya tradisional memang bisa memperkuat rasa memiliki dan solidaritas komunal. Namun, kalau tidak hati-hati, bisa dimanfaatkan oleh rezim penguasa atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. 

Gandrung adalah salah satu kesenian tradisional dari Banyuwangi yang cukup populer hingga saat ini. Sebagai tari pergaulan, gandrung cukup terkenal dari era kolonial hingga saat ini. Keterkenalan itulah yang menarik perhatian para aktor kultural dan rezim penguasa untuk memberikan tafsir sesuai dengan kepentingan mereka.

Di Banyuwangi, sejak era 1970-an beberapa budayawan yang berada dalam pengaruh kampanye penelusuran dan penemuan-kembali identitas daerah melalui kesenian berusaha membincang dan menafsir-ulang keberadaan gandrung, salah satu tari pergaulan paling populer di wilayah ini. 

Meskipun masih menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi yang plural, baik secara etnis maupun agama, serta dianggap semata-mata hiburan profan yang cenderung erotis, mereka tetap berusaha mengkonstruksi wacana positif tentang gandrung, utamanya keterkaitan syair-syair tembang yang dikaitkan dengan perjuangan. 

Hasan Basri (2009: 15) menjelaskan bahwa bagi para tokoh budaya gandrung bukan sekedar kesenian untuk bersenang-senang menghabiskan malam. Gandrung, bagi mereka, adalah kesenian yang memiliki makna historis dan kepahlawanan. Kesadaran, atau barangkali lebih tepatnya romantisme historis ini berkembang pada awal tahun 70-an setelah beberapa budayawan menafsir lirik gendhing-gendhing (lagu) klasik yang cukup terkenal dalam pertunjukan gandrung seperti padha nonton, sekar jenang, seblang lokinto, layar kumendhung dan lain-lain. 

Para budayawan juga memperoleh beberapa dokumen lawas penulis Belanda dan beberapa tulisan berbahasa Inggris yang membantu upaya penggalian makna tersebut. Berdasar hasil tafsiran makna gendhing-gendhing klasik tersebut lahir wacana bahwa gandrung adalah sebuah kesenian yang berfungsi sebagai alat perjuangan melawan Belanda.

Gandrung di depan rumah pada era kolonial. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda 
Gandrung di depan rumah pada era kolonial. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda 
Di antara budayawan yang terlibat dalam proyek penemuan makna perjuangan dalam kesenian gandrung adalah Fatrah Abal (alm), Hasnan Singodimayan, dan Hasan Ali (alm). Meskipun tahu bahwa gandrung dalam masyarakat Banyuwangi telah menjadi kesenian profan yang diwarnai tradisi minum minuman beralkohol, tetapi mereka tetap meyakini bahwa terdapat makna dan nilai perjuangan yang disuguhkan, khususnya, melalui syair-syair tembang klasik. 

Menariknya, untuk memperkuat tafsir tekstual, para budayawan memperkuatnya dengan kesadaran konstekstual masa-masa tragis yang dialami warga Blambangan (nama lama Banyuwangi) selepas perlawanan habis-habisan terhadap kolonial Belanda berdasarkan sumber-sumber asing. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun