Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Erupsi Bromo dalam Nalar Masyarakat Tengger

16 November 2021   11:53 Diperbarui: 18 November 2021   01:46 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Bromo. Foto: Dokumentasi Kompas.com

Desa Ngadas pasca erupsi 2010-2011. Foto: Dok. Pribadi
Desa Ngadas pasca erupsi 2010-2011. Foto: Dok. Pribadi

Dari kasus erupsi Bromo 2010-2011, paling tidak, kami mendapatkan beberapa gambaran terkait bercampurnya perspektif modernisme, dalam hal ini ekonomi, dan tradisionalisme dalam kehidupan masyarakat Tengger. 

Sebagai petani sayur-mayur yang berorientasi pasar (pertanian kapitalis) dan sudah terbiasa dengan konsumsi benda-benda modern, masyarakat Tengger merasa “rugi” karena investasi modal yang mereka keluarkan untuk bercocok tanam harus hilang bersama datangnya abu dan pasir vulkanik. Kemarahan akibat harus menanggung beban ekonomi saat letusan Bromo sehingga mereka harus menyalahkan dhukun pandita merupakan sebuah bentuk nalar modern yang berkembang dalam benak masyarakat Tengger. 

Dalam perspektif ekonomi modern, modal yang ditanamkan seseorang memang seharusnya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan bukannya kerugian. Meskipun hanya berupa gugatan-gugatan kecil terhadap dhukun pandita, hal itu jelas menunjukkan adanya sebuah pergeseran pemaknaan tradisional sebagai akibat kuatnya pengaruh pertanian komersil dalam kehidupan masyarakat. Dhukun pandita yang sangat dihormati dalam struktur dan sistem sosio-kultural masyarakat mulai mendapatkan gugatan sebagai akibat rasionalisasi ekonomi.

Dalam kearifan lokal Tengger, catur setya, terdapat satu ajaran untuk taat kepada “guru adat” yakni dhukun pandita. Ketaatan diwujudkan dalam tindakan melaksanakan ucapan dhukun terkait waktu pelaksanaan slametan termasuk jenis-jenis sesajennya. Ketaatan juga mewujud dalam penghormatan terhadap sosok dhukun yang dianggap perwakilan Dewata di muka bumi. 

Itulah sebabnya, menjadi dhukun pandita bukan persoalan mudah, karena ia harus menguasai mantra, jenis sesajen, dan penanggalan Tengger, serta menunjukkan omongan dan tindakan yang patut diteladani oleh masyarakat. Gugatan-gugatan kecil terhadap otoritas dhukun pandita terkait letusan Bromo memang tidak sampai menimbulkan konflik ataupun ketidakpercayaan secara massif, tetapi, paling tidak, menunjukkan adanya pergeseran ketaatan akibat dorongan ekonomi.

Menyadari bahwa masyarakat Tengger masih meyakini tradisi leluhur di tengah-tengah kehidupan mereka saat ini, dhukun pandita menggunakan mekanisme ritual untuk meredam gugatan-gugatan kecil warga. Apabila gugatan-gugatan tersebut tidak ditanggapi maka bisa menggangu keyakinan tradisional masyarakat, termasuk di dalamnya mengganggu otoritas dhukun pandita. 

Kalau saja gangguan terhadap keyakinan tradisional itu terus berlangsung, mekanisme dan keberlanjutan tradisi Tengger jelas akan ikut berubah. Wangsit untuk “rukun dan sabar” karena “arwah leluhur sedang membangun istana baru” menjadi nalar yang dikembangkan oleh para dhukun pandita dan disebarluaskan kepada masyarakat. Namun, wacana mistis saja tidak cukup, sehingga konsep dilironi dengan kemakmuran baik dari aspek pertanian maupun pariwisata pasca-erupsi sebagaimana dikembangkan oleh para pendahulu menjadi “rezim kebenaran” dan di-konsensus-kan dalam pemahaman warga. 

Menurut saya, konsep “kemakmuran pasca-erupsi”, pada dasarnya, tetaplah mengedepankan logika ekonomi karena membayangkan adanya keuntungan komersil yang bisa menggantikan investasi masyarakat Tengger. Artinya, wacana ketradisian Tengger terkait Bromo tetap membutuhkan intervensi nalar ekonomi modern untuk memperoleh pembenaran dari masyarakat sehingga kondisi harmonis kembali terwujud. 

Belajar dari kasus erupsi Bromo dan hubungannya dengan gugatan warga terhadap otoritas tradisi, saya memaknai adanya dualisme atau “kegandaan” dalam pikiran kultural masyarakat Tengger. Yang saya maksud dengan pikiran kultural adalah konsep berpikir yang ada dalam benak masyarakat terkait hal-hal yang “ideal” dan “tidak ideal” dalam menjalani kehidupan dan memaknai permasalahan yang mereka hadapi. 

Di satu sisi, mereka sudah terbiasa dengan pola pikir modern, semisal dalam hal ekonomi pertanian dan pendidikan, tanpa meninggalkan sebagian budaya lokal mereka. Di sisi lain, mereka tidak menggunakan sepenuhnya pikiran modern tersebut dalam memaknai keyakinan dan menjalankan tradisi leluhur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun