Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Erupsi Bromo dalam Nalar Masyarakat Tengger

16 November 2021   11:53 Diperbarui: 18 November 2021   01:46 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Bromo. Foto: Dokumentasi Kompas.com

Penegasan Mujono bahwa warga Tengger disuruh sabar dan rukun yang menjadi semacam sabda—di tengah-tengah ketidakmampuan menjawab kegundahan warga—tidaklah datang tiba-tiba. Ia mendapatkan petunjuk tersebut setelah melakukan ritual untuk berkomunikasi dengan arwah leluhur di Bromo. Di ruang tamunya yang cukup luas dengan kursi sofa dan meja kaca ala kota, ia melanjutkan tuturannya: 

Waktu pertengahan letusan Bromo saya melakukan ritual di ruang tamu dengan sesajen lengkap. Lampu saya matikan biar lebih hening. Saya juga berpakaian adat lengkap. Saya juga mandi besar terlebih dahulu. Saya baca mantra untuk mengundang arwah para leluhur di kawasan Bromo. Menurut ajaran sesepuh dulu, kalau mantra itu sudah dibaca maka utusan dari kawasan Bromo akan datang dan saya, selaku dhukun pandita, bisa ngomong untuk menanyakan penyebab dan ritual yang harus saya lakukan bersama masyarakat Tengger. 

Ternyata dalam keadaan sadar setelah membaca mantra utusan itu tidak datang. Baru, ketika saya setengah tidur setengah sadar, ada seorang tua berpakaian hitam-hitam mengenakan udeng, memegang kepala saya dan menyentuh dada saya. Beliau bilang: sing sabar lan sing rukun, yang sabar dan yang rukun. Saya segera sadar.

Karena masih banyak warga yang menyalahkan dhukun pandita dan kepala desa, saya berusaha mengumpulkan warga untuk meyakinkan mereka bahwa tidak ada yang salah dengan ritual, mantra, maupun hitungan Kasada. Saya katakan kepada mereka bahwa ini memang sudah kehendak Dewata dan para leluhur, kita sebagai wong Tengger disuruh sabar dan rukun dengan sesama, jangan saling menyalahkan.

Sebagai  Koordinator Dhukun Pandita yang dipilih oleh musyawarah seluruh dhukun Tengger pada tahun 2003 selepas kematian Suja’i, Koordinator sebelumnya, Mujono memang menanggung beban cukup berat ketika Bromo meletus. Secara logika, letusan Bromo memang sudah menjadi ketentuan alam yang harus dihadapi. Persoalan lama atau tidak, hal itu tergantung kepada proses vulkanik di dalam kawah. 

Bahkan kehadiran Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, di kawasan Bromo untuk memantau langsung letusan Bromo sebenarnya sudah menjadi penanda bahwa letusan gunung suci ini memang akan lama. Namun, Mujono sangat menyadari bahwa keyakinan tradisional masyarakat Tengger terhadap kekuatan Bromo membutuhkan penjelasan kultural yang bisa diterima oleh nalar kolektif.

Masyarakat Tengger memang sudah mendapat penjelasan dari Surono tentang letusan Bromo, tetapi beban kerugian material membutuhkan penjelasan secara tradisional. 

Hal itulah yang mendorong Mujono melakukan ritual untuk berkomunikasi dengan arwah leluhur. Sabda dari “utusan Bromo yang mengenakan pakaian hitam dan udeng” yang mengatakan “sing sabar lan rukun”, yang sabar dan rukun, merupakan jawaban kultural-normatif yang secara psikis diharapkan bisa meredam amarah warga. 

Sabda utusan tersebut sebenarnya belum bisa memberikan jawaban tradisional, semisal tentang penyebab lamanya durasi erupsi Bromo atau bagaimana cara mengatasinya, kalau harus dengan ritual, ritual seperti apa yang harus dilaksanakan oleh dhukun pandita dan masyarakat. “Yang sabar dan rukun”, pada dasarnya, merupakan ungkapan yang paling masuk akal, meskipun untuk mendapatkannya tanpa harus melalui ritual tertentu seperti dilakukan Mujono. 

Kenapa paling masuk akal? Karena dalam kondisi berhadapan dengan kehendak alam, apa yang bisa dilakukan manusia memang hanya bersabar tanpa harus saling menyalahkan satu sama lain. Dengan ungkapan “yang sabar dan rukun”, Mujono dan dhukun pandita serta kepala desa se-kawasan Tengger, paling tidak, bisa terbebas dari ‘gugatan’ warga terhadap otoritas kepemimpinan mereka yang tidak bisa memberikan jawaban atas kerugian material yang dialami warga. 

Artinya, amarah masyarakat akibat nalar ekonomi modern kembali dikendalikan dengan nalar tradisional. Apalagi, secara kultural, masyarakat memang sudah terbiasa dengan wacana kerukunan antarwarga karena mereka masih merasa satu keluarga besar, keturunan Rara Anteng dan Jaka Seger.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun