Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ruang Lokal sebagai Sumber Kreatif Sastrawi

6 November 2021   07:42 Diperbarui: 6 November 2021   08:16 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hutan Gumitir. Dokumen pribadi

Rezim negara Orde Baru, misalnya, menghadirkan proyek-proyek modernitas dengan logika misi yang memeradabkan ke dalam kehidupan warga negara, dari metropolitan hingga dusun. Pemerintah menyiapkan paket Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) sebagai panduan untuk melaksanakan bermacam program pembangunan nasional berorientasi modernitas. Program pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi mangadopsi kurikulum Barat demi mencetak manusia-manusia berpikiran maju. Revolusi Hijau dengan mekanisasi dan kimiawisasi pertanian yang, di satu sisi, mempercepat proses agraris dan, di sisi lain, mulai memisahkan masyarakat dari tradisi agraris mereka. Proyek pertambangan nasional dan transnasional mengubah lanskap geografis dan demografis sebuah wilayah. 

Pembangunan fasilitas peradaban modern seperti mall dan plaza serta penumbuhan pesat industri budaya pop menjadikan nilai-nilai kebebasan berkembang di masyarakat. Untuk mencegah berkembang-pesatnya ideologi liberalisme, rezim membuat proyek seperti Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan budaya nasional yang merupakan puncak-puncak dari budaya daerah. Masing-masing daerah diminta memunculkan identitas kultural khasnya. Mulailah setiap daerah menginvetarisir kekayaan dan keunikan kultural masing-masing agar dapat menemukan identitas khas yang bisa diunggulkan dalam event-event regional, nasional, dan internasional. 

Tak ayal lagi, masyarakat lokal mengalami keberantaraan kultural di mana di satu sisi mereka masih ingin menjalani budaya leluhur, tetapi di sisi lain, mereka juga ingin menikmati budaya modern. Mengikuti perpsektif hibriditas (Bhabha, 1994, Clothier, 2006; Pieterse, 2001; Huddart, 2007), kondisi keberantaraan kultural di masa Orde Baru sebenarnya bisa menjadi kekuatan kreatif untuk terus menegosiasikan eksistensi dan keberdayaan budaya lokal masyarakat dengan membawanya masuk ke dalam pola dan struktur modern. 

Ruang lokal akan menjadi situs dinamis yang bisa mengundang dan memasukkan modernitas ke dalam ritme kehidupan masyarakat, tetapi warisan-warisan leluhur tidak sepenuhnya ditenggelamkan. Sayangnya, dalam banyak kasus idealisasi tersebut dilanggar oleh rezim sendiri dengan membuka kran selebar-lebarnya bagi massifikasi dan pemasaran budaya pop-industrial, sehingga keberantaraan kultural tersebut lebih mengarah ke hegemoni budaya modern.  

Pasca Reformasi 1998, eksistensi ruang lokal juga bergerak mengikuti ritme neoliberalisme yang diadopsi negara, meskipun selalu saja tidak diakui. Neoliberalisme, menurut Turner (2008: 4-5), merupakan sistem ekonomi-politik berdasarkan: (a) kemutlakan aturan pasar bebas yang menjamin efisiensi dan efektifitas sumber ekonomi serta menjamin kebebasan individual; (b) berkomitmen kepada penguatan Rechtsstaat yang menekankan aturan negara hukum sebagai instrumen regulasi yang mengatur relasi-relasi konfliktual di antara individu-individu otonom dalam masyarakat pasar di mana fungsi negara hanylah mengamankan kohesi dan stabilitas sosial melalui pelestarian kemerdekaan individual; (c) minimalisasi peran dan regulasi negara; dan, (d) kepemilikan pribadi yang memberi penghormatan mutlak terhadap hak intelektual ataupun kekayaan individual yang tidak bisa digunakan secara semena-mena untuk kepentingan kolektif. 

Sistem ini diyakini oleh para pemujanya akan mampu membawa kesejahteraan bagi semua umat manusia, karena mereka akan mendapatkan kesempatan yang sama melalui kompetisi yang sehat. Meskipun demikian, sistem ini tetap menguntungkan kelas pemodal dan rezim negara yang mengadopsinya. 

Implikasi-implikasi kultural dari neoliberalisasi itu antara lain: (1) menguatnya tradisi pasar-transaksional yang fondasi-fondasinya sudah disiapkan sejak Orde Baru; (2) semakin menguatnya konsep otonomi dan keunggulan diri dan masyarakat yang menuntut kemampuan dan kreativitas sebagai modal bersaing karena minimnya subsidi negara; (3) kelenturan dalam memahami kekayaan kultural, dari yang bersifat mistis, magis, agamis, eksotis, primitif hingga irasional, tidak seperti liberalisme yang menolak itu semua; (4) lenturnya inkorporasi dan komodifikasi kekayaan kultural lokal dalam industri pariwisata dan budaya; (5) menguatnya politik identitas berbasis etnis idealnya bisa memperkuat nilai tawar komunitas, tetapi dalam banyak kasus malah dibajak oleh elit-elit politik atau pemodal; dan, (6) menguatnya hasrat metropolitanisme di ruang-ruang lokal.

Dalam kondisi-kondisi itulah ruang lokal mengada di mana lanskapnya berupa 'tumpukan-tumpukan' nilai, praktik, keinginan dan harapan yang saling berbenturan secara genealogis, tetapi bisa saling bertemu saling melintasi dan saling mempengaruhi membentuk konfigurasi warna kultural baru yang berjalin-kelindan dengan ritme pasar neoliberal. Kompleksitas itu semakin bertambah manakala kita telisik persoalan-persoalan politisasi identitas etnis untuk kepentingan elit-elit tertentu, menguatnya gairah religiusitas yang diakui atau tidak diakui ikut mempengaruhi hilangnya pesona sebagian besar budaya lokal, kehidupan para pelaku kesenian rakyat yang semakin  sempit ruang gerak pertunjukannya, eksploitasi sumber daya alam yang menganggu lanskap geografis, ekologis, dan sosiologis, penguasaan ruang-ruang eksotis untuk resort, dan masih banyak yang lain. 

Artinya, kompleksitas ruang lokal ini bukan semata-mata terkait permasalahan sosio-kultural berlapis, tetapi juga kepentingan politik dan lalu-lintas modal nasional/transnasional yang selalu mengintip dan menginkorporasi komunalisme dan solidaritas etnis untuk menyukseskan hasrat-hasrat kapital.

Kompleksitas ruang lokal tentu dengan mudah kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Di Banyuwangi, misalnya, para petani masih melakukan ritual-ritual terkait pertanian yang banyak diwarnai oleh keyakinan dan praktik "yang sangat tidak masuk akal" dalam pandangan modern. Sementara, sebagian besar warganya sudah mengenyam pendidikan modern, menikmati narasi-narasi metropolitan melalui televisi, menikmati benda-benda pabrikan, dan lain-lain. Namun, sebagian elit dari subjek lokal juga sangat sadar bahwa keunikan-keunikan kultural di ruang lokal bisa dimaksimalkan untuk mendapatkan keuntungan secara finansial dari industri pariwisata bebarengan dengan gerakan pelestarian. 

Mobilisasi identitas dan komunalisme menjadi strategi dominan untuk menggerakkan warga agar mau terus berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas ritual yang di-pariwisata-kan. Pertemuan antara keyakinan akan sang adikodrati dengan kepentingan profan-duniawi seperti menggaet wisatawan menjadi "kontradiksi yang laris-manis". Di sisi lain, sebagian masyarakat lokal juga tidak bisa atau tidak kuasa menolak kehadiran rezim negara dan pemodal yang menginkorporasi dan mengkomodifikasi keunikan eksotis dan etnis di Banyuwangi dalam beragam atraksi festival dan karnaval (Setiawan, 2016). Ironisya, komodifikasi entnisitas seringkali meminggirkan para pelaku yang tidak memiliki akses kepada kekuatan birokrasi dan perlahan-lahan meniadakan kekayaan filosofis dan makna praksis budaya lokal bagi kehidupan masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun