Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Percumbuan Budaya di Balik Kabut Bromo

30 Oktober 2021   21:39 Diperbarui: 1 November 2021   07:17 1635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum memasuki era pertanian komersial, masyarakat Tengger mengenal beberapa pola tenaga kerja seperti kroyokan (pola tenaga kerja dari kerabat dekat), gentenan (pola tenaga kerja berkelompok yang menuntut balasan setimpal dari kerja yang sudah dilakukan), dan rewang (pola tenaga kerja yang melibatkan kerabat jauh dari generasi yang sama dan tanpa menuntut balasan). 

Ketika pertanian modern berkembang, tenaga kerja upahan (kuli bulanan dan kuli tetap) menjadi pilihan untuk lebih mengefektifkan kerja dibandingkan dengan hitungan pada pola tradisional.

Berubahnya pola tenaga kerja tersebut tidak serta-merta mengarah pada tradisi patron-klien, tetapi tetap mengedepankan semangat persamaan sesama wong Tengger yang tidak patut diperbincangkan berdasarkan kaya dan miskin.

Kedua, berkembangnya masyarakat konsumsi. Konsumsi dalam masyarakat Tengger lebih terkait dengan mobilisasi dan penggunaan kebutuhan rumah tangga dan benda-benda modern (dari pakaian, kendaraan, alat elektronik, dan lain-lain). 

Sebagai akibat komersialisasi pertanian, kemajuan ekonomi memang berakibat pada pembelian benda-benda yang menunjukkan kemodernan sebagaimana terlihat pada kehidupan masyarakat dataran rendah. 

Wong Tengger, jelas, tidak bisa menolak keberadaan benda-benda tersebut dalam kehidupan mereka, apalagi dengan semakin baiknya jalan dan alat transportasi yang memungkinkan mereka untuk berbelanja ke pasar di wilayah yang lebih bawah ataupun kota. 


Hal ini berbeda jauh dengan keyakinan mereka sebelumnya untuk menolak benda atau budaya yang berasal dari wilayah ngare (bawah) yang dianggap bisa merusak ketentraman dan keharmonisan sosio-kultural. Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari keluarga yang lebih kaya tetap tidak ingin menunjukkan kemewahan konsumsi yang dijalani, karena hal itu dianggap tabu oleh tradisi Tengger.

Wong Tengger, sebagaimana masyarakat Jawa lainnya, memang mengalami perubahan signifikan dalam hal ekonomi, konsumsi, dan gaya hidup sebagai akibat komersialisasi pertanian dan persinggungan dengan budaya di luar Tengger. Namun, perubahan tersebut tidak serta-merta melepaskan 'baju tradisi' yang sudah diyakini selama ini sehingga akan lebih tepat kalau masyarakat Tengger saat ini disebut sebagai "masyarakat yang sedang bertransformasi". 

Dalam konteks transformasi akan bisa dilihat bagaimana masyarakat Tengger memaknai dan merekonstruksi kedirian dan tradisi mereka di dalam ruang ketiga (third space) yang mempertemukan aspek kerja pertanian komersil dan aspek ketradisian. 

Tulisan ini merupakan analisis deskriptif-interpretatif terhadap pertemuan keyakinan tradisi sebagai ideologi kultural dan praktik kerja pertanian komersil dalam konteks masyarakat Tengger poskolonial yang mewarisi nilai dan praktik tradisi sekaligus mengambil nilai dan praktik modern yang ditawarkan oleh kolonial dan berlanjut hingga saat ini dalam desain pembangunan nasional.

Wong Tengger di Ruang Antara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun