Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Percumbuan Budaya di Balik Kabut Bromo

30 Oktober 2021   21:39 Diperbarui: 1 November 2021   07:17 1635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenyataannya, tidak tampak kesan tersebut ketika mereka bekerja giat di ladang, karena itu semua merupakan laku kehidupan yang harus dijalani apabila mereka ingin memperoleh kebahagiaan; kebahagiaan yang berbasis pada keyakinan  kultural.

Kesan munculnya "gengsi sosial" dalam masyarakat Tengger memang tidak bisa dihindari. Keluarga-keluarga kaya seolah ingin menunjukkan kemeriahaan slametan sebagai penegas status sosial yang membedakan mereka dengan warga lainnya. Apakah benar kemewahan perayaan terkait erat dengan gengsi sosial? Mengikuti pemikiran Bordieu (1994), kemewahan dalam Entas-entas memang bisa memunculkan habitus, struktur kebiasaan yang terstrukturkan dalam praktik sehari-hari, yang ditopang oleh kekuatan modal ekonomi sehingga bisa menjadi modal kultural yang mampu mewujud sebagai moda untuk menegaskan status sosial keluarga tertentu. 

Memang kesan tersebut muncul. Bagaimanapun juga, kemajuan ekonomi telah melahirkan pemaknaan baru terhadap sebuah perayaan. Wong Tengger Wonokerso juga tidak bisa menghindarkan diri dari usaha untuk menunjukkan kemajuan tersebut, sebagaimana banyak dijumpai di wilayah-wilayah pedesaan Tengger dan Jawa lainnya. Namun, apa yang harus dicatat adalah bahwa kehadiran kemewahan tersebut tetap dibingkai dalam kerangka ideologis kultural yang hidup dan berkembang dalam konteks zaman yang sedang 'bergerak'. 

Artinya, transformasi kultural yang terjadi hanya berlangsung pada "level performa", sedangkan pada "level dalam", wong Tengger tetap memaknainya sebagai sebuah kewajiban tradisi. 

Dalam level performa, mereka bisa berpesta menikmati suguhan makanan dan minuman, sembari menari atau menikmati pertunjukan tayub, namun dalam hati mereka, ada kepuasan ketika mereka bisa memenuhi panggilan tradisi serta bisa menghindari hadirnya walat (hukuman Dewata) ketika mereka tidak menjalankan ritual tersebut.

Pesona-pesona Modernitas (yang Kontesktual)


Di samping slametan dan setya laksana, masuknya wong Tengger Wonokerso ke dalam wacana dan praktik modernitas juga bisa dilihat dalam praktik hidup keseharian. Benda-benda yang menandakan hadirnya modernitas begitu melimpah dalam kehidupan wong Tengger. Televisi, mobil, sepeda motor, pakaian-pakaian mode terbaru, kulkas, telepon seluler/HP, maupun makanan-makanan instan dengan mudah dijumpai dan sudah seperti menjadi bagian sah dari kultur wong Tengger itu sendiri. 

Paling tidak, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kehadiran benda-benda industri budaya dalam kehidupan wong Tengger Wonokerso. Pertama, gencarnya iklan di televisi yang mereka tonton semakin mempersering "kontaks imajinatif" mereka dengan produk-produk modernitas yang selalu menawarkan kemudahan. 

Kedua, semakin seringnya mereka pergi ke wilayah bawah maupun kota, baik untuk kepentingan bejalar, belanja, maupun pemerintahan, sehingga wong Tengger semakin biasa dengan kehidupan bergaya modern yang banyak ditandai oleh kehadiran produk-produk tersebut. Ketiga, perkembangan ekonomi pertanian yang menyediakan kekuatan finansial untuk menghadirkan produk-produk tersebut.

Ketika berada di rumah salah satu kerabat Pak Soponyono (Sekretaris Desa Wonokerso) untuk kepentingan observasi persiapan tahlilan (kerabat tersebut beragama Islam), saya melihat beberapa orang laki-laki menonton televisi sambil mempersiapkan kebutuhan tahlilan di ruang tamu. Sementara ibu-ibu memasak makanan di dapur. 

Beberapa kali Pak Soponyono menerima telepon dari warganya yang hendak mengurus KTP di kantor desa besok pagi. Menurut keterangan Pak Soponyono, penggunaan HP sudah sangat biasa bagi wong Tengger dan dalam beberapa hal sangat membantu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun