Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Percumbuan Budaya di Balik Kabut Bromo

30 Oktober 2021   21:39 Diperbarui: 1 November 2021   07:17 1635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan modern memang telah menjadi wacana ideologis dominan bagi masyarakat Tengger Wonokerso dan juga masyarakat Tengger di wilayah lain, namun mereka tetap tidak melupakan pendidikan tradisi yang bisa diperoleh anak-anaknya dengan terlibat dalam ritual maupun wejangan-wejangan orang tua, terutama ibu.

Panen Melimpah, Slametan Meriah

Slametan dalam tradisi masyarakat Tengger sudah menjadi kewajiban yang harus dijalankan berdasarkan siklus kehidupan manusia; dari lahir hingga mati. Meskipun demikian, terdapat beberapa slametan yang bersifat besar dalam kategori pelaksanaannya, yakni Kasada, Entas-entas, Unan-unan, dan Karo. 

Di antara slametan tersebut, Entas-entas merupakan ritual yang membutuhkan paling banyak. Entas-entas merupakan upacara terakhir kematian bagi wong Tengger. Tidak seperti pemeluk Hindu di Bali yang melaksanakan ngaben, wong Tengger melakukan ritual yang berbeda, meskipun maksudnya sama. 

Jasad wong Tengger yang meninggal tetap dikubur dengan kepala menghadap ke arah Gunung Bromo. Adapun yang dibakar adalah boneka yang terbuat dari tumbuhan semak dan batang pepohonan. Boneka ini mewakili jasad orang yang sudah meninggal. 

Pelaksanaan ritual ini biasanya dilaksanakan beberapa tahun setelah jasad dikubur. Alasan utamanya jelas faktor ekonomi karena ritual ini membutuhkan biaya yang lumayan banyak sehingga pihak keluarga membutuhkan waktu untuk menabung terlebih dahulu mengingat harga barang-barang yang harus dipersiapkan untuk pelaksanaan ritual. 


Banyaknya biaya yang dibutuhkan biasanya disiasati dengan pelaksanaan Entas-entas secara bersamaan oleh beberapa keluarga yang masih mempunyai hubungan kerabat sehingga ada beberapa arwah yang dientas dalam satu kali ritual.

Sewaktu mengikuti ritual Entas-entas pada bulan Juli 2006 yang diselenggarakan oleh Pak Kades dan beberapa kerabatnya, saya tidak bisa memperoleh data pasti berapa anggaran yang diperlukan karena bagi wong Tengger mengungkapkan besarnya biaya bisa masuk kategori kurang sopan.

Namun dari persiapan hingga pelaksanaan ritual, bisa diketahui bahwa biaya yang dibutuhkan cukup banyak, baik yang digunakan untuk keperluan hidangan/makanan maupun pertunjukan. Pak Kades dan kerabatnya menyembelih 5 ekor sapi, 2 ekor kambing, dan 10 ekor ayam. 

Menu masakan yang terbuat dari daging sudah menjadi kewajaran bagi ritual entas-entas, baik yang dimasak rawon, gule, sate, hingga ayam bakar. Sementara untuk mendatangkan tayub dari Malang sebagai hiburan pada malam hari dibutuhkan biaya Rp. 5.000.000,00. 

Untuk melengkapi hiburan tayub, bagi para lelaki yang menari juga disediakan bir beberapa krat yang diberikan secara cuma-cuma, tidak seperti di daerah Lamongan, Tuban, Bojonegoro, dan Nganjuk, di mana tamu yang menari harus membayar untuk tiap botol yang diminum. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun