Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Percumbuan Budaya di Balik Kabut Bromo

30 Oktober 2021   21:39 Diperbarui: 1 November 2021   07:17 1635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang harus dicatat adalah bahwa proses mimikri yang menghasilkan hibridasi kultural ini memiliki fungsi politis bagi pihak penjajah dan terjajah. Bagi pihak penjajah kesediaan pihak terjajah untuk meniru budaya mereka dianggap sebagai keberhasilan untuk melakukan penaklukan secara kultural sehingga penaklukan lain yang lebih berwarna ekonomi-politik bisa dengan mudah dicapai. 

Alih-alih menaklukkan, mimikri sebenarnya menjadi arena bagi pihak terjajah untuk menjalankan "strategi bunglon" karena pihak terjajah tidak sepenuhnya meniru tetapi sekaligus mengejek (mockery) dengan kesadaran yang tetap berbasis tradisi lokal sehingga mereka tidak bisa dikuasai sepenuhnya oleh penjajah. 

Artinya, mereka memang meniru, tetapi peniruan tersebut sekaligus menjadi perlawanan terhadap kesempurnaan kuasa wacana dan praktik kolonial karena apa-apa yang mereka miliki, yang pada kenyataannya berbeda dengan yang ada di masyarakat setempat, mampu diadopsi demi kepentingan pihak terjajah itu sendiri. 

Fungsi pengawasan yang diharapkan berhasil oleh kolonial, ternyata bisa diganggu dengan peniruan yang hampir sama tetapi tidak sepenuhnya sama yang dirayakan oleh pihak terjajah secara kreatif. Seperti diungkapkan Foucault (1988: 95-96), bahwa akan selalu muncul resistensi di tengah-tengah kuasa yang dibangun secara diskursif. Hal itu bisa terjadi ketika subjek-subjek yang dikuasai secara diskursif mampu membangun strategi dan kreativitas yang bisa mendefinisikan dan mendekonstruksi kembali kuasa tersebut secara simultan dan mobile.

Dari proses inilah identitas dan budaya lokal yang masih dijalani masyarakat partikular hingga saat ini terbentuk; sebuah persilangan terus-menerus bernuansa negosiasi, rekonstruksi, dan resistensi yang ajeg dan transformatif dari masa kolonial hingga poskolonial (Ashcroft, Griffiths, Tiffin, 1995: 2). 

Dengan demikian, membicarakan identitas kultural tentu tidak bisa hanya berpijak pada kekakuan stereotipisasi karena semua itu merupakan "proses yang terus menjadi" (process of being) yang ditandai dengan fragmentasi kode-kode, pluralisasi, dan persilangan wacana dan praktik kultural (Hall, 1992). 


Lebih-lebih pada era globalisasi saat ini di mana segala yang berbau asing seakan sudah menjadi 'anggota keluarga sendiri' pada sebuah masyarakat lokal (Steger, 2006), tradisi bukan lagi menjadi praktik dan wacana yang selamanya diposisikan secara stereotip karena ragam kultural tentu akan semakin banyak mengisi imajinasi dan realitas sehingga sangat mungkin akan muncul pluralisasi kultural yang diwarnai kontestasi produk "budaya glokal" (hibridari budaya global dan lokal) terhadap budaya global mainstream (Robertson, 1995).

Penjelasan di atas tidak untuk menunjukkan bahwa masyarakat lokal telah kehilangan sepenuhnya identitas dan orientasi kultural yang diyakini selama ini. 

Permasalahannya adalah sejauh mana masyarakat lokal mampu mengendalikan permainan diskursif dalam peniruan dan hibridasi dengan budaya asing, baik yang berasal dari era kolonial maupun poskolonial atau global saat ini. Ketika mereka secara kreatif menyadari proses tersebut, maka masyarakat lokal tentu akan mampu mempertahankan pola dan bentuk kultural lokalnya sesuai dengan perkembangan jaman tanpa harus menolak kehadiran "sesuatu yang baru", seperti yang terlihat dalam kasus kesenian populer Using, Banyuwangi (Setiawan, 2007). 

Sebaliknya, ketika mereka hanya larut dalam nyanyian budaya asing, maka masyarakat tentu hanya memiliki budaya lokal secara simbolis tanpa bisa mengembangkannya dan masuk tanpa bisa merasakan ke dalam kuasa hegemoni kekuatan-kekuatan asing yang terus bertransformasi dalam produk-produk budaya (pos) modern.

Kekuatan tradisi lokal, meskipun sudah bertransformasi dalam ruang ketiga pascakolonial, akan tetap dijalani dalam praktik hidup sehari-hari ketika sudah menjadi ideologi dan diyakini oleh masyarakat pelakunya. Ideologi dalam konteks kuasa memang cenderung melayani kepentingan hegemonik kelas pengarah (the leading class) dengan politik representasi yang terus menyebar sehingga menjadi kesadaran dan praktik konsensual bagi kelas-kelas lain dalam masyarakat (Boggs, 1984; Gramsci, 1981; Laclau & Mouffe, 1981; Thompson, 1984). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun