Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sebuah Panggilan dari Hutan Larangan (2)

19 Juni 2020   07:19 Diperbarui: 19 Juni 2020   07:39 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Begitu pertunjukan teater berjudul Sebuah Sujud Selepas Subuh selesai, semua penonton bertepuk tangan. Naskah pertunjukan itu ditulis berdasarkan tulisan Nandi. Perempuan itu tak kuasa menangis ketika semua pemain yang memerankan Pak Tarji, Bu Marni, dan tokoh-tokoh lainnya memberi salam kepada penonton di Aula Fakultas Sastra. Ia tidak pernah menyangka bahwa pertunjukan teater dengan konsep campuran “monolog, dialog, dan tuturan narator” itu bisa membuat banyak penonton terharu, bahkan banyak yang meneteskan air mata.

Awalnya, ia meminta Ivan untuk membaca tulisannya ketika dua bulan lalu mereka berjumpa di kantin kampus. Menurutnya, ceritanya bagus dan ia meminta izin untuk mendiskusikannya dengan para pegiat teater di Dewan Kesenian Kampus [DKK], organisasi  kesenian mahasiswa di Fakultas Sastra, untuk dipentaskan. Setelah melalui beberapa diskusi, mereka memutuskan untuk mementaskan naskah dengan judul yang sama. Rendra—pentholan teater dan kawan sekelas Ivan—menulis naskahnya dan ia pula yang menyutradarai pementasan itu.

Malam ini mereka benar-benar menghidupkan kembali kehidupan Pak Tarji dan Bu Marni yang harus berpisah karena peristwa 65; peristiwa yang tidak pernah mereka pahami mengapa harus terjadi dan harus memisahkan cinta antarmanusia sekian lamanya, sampai saat ini. Konflik politik yang berlangsung di Jakarta ternyata harus mereka tanggung dengan sebuah tragedi perpisahan raga dan batin, perpisahan suami dengan istri dan anak-anaknya. 

Inilah tragedi kemanusiaan yang sebenarnya. Orang yang ia dan banyak aktivis mahasiswa yakini sebagai dalang utama tragedi kemanusiaan di negeri ini, Soeharto, harus menanggung karma, dilengserkan oleh gerakan mahasiswa 1998, setelah 32 tahun membius bangsa ini dengan senyuman dan rayuan pembangunan yang ditopang hutang luar negeri. 

Meskipun demikian, warisan sejarah dari tragedi itu masih saja belum bisa diselesaikan, bahkan ketika bangsa ini sudah menikmati masa-masa Reformasi. Banyak mahasiswa sebagai kaum intelektual yang mestinya berpikir kritis terhadap tragedi 65 masih meyakini PKI sebagai biang dari tragedi berdarah itu. Hal itu terbukti ketika acara diskusi selepas pertunjukan berlangsung.

“Dengan mementaskan lakon tadi, aku melihat ada keinginan dari penulis naskah dan sutradara pertunjukan ini untuk melakukan sebuah pembelaan terhadap PKI. Padahal kita tahu, PKI-lah yang hendak mengganti ideologi negara dengan komunisme. PKI-lah yang berusaha menciptakan kondisi chaos di Republik ini”. Begitulah kritik tajam dari Robby, seorang penonton yang berasal dari sebuah organisasi ekstra berbasis ideologi Ikhwanul Muslimin yang mulai berkembang di kampus selepas gerakan Reformasi.

“Terus terang naskah ini bukan berasal dari karyaku sendiri. Nandi, sahabatku yang sedang menulis kisah hidup para anggota PKI pasca 1965 memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap naskah dan pementasan ini. Semangatnya, aku pikir, bukan lagi kepada memberikan pembelaan terhadap PKI sebagai pihak yang tidak salah dalam tragedi berdarah itu. 

Semangat yang kami usung adalah bahwa dalam setiap tragedi kemanusiaan yang terjadi karena rekayasa dan kepentingan politik elit, selalu saja menyisakan kisah-kisah perpisahan antarmanusia yang semestinya bersatu. Istilah Islam-nya, hablum minanas”, tutur Rendra menanggapi kritik tersebut. Ivan sebagai moderator mengembalikan kepada Robby yang segera membantahnya kembali.

“Tetapi, menampilkan kisah mereka dengan penuh simpatik, itu sama saja dengan memberikan kesan pembelaan,” tukas Robby dengan muka merah. Nandi yang semula diam menikmati perdebatan itu, tidak tahan untuk tidak ikut berkomentar. Setelah meminta izin kepada Ivan, ia mulai angkat bicara. Gaya aktivis masih melekat dalam tuturannya, meskipun ia sudah tidak lagi duduk di Senat mahasiswa.

“Robby, aku pikir kamu harus sedikit mendinginkan kepala. Pola pikirmu jangan selalu hitam-putih. Sampai sekarang, belum ada fakta historis yang menyatakan PKI sebagai pihak yang bersalah. Coba kamu baca lagi buku-buku terakhir tentang tragedi 65. Terlepas dari PKI itu salah atau tidak, faktanya, mereka memang dikorbankan, dibunuh, dipenjara, dan diasingkan, berpisah dari indahnya sebuah hubungan antarmanusia. Soeharto dan antek-anteknya membutuhkan dukungan politik. 

Jadinya, ia memainkan isu pertentangan komunis-agama untuk melegalisasi dalih genosida bagi para anggota PKI. Itu faktanya. Apa kami salah kalau berimpati kepada kehidupan mereka? Itu tidak sama dengan bersimpati kepada ideologi komunis.” Mendengar argumen itu, Robby hanya bisa diam, mendongkol.

Pukul 22.00, apresiasi selesai. Rendra, Ivan, dan Nandi memberi selamat kepada para pemain. Begitu juga beberapa pegiat teater dari kampus lain. Ketika memberi ucapan selamat kepada semua kru, Nandi memeluk mereka satu per satu. Ia tak mempedulikan lagi Rudy, pacarnya, yang berdiri mematung di pintu aula melihat tingkahnya.

“Terima kasih, kamu dan kawan-kawan telah mengantarkan sebuah dunia Pak Tarji yang tampak begitu nyata, Van. Sekali lagi terima kasih,” bisiknya di telinga Van ketika memeluknya. “Kamu pantas mendapatkan dunia itu, Dee,” balasnya.

Mereka baru saling melepaskan pelukan, ketika para pemain dan tim produksi menyiram dengan air dari kamar mandi di sebelah aula. Mereka berdua menjerit tak berdaya dengan tubuh basah. Kebahagiaan dan keharuan seperti memenuhi ruang aula karena sebuah kisah orang-orang yang disenyapkan bisa disuguhkan kepada penonton yang sebagian besar mahasiswa.

Sepulang dari pertunjukan, Rudy marah besar. Dia mengatainya sebagai perempuan tak tahu malu, rendahan, tak bermoral, tak tahu adat, tak berperikemanusiaan, karena memeluk lelaki lain di depan matanya. Nandi berusaha membela diri, tetapi sia-sia, dia tetap marah. Bahkan ketika hendak pulang, dia tidak mengecup kening ataupun mengucap salam, seperti yang biasa ia lakukan. Sebelum ia melangkahkan kaki, melewati pintu pagar kos, setengah berlari Nandi menarik tangan kanannyal.

“Tolong mulai saat ini, jangan lagi kita bicara cinta. Aku sudah jenuh. Malam ini juga kita putus, Rud,” ucapnya tegas. “Apa aku berbuat salah, Nan? Kenapa kamu minta kita putus? Apa gara-gara kemarahanku tadi? Apa aku tidak boleh marah melihat kekasihku memeluk lelaki lain di depan mataku?” tanya Rudy dengan wajah tegang. Mungkin dia merasa semua perjuangannya untuk mendapatkan cinta perempuan yang banyak digandrungi para aktivis itu hancur.

Nandi masih ingat bagaimana Rudy berusaha meyakinkannya agar mau menerima cintanya. Berulang kali perempuan berparas ayu dengan rambut bergelombang yang panjangnya mendekati pinggang itu mengatakan tidak mau karena ingin berkonsentrasi kuliah dan berkegiatan di senat mahasiswa. Rudy tidak pernah mau menyerah. Setiap ada kesempatan, ia selalu datang ke tempat kosnya. Bahkan, entah sudah berapa kali ia mengantar dan menjemputnya untuk kuliah maupun berkegiatan. 

Semua perjuangan dan kesabarann itulah yang membuat Nandi menerima cintanya pada tahun ketiga kuliah. Tetapi, ia memberi catatan kepadanya agar tak mengatur dan membatasi semua kegiataannya di kampus. Meskipun, Nandi keras dalam hal itu, untuk urusan yang berbau percumbuan, ia juga tidak mau munafik. 

Entah sudah berapa kali ia menikmati percumbuan dengannya, terutama di kamar kosnya dan di beberapa tempat wisata di Jember yang mereka kunjungi. Kini setelah hampir satu tahun bersama dalam hubungan yang indah, Nandi harus membuat keputusan, memutuskan cintanya, setelah hampir 2 bulan lebih memikirkannya dan mendapat momentum dengan kemarahannya selepas pementasan itu.

“Oke, kamu punya hak untuk marah. Tapi, mestinya kamu sadar, aku melakukannya sebagai ungkapan terima kasih kepada mereka. Lagi pula, aku sudah bosan dengan segala macam rutinitas yang terjadi di antara kita. Di tambah lagi, pikiranku tidak bisa lagi memikirkan segala tetek-bengek tentang cinta. Banyak hal dalam skripsiku yang membutuhkan bukan sekedar data dan rasionalisasi, tetapi juga ketenangan batin. Untuk saat ini, batinku tidak bisa berbagi dengan batinmu, Rud.”

Rudy berdiri, sebentar menatapnya yang menatap lurus ke depan, ke arah jalan becek di depan kos.

“Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu, Nan. Alasanmu benar-benar tidak masuk akal. Mestinya, kamu bisa membagi waktu, antara aku dan skripsimu. Sudahlah, tidak ada gunanya ngomong sama kamu. Dasar perempuan aneh!!!” Ia segera pergi dengan motor bebeknya.

Sementara, Nandi hanya bisa diam. Ia tidak menangis, tidak pula tersenyum. Sepertinya, ia belum percaya kalau sudah berpisah dari Rudy, lelaki yang benar-benar sabar dalam menghadapi dan menemani segala idealismenya sebagai mahasiswa. Malam ini ia baru saja membuat keputusan yang benar-benar membuatnya kecewa sebagai lelaki. Dan, itu semua sudah diputuskan. Memang, raut mukanya menunjukkan sedikit kesedihan, tetapi tidak sampai membuatnya meneteskan air mata. Ia tidak mau cengeng. Esok embun akan kembali mencium debu, menebarkan pesona nan segar sang alam, memberikan sebuah semangat baru, sebuah langkah baru yang harus dilanjutkan.

Benar saja, putusnya hubungan Nandy dengan Rudy, ternyata menghadirkan hubungan yang semakin intens dengan Ivan, meskipun mereka tidak pacaran. Karena rasa senang melihat kesuksesan pentas teater tentang kehidupan Pak Tarji, Nandi semakin senang menonton pertunjukan teater di kampus. 

Ivan selalu mengajaknya, ketika tidak sedang mengerjakan skripsi; menonton pertunjukan teater dari komunitas fakultas-fakultas lain di Universitas Jember atau universitas-universitas lainnya di Jember. Selepas nonton, biasanya mereka berdua, bersama para pegiat teater DKK masih ngopi hingga larut malam. Untung saja Nandi memegang kunci pagar kos. Tidak jarang pula, Ivan menemaninya mengerjakan skripsi di rental komputer. Ia merasakan persahabatan yang mengalir, tanpa beban, menuju sebuah romansa yang terkadang membingungkan, antara cinta dan sahabat.

***

Banyuwangi selatan, Juli 2000. Nandi benar-benar menikmati indahnya berada di rumah, di sebuah desa, di sebelah selatan Banyuwangi. Ia lahir dan menghabiskan masa anak-anak serta remaja di desa ini bersama kedua orang tua dan dua adik lelakinya. Pak Kartodirjo, Bapaknya, seorang guru di salah satu SMA negeri di Banyuwangi kota dan kepala sekolah salah satu SMA swasta di kecamatan, selalu memintanya pulang setiap libur semester, karena rasa kangen yang selalu mendera setiap kali ia berada di Jember. Ibunya juga demikian. 

Setiap kali hendak tidur, perempuan setengah baya yang masih enerjik itu selalu menyempatkan ngobrol tentang banyak hal di kamar tidur Nandi, dari urusan dapur sampai urusan masa depannya. Adapun kedua adiknya selalu ingin bermanja, setiap kali ia di dekat mereka.

Desanya kini memang tidak seperti desa pada waktu ia masih kecil. Dulu rumah penduduk masih banyak terbuat dari kayu jati. Sekarang, sebagian besar sudah berganti rumah tembok. Banyak kaum muda di desa ini yang merantau ke Kalimantan, bahkan ke Singapura dan Taiwan. Setiap bulan mereka mengirim uang ke istri atau orang tua. Dari kiriman uang itulah, mereka membangun rumah tembok. Sebagian ada yang berhasil membeli sawah. 

Hasrat untuk menjadi kaya—memiliki sepeda motor, bisa membeli pakaian bagus, bisa membeli sawah, dan memiliki rumah tembok bergaya kota—memang tidak bisa dihalangi. Siapapun berhak untuk bisa menjadi kaya. Dulu, orang menjadi kaya karena orang tua mereka memang memiliki kekayaan melimpah secara turun-temurun. Tetapi, kalau mengikuti formula itu, pasti orang miskin tidak pernah merasakan menjadi kaya. Sementara, mereka sudah biasa melihat kemewahan kota dari tontonan televisi. Menjadi wajar, kalau banyak pemuda desa ini bermigrasi ke kota atau ke luar negeri.

Rumah keluarganya dulu juga terbuat dari kayu jati. Nandi sempat menikmati hidup di dalam rumah kayu ketika dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Menginjak kelas 1 SMP, orang tuanya memutuskan untuk membangun rumah tembok. Ketika diganti rumah tembok, rumah kayu digeser ke belakang, jadi dapur.  Awalnya Bapak mau menjualnya, tetapi Ibu menolak karena banyak kenangan di rumah kayu itu.

“Rumah berbahan kayu jati itu memang benda mati, tetapi rumah itu telah merekam semua perjuangan kita membesarkan anak-anak kita, Pak. Biarlah rumah itu menjadi pengingat bagi kita akan semua kebahagian kita di masa lampau. Lagi pula, dulu, sebelum anak-anak lahir, kita berjuang mengumpulkan sedikit demi sedikit untuk membangun rumah ini, eman kalau dijual, Pak,” begitulah alasan Ibu waktu itu. Akhirnya, Bapak luluh dan tidak jadi menjualnya.

Pagi ini setelah selesai sarapan, Nandi menemani Bapak, dengan mengayuh sepeda masing-masing, pergi ke sawah di sebelah selatan desa. Ketika melewati pematang sawah, beberapa petani menyapa mereka berdua. Sampai di sawah, mereka segera memeriksa beberapa pohon jeruk yang terserang jamur. Bapak mengajaknya menggosok pohon-pohon dengan kain yang sudah dipersiapkan dari rumah. Kalau dibiarkan, jamur itu bisa mengganggu batang pohon dan berimbas pada buruknya kualitas buah jeruk. Hampir satu jam bekerja, Bapak mengajaknya beristirahat di gubuk sambil menikmati air putih.

Nduk, November apa kamu sudah bisa wisuda?”

“Aku usahakan, Pak. Dosen pembimbingku menjanjikan September aku sudah bisa final check, terus ujian. Doanya, Pak.”

“Iya, Bapak dan Ibu selalu berdoa. Semakin cepat kamu lulus, Bapak dan Ibu akan semakin bangga. Adik-adikmu biar semangat juga untuk kuliah. Si Gandi, tahun depan depan sudah kelas 3 SMA, sementara Kresna mau kelas 3 SMP. Kamu harus bisa jadi panutan mereka berdua. Soal wawancaramu dengan anggota PKI itu apa sudah kelar?” tanya Bapak sambil mengipaskan caping ke tubuhnya.

“Sudah, Pak. Bahkan beberapa bulan yang lalu baru saja dijadikan pentas drama. Menarik banget, Pak.”

“Zaman memang sudah berubah. Dulu, waktu Bapak masih sekolah SD, PKI dikejar-kejar, dibunuh. Bapak sangat takut waktu itu. Kasihan mereka. Apalagi di desa ini dulu banyak PKI-nya. Banyak tetangga yang tidak kembali, entah dibunuh atau dibuang. Mbah Kakung-mu sempat menyembunyikan sekitar lima belas anggota PKI di lumbung. 

Makanya, sampai sekarang anak cucu mereka baik sama keluarga kita, Nduk. Waktu Bapak diangkat jadi guru, dalam setiap rapat selalu ditekankan pentingnya menjelaskan kepada murid bahwa PKI dan antek-anteknya itu bahaya laten. Tapi, Bapak tahu kalau yang membuat skenario itu Soeharto dan gerombolannya di angkatan darat. Makanya, kalau cari calon suami jangan tentara, Bapak ndak mau.”

“He..he..he, Bapak ada-ada saja. Belum sarjana kok mikir calon suami.”

“Memangnya, kamu belum punya pacar? Ndak mungkin, kamu itu ayu, cerdas, pasti sudah punya. Siapa itu? Rudy? Ibumu sering cerita.”

“Oalah, Ibu ndak bisa menjaga rahasia. Emmm, aku sudah putus, Pak. Aku jenuh pacaran sama Rudy. Dia terlalu baik, tapi cemburuan.”

“Ya, begitulah laki-laki. Selalu saja cemburu. Dulu Bapak juga seperti itu, tapi seiring berjalannya waktu, ketika Bapak dan Ibu sudah menikah, semua menjadi biasa. Terus, sekarang kamu lagi dekat sama siapa?”

“Kalau pacar, aku belum punya. Tapi, kalau sahabat dekat ada, Pak. Dia sahabatku sejak masuk kuliah. Namanya, Ivan, dari Lamongan. Dulu kami sama-sama aktif di Senat mahasiswa. Sekarang Ivan aktif di kesenian. Tapi, tenang saja, kami cuma bersahabat, tidak lebih dari itu. Sekarang dia sedang KKN.”

“Iya...iya, Bapak percaya. Kamu kan sudah gedhe. Ngomong-ngomong, ajaklah dia main ke rumah, biar Bapak dan Ibu kenal.”

“Bener, boleh?”

“Ya, bolehlah. Kan sahabatmu, kenapa mesti tidak boleh?”

“He...he...he...takutnya Bapak dan Ibu marah. Kalau begitu, nanti kalau aku sudah kelar ujian skripsi, dia aku ajak main ke rumah ya, Pak?” Bapak hanya mengangguk sambil mengelus rambut panjanya.

Hal itulah yang selalu membuat Nandi merasa senang dan nyaman. Bapak tidak pernah mengekangnya, tapi selalu mengingatkan untuk menjaga diri. Bapak sering bilang, semakin ia dikekang semakin memberontak. Sampai-sampai ketika ia memutuskan mengambil kuliah di jurusan Sejarah, dia juga tidak pernah melarang. Nandi memilih jurusan ini karena suka dengan dongeng almarhumah Mbah Putri ketika menceritakan bagaimana perjuangan almarhum Mbah Kakung dan kawan-kawannya di masa Belanda. Sampai-sampai Mbah Putri sering ditinggal bergerilya di hutan. 

Waktu sudah merdeka, Mbah Kakung diajak teman-temannya untuk daftar jadi tentara supaya bisa dapat gaji veteran, tapi tidak mau. Menurutnya, perjuangan tidak perlu pangkat dan gaji. Untuk urusan rezeki, dia masih bisa bekerja, menggarap beberapa petak sawah. Bagi Nandi belajar sejarah sangat menarik. Padahal, kata orang-orang jurusan Sejarah tidak akan memberikan kejelasan masa depan. Waktu itu ia hanya berpikir, pekerjaan adalah takdir Tuhan yang tidak bisa ditebak. Belum tentu mahasiswa Ekonomi akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, seperti tiga sarjana ekonomi di desanya yang lebih memilih menggarap sawah di desa karena tidak mendapat pekerjaan di kota.   

Ketika matahari mulai panas, mereka berdua memutuskan pulang. Di perjalanan, mereka berpapasan dengan beberapa petani. Bapak menyapa mereka. Sampai di rumah, Nandi kaget melihat mobil sedan parkir di halaman. Bapak mengatakan kalau itu mobil Bandi, keponakan jauhnya dari kota Banyuwangi. Benar, dia sedang berada di ruang tamu bersama Ibu. Nandi menyalaminya, sebelum minta izin mandi.

Sehabis mandi, mengenakan celana jeans dan kaos, ia menemaninya, berbincang santai di ruang tamu. Seperti lelaki kebanyakan, Bandi juga bertanya apakah Nandi sudah punya pacar. Ketika ia jawab belum punya, Bandi tidak percaya. Begitulah lelaki kalau ada maunya, selalu berpura-pura tidak percaya sembari menggunungkan harapan untuk mendapatkan cintanya. Sebuah trik purba yang selalu diyakini manjur untuk membuat perempuan tersanjung, meskipun tidak dalam konteks Nandi. Tidak lama berbincang, Bandi mengajaknya makan rujak-soto di tempat langganannya di Cluring. Setelah mendapatkan izin dari Bapak dan Ibu, mereka menuju Cluring. 

Sambil menikmati rujak-soto, Bandi mengatakan akan membelikannya HP, biar bisa tambah akrab. Nandi menolak karena tidak ingin merasa berhutang budi kepadanya. Seringkali cinta harus dipaksakan oleh banyak perempuan karena mereka merasa tidak enak telah memperoleh banyak fasilitas dari lelaki. Untuk meredam keinginannya, Nandi memberinya nomor telepon kos. Akhirnya, dia tidak lagi memaksanya dan mereka segera pulang.

“Menurutmu Mas Bandi, gimana, Nduk?” tanya Ibu ketika Nandi menemaninya mempersiapkan makan siang di dapur.

“Halah, Ibu ini, biasalah.”

“Lho, apa ndak nanya hal-hal yang agak pribadi gitu?”

“Tadi dia mau membelikanku HP, aku tolak. Takutnya ada maksud apa-apa.”

“Kan enak dibelikan HP, biar kalian tambah akrab. Aku senang melihat kalian berdua. Sepertinya, cocok.”

“Walah, Bu, aku ndak mau mikirin masalah itu dulu. Tambah ruwet skripsiku nanti. Ibu ndak usah mikir calon suamiku, nanti aku cari sendiri.”

“Namanya orang tua itu harus memikirkan yang terbaik buat putrinya.”

“Sudahlah, Ibuku sayang. Tenang, pasti aku nanti dapat calon suami yang paling guanteng sejagat.”

“Halah...mulai nglantur. Awas bawangnya gosong. Cepat diangkat.”

Hari-hari berikutnya bagi Nandi adalah hari-hari yang penuh keindahan bersama Ibu di dapur, bersama Bapak di sawah, atau  bersama kedua adiknya di warung bakso di Jajag. Satu bulan menikmati liburan bersama keluarga tercinta, malam ini, sedang enak-enaknya menonton teve bersama Ibu, Bapak memanggilnya, katanya ada seorang teman yang menelpon. Ketika dia tanya siapa namanya, Bapak hanya senyam-senyum, membuatnya semakin penasaran. Ternyata telepon dari Ivan. 

“Aku pikir kamu sudah lupa sama aku, gara-gara kecanthol cewek se-posko atau anaknya kades.”

“Hei, jangan mulai deh. Aku agak sibuk, soalnya dapat tugas tambahan sebagai Koordinator Kecamatan. Apa saja kegiatanmu di rumah?”

“Emmm...standar banget. Menemani Bapak ke sawah, menemani Ibu memasak, melayani adik-adikku yang manja. Tapi, aku senang banget bisa hadir di tengah-tengah mereka.”

“Nah gitu dong, calon istri yang baik mesti belajar urusan rumah.”

“Eit, jangan ngawur, ya. Aku ndak mau hanya berdiam di rumah. Eman ijazahku dong. Pokoknya calon suamiku nanti harus paham bahwa aku ingin bekerja. Tenang, aku ndak akan melupakan keluarga.”

“Mantap. Aku bisa memahami kok.”

“Maksudmu? Kok kamu bilang bisa memahami, memangnya kamu siapa?”

“He...he...kepancing kan? Ndak...ndak bercanda kok.”

“Dasar. E, ngomong-ngomong, Bapak memintaku mengajakmu ke rumah. Tapi, kamu jangan ge-er dulu. Itu bukan berarti apa-apa kok.”

“Waduh, ini tanda-tanda ada lampu hijau dari calon mertua.”

“Vannn...kamu jangan nglantur. Awas kalau macem-macem. Memangnya, masih kurang berapa bulan KKN-mu?”

“Ya, sekitar dua bulan lagi. O, iya, sudah dulu ya, ini sudah habis banyak. Maaf. Maaf banget, harus hemat.”

“Iya...iya. Makasih ya, Van.”

Entah, Nandi merasakan sebuah kebahagiaan setelah menerima telepon itu. Sampai-sampai, Bapak dan Ibu bengong melihatnya ketika melangkah ke kamar tidur sambil senyam-senyum sendiri. Ia bersikap cuek saja karena, toh, ia juga berhak menikmati rasa senang itu. Tiba-tiba, semua kenangan indah ketika awal mereka bertemu sampai terakhir ketika sering menonton teater kembali hadir. 

“Kenapa juga Ivan tidak jatuh cinta kepadaku? Bukankah kami sudah sangat dekat sejak awal perjumpaan? Kenapa juga ia lebih memilih Dev? Bukankah aku tidak kalah cantik? Seandainya dulu ia ‘menembakku’, aku pasti menerimnya.” Nandi hanya bisa tersenyum sendiri memikirkan pertanyaan-pertanyaan aneh itu.

Nandi bangun dengan wajah yang lebih sumringah paginya. Sehabis Subuh, ia membantu Ibu di dapur. Ketika matahari sudah mulai membuka warna desa, ia meminta izin kepada Ibu untuk jalan-jalan. Baru beberapa langkah keluar dari halaman rumah, ia bertemu dengan Mbah Karso, lelaki tua pemilik gubuk di dekat kali di bawah bukit. Ia jadi ingat-kembali mimpi aneh itu. Setelah menyapa, aku menemaninya jalan-jalan. Meski rambutnya sudah memutih, dia masih kuat berjalan setiap pagi.

“Kamu sudah besar, Cah Ayu. Dulu waktu kamu masih ingusan sering Mbah marahi kalau terlalu lama mandi di kali.”

“Hemm, ternyata Njenengan masih ingat kejadian itu. Mbah, aku boleh tanya sesuatu?”

“Tanya apa, Cah Ayu?”

“Begini Mbah, beberapa bulan yang lalu aku bermimpi mendaki bukit di atas kali itu. Nah, terus aku melihat ada perkampungan di sana. Apa benar di sana ada perkampungan, Mbah?” Mbah Karso berhenti sejenak, menatapnya dalam-dalam. Nandi jadi merasa tidak enak. Jangan-jangan omongannya tadi mengusik pikiran lelaki tua yang hidup seorang diri itu? Tidak lama, dia mengajaknya duduk di buk, bangku tembok, di perempatan desa. Ibu-ibu yang pulang belanja dari pasar menyapa mereka berdua.

“Tidak banyak orang yang tahu ada apa di balik bukit itu, karena sejak dulu dikatakan sebagai hutan larangan. Tidak ada yang berani ke sana karena selalu dikatakan banyak hantunya. Dulu, waktu aku masih muda dan Bapakmu masih SMP, kami pernah melanggar larangan itu. Kami pergi ke sana. Kami hanya menemukan pohon-pohon yang sangat besar. Banyak kijang berkeliaran. Dengan penuh hati-hati kami masuk semakin ke dalam. Tiba-tiba, bulu kuduk kami merinding, seperti mendengar suara rintihan orang-orang yang sekarat. Kami mencari, tetapi tidak menemukan orang-orang itu. 

Tapi, kami menemukan banyak tanah gundukan yang sudah ditumbuhi semak dan pohon-pohon kecil, seperti kuburan. Jumlahnya, kalau ndak salah sekitar lima gundukan. Kami amati gundukan-gundukan itu, sambil menahan rasa takut. Lalu, Bapakmu menemukan tiga bilah pedang yang sudah berkarat. Aku pun menemukan lima bilah arit. Kami tidak berani mengambil benda-benda itu, karena suara-suara rintihan itu semakin keras.

Aku dan Bapakmu lari tunggang-langgang. Sampai di kali, kami berjanji tidak akan menceritakan apa-apa yang kami temukan kepada warga desa. Jadi, hanya aku dan Bapakmu yang tahu. Aku menduga, gundukan-gundukan itu kuburan massal anggota PKI. Karena waktu 65, banyak orang PKI dari desa ini dan desa-desa tetangga yang dibawa laskar dan tidak pernah kembali. E, ternyata kamu tahu lewat mimpi. Mungkin itu sebuah pertanda, Ndok.”

“Pertanda apa, Mbah?”

“Mungkin kamu harus mengungkap rahasia di balik hutan larangan itu.”

“Kenapa harus aku, Mbah?”

“Mbah juga tidak tahu.”

Nandi diam mendengar semua perkataan Mbah Karso. Kalau benar apa yang ia duga, berarti ada sejarah yang sengaja disembunyikan di balik cerita hutan larangan itu. Meskipun masih diliputi rasa penasaran, ia pamit ke Mbah Karso untuk melanjutkan jalan-jalan keliling desa. Mirna, salah seorang sahabat kecilnya, menyapa dan memintanya mampir. Dia sudah punya anak. Cantik sekali. Semua sahabat kecilnya sudah menikah. Ada yang sudah punya anak, ada yang belum. Cuma Nandi yang belum menikah. Jujur, ia ingin seperti Mirna, menggendong anak di pagi hari. Pasti menyenangkan.

Hampir setengah jam kemudian, ia sudah kembali ke rumah. Bapak memintanya duduk di beranda, menemaninya ngopi.

“Kenapa kamu tidak bercerita kepada Bapak kalau pernah bermimpi ke hutan larangan, Nduk?”

“Lho, apa Mbah Karso cerita ke Bapak?”

“Iya, baru saja ia datang ke sini. Benar kata Lek Karso, hutan itu memang penuh kuburan PKI. Satu tahun yang lalu, aku pernah bertanya kepada beberapa anggota laskar yang terlibat langsung dalam pembantaian itu. Mereka berani bercerita karena merasa sangat berdosa. Beberapa di antara mereka bahkan menderita sakit yang aneh. Mereka bilang waktu itu mereka harus melakukannya karena PKI memang banyak menantang tokoh-tokoh agama dan masyarakat yang dianggap menindas rakyat. Apalagi, ada program landreform, bagi-bagi tanah buat buruh tani. Nah, dalam kondisi kacau itulah, intel-intel tentara memprovokasi mereka untuk bergerak. Terjadilah pembunuhan di hutan larangan itu. Menurut mereka, ada sekitar 50 orang PKI yang dibunuh. Makanya, untuk menutupi peristiwa itu, hutan itu disebut hutan larangan.”

“Kenapa tidak disempurnakan arwah mereka, Pak? Kan kasihan.”

“Bapak ndak berani mengusulkan itu kepada Kepala Desa. Bapak takut dicap bersimpati kepada PKI. Lagi pula, Bapakmu ini pegawai negeri.”

“Tapi, zaman sudah berubah, Pak. Kebenaran itu harus diungkap. Kasihan keluarga yang mereka tinggalkan, tidak pernah tahu di mana maesan para anggota keluarga mereka. Untuk Bapak ketahui, dalam mimpiku, aku bersama Ivan, tapi tidak sampai masuk ke hutan itu. Hanya Ivan yang memaksa masuk ke sana.” Lelaki setengah baya itu diam mendengar ucapan anak perempuannya yang menurutnya semakin kritis dan berani. Kedua matanya menerawang jauh ke depan.

“Benar katamu, Nduk, mereka memang harus disempurnakan. Meskipun mungkin tinggal tulang-belulang, mereka tetap berhak mendapat perlakuan yang baik. Kalau kamu sudah selesai ujian, segeralah ajak Ivan ke sini, biar dia menemanimu mengungkap kebenaran di balik hutan keramat itu.” Nandi memeluknya sambil tersenyum.

Hari-hari berikutnya, ditemani Bapak dan Mbah Karso, Nandi mendatangi salah satu pensiunan tentara yang mempunyai daftar para anggota PKI yang dibunuh di hutan larangan. Awalnya dia keberatan untuk memberikannya. Setelah beberapa hari berusaha meyakinkannya bahwa kegiatan itu bukan untuk apa-apa selain untuk menyempurnakan arwah para korban, dia mau memberikan daftar itu. Dia berpesan agar mereka merahasiakan asal-usul daftar itu.

“Semoga saja dengan memberikan daftar itu, aku bisa terbebas dari mimpi buruk setiap malam yang membuatku selalu bangun dengan nafas terengah-engah,” ucapnya ketika memberikan daftar itu kepadaku.

“Kalau Njenengan berkenan, bolehkah saya tahu mimpi seperti apa itu, Pak?” tanyanya memberanikan diri. Lelaki tua berambut putih itu menghela nafas, sambil menatap Mbah Karso dan Bapak.

“Puluhan orang PKI yang dibunuh dikubur di hutan larangan mendatangiku, bukan dengan kemarahan, tetapi dengan tangisan tanpa air mata. Aku benar-benar sedih melihat kedatangan mereka. Kesedihan itulah yang membuatku ketakutan, karena telah ikut menjadikan mereka dikubur tanpa pengadilan di hutan larangan itu, terpisah dari keluarga mereka. Jujur, aku dulu juga tidak setuju dengan pembunuhan itu. Tetapi, itu semua komando dari Jakarta. Dan, sebagai tentara dengan pangkat rendah, aku dan kawan-kawan harus menurutinya,” lelaki tua itu meneteskan air mata. Mbah Karso berusaha menenangkannya dengan memijat bahunya. Untuk beberapa saat Nandi larut dalam pikirannya sendiri. Mungkin selama ini ia terlalu mengeneralisir bahwa semua tentara angkatan darat bersalah atas pembunuhan para anggota, simpatisan, atau mereka yang dituduh PKI. Dia tidak pernah berpikir bahwa tidak semua tentara menyetujui komando tersebut, meskipun mereka tidak bisa menolaknya.

“Sudahlah, Kang. Semoga kesediaan untuk menyerahkan daftar itu bisa sedikit mengurangi beban pikiran Sampean. Mungkin dengan berkurangnya beban itu, Sampean bisa berangsur-angsur terbebas dari mimpi menyedihkan itu. Aku yakin Gusti Pengeran mendengar doa Sampean,” tutur Mbah Karso.

“Aamien, Dik,” sahut lelaki tua itu.

Beberapa hari setelah mendapatkan daftar itu, mereka bertamu ke para warga yang orang tua, suami, istri, ibu, atau saudara mereka hilang semasa 65. Beberapa warga takut, tapi setelah mereka meyakinkan demi kesempurnaan jenasah orang-orang PKI itu, keluarga para korban mau bercerita. Sebagian ada yang memberikan ciri-ciri khusus berupa benda-benda yang menempel di tubuh mereka ketika dibawa laskar. Sebagian tidak ingat lagi.

Batin dan pikirannya benar-benar berkecamuk, ingin marah dan mengumpat, setiap kali Nandi, Bapak, dan Mbah Karso habis mendatangi keluarga para korban 65. Tapi, ia selalu berusaha meredam keinginan itu, karena tidak ingin Bapak dan Ibu sedih. Dalam kondisi itu, setiap menjelang tidur, untuk sedikit mengusir amarahnya, Nandi selalu membayangkan-kembali kebersamaannya dengan Ivan setiap kali menonton pertunjukan teater. Ah, rasa-rasanya mereka seperti sepasang kekasih yang ingin merayakan kebersamaan dengan menikmati pertunjukan seni. Sampai-sampai banyak kawan Ivan yang menanyakan statusnya, kekasih atau sahabat. “Tanya saja sama Nandi,” begitu jawaban taktisnya. Lucu juga. Mungkinkah ia berharap sebuah kisah baru bersama Ivan? Seperti kata orang bijak, hari esok siapa yang tahu. Yang pasti, saat ini ia mempunyai tugas tambahan, selain mengerjakan skripsi: mengusahakan agar para korban 65 yang dikubur di hutan larangan bisa dipindahkan ke kuburan yang lebih layak.  (bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun