Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sebuah Panggilan dari Hutan Larangan (2)

19 Juni 2020   07:19 Diperbarui: 19 Juni 2020   07:39 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kenapa harus aku, Mbah?”

“Mbah juga tidak tahu.”

Nandi diam mendengar semua perkataan Mbah Karso. Kalau benar apa yang ia duga, berarti ada sejarah yang sengaja disembunyikan di balik cerita hutan larangan itu. Meskipun masih diliputi rasa penasaran, ia pamit ke Mbah Karso untuk melanjutkan jalan-jalan keliling desa. Mirna, salah seorang sahabat kecilnya, menyapa dan memintanya mampir. Dia sudah punya anak. Cantik sekali. Semua sahabat kecilnya sudah menikah. Ada yang sudah punya anak, ada yang belum. Cuma Nandi yang belum menikah. Jujur, ia ingin seperti Mirna, menggendong anak di pagi hari. Pasti menyenangkan.

Hampir setengah jam kemudian, ia sudah kembali ke rumah. Bapak memintanya duduk di beranda, menemaninya ngopi.

“Kenapa kamu tidak bercerita kepada Bapak kalau pernah bermimpi ke hutan larangan, Nduk?”

“Lho, apa Mbah Karso cerita ke Bapak?”

“Iya, baru saja ia datang ke sini. Benar kata Lek Karso, hutan itu memang penuh kuburan PKI. Satu tahun yang lalu, aku pernah bertanya kepada beberapa anggota laskar yang terlibat langsung dalam pembantaian itu. Mereka berani bercerita karena merasa sangat berdosa. Beberapa di antara mereka bahkan menderita sakit yang aneh. Mereka bilang waktu itu mereka harus melakukannya karena PKI memang banyak menantang tokoh-tokoh agama dan masyarakat yang dianggap menindas rakyat. Apalagi, ada program landreform, bagi-bagi tanah buat buruh tani. Nah, dalam kondisi kacau itulah, intel-intel tentara memprovokasi mereka untuk bergerak. Terjadilah pembunuhan di hutan larangan itu. Menurut mereka, ada sekitar 50 orang PKI yang dibunuh. Makanya, untuk menutupi peristiwa itu, hutan itu disebut hutan larangan.”

“Kenapa tidak disempurnakan arwah mereka, Pak? Kan kasihan.”

“Bapak ndak berani mengusulkan itu kepada Kepala Desa. Bapak takut dicap bersimpati kepada PKI. Lagi pula, Bapakmu ini pegawai negeri.”

“Tapi, zaman sudah berubah, Pak. Kebenaran itu harus diungkap. Kasihan keluarga yang mereka tinggalkan, tidak pernah tahu di mana maesan para anggota keluarga mereka. Untuk Bapak ketahui, dalam mimpiku, aku bersama Ivan, tapi tidak sampai masuk ke hutan itu. Hanya Ivan yang memaksa masuk ke sana.” Lelaki setengah baya itu diam mendengar ucapan anak perempuannya yang menurutnya semakin kritis dan berani. Kedua matanya menerawang jauh ke depan.

“Benar katamu, Nduk, mereka memang harus disempurnakan. Meskipun mungkin tinggal tulang-belulang, mereka tetap berhak mendapat perlakuan yang baik. Kalau kamu sudah selesai ujian, segeralah ajak Ivan ke sini, biar dia menemanimu mengungkap kebenaran di balik hutan keramat itu.” Nandi memeluknya sambil tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun