Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sebuah Panggilan dari Hutan Larangan (2)

19 Juni 2020   07:19 Diperbarui: 19 Juni 2020   07:39 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pukul 22.00, apresiasi selesai. Rendra, Ivan, dan Nandi memberi selamat kepada para pemain. Begitu juga beberapa pegiat teater dari kampus lain. Ketika memberi ucapan selamat kepada semua kru, Nandi memeluk mereka satu per satu. Ia tak mempedulikan lagi Rudy, pacarnya, yang berdiri mematung di pintu aula melihat tingkahnya.

“Terima kasih, kamu dan kawan-kawan telah mengantarkan sebuah dunia Pak Tarji yang tampak begitu nyata, Van. Sekali lagi terima kasih,” bisiknya di telinga Van ketika memeluknya. “Kamu pantas mendapatkan dunia itu, Dee,” balasnya.

Mereka baru saling melepaskan pelukan, ketika para pemain dan tim produksi menyiram dengan air dari kamar mandi di sebelah aula. Mereka berdua menjerit tak berdaya dengan tubuh basah. Kebahagiaan dan keharuan seperti memenuhi ruang aula karena sebuah kisah orang-orang yang disenyapkan bisa disuguhkan kepada penonton yang sebagian besar mahasiswa.

Sepulang dari pertunjukan, Rudy marah besar. Dia mengatainya sebagai perempuan tak tahu malu, rendahan, tak bermoral, tak tahu adat, tak berperikemanusiaan, karena memeluk lelaki lain di depan matanya. Nandi berusaha membela diri, tetapi sia-sia, dia tetap marah. Bahkan ketika hendak pulang, dia tidak mengecup kening ataupun mengucap salam, seperti yang biasa ia lakukan. Sebelum ia melangkahkan kaki, melewati pintu pagar kos, setengah berlari Nandi menarik tangan kanannyal.

“Tolong mulai saat ini, jangan lagi kita bicara cinta. Aku sudah jenuh. Malam ini juga kita putus, Rud,” ucapnya tegas. “Apa aku berbuat salah, Nan? Kenapa kamu minta kita putus? Apa gara-gara kemarahanku tadi? Apa aku tidak boleh marah melihat kekasihku memeluk lelaki lain di depan mataku?” tanya Rudy dengan wajah tegang. Mungkin dia merasa semua perjuangannya untuk mendapatkan cinta perempuan yang banyak digandrungi para aktivis itu hancur.

Nandi masih ingat bagaimana Rudy berusaha meyakinkannya agar mau menerima cintanya. Berulang kali perempuan berparas ayu dengan rambut bergelombang yang panjangnya mendekati pinggang itu mengatakan tidak mau karena ingin berkonsentrasi kuliah dan berkegiatan di senat mahasiswa. Rudy tidak pernah mau menyerah. Setiap ada kesempatan, ia selalu datang ke tempat kosnya. Bahkan, entah sudah berapa kali ia mengantar dan menjemputnya untuk kuliah maupun berkegiatan. 

Semua perjuangan dan kesabarann itulah yang membuat Nandi menerima cintanya pada tahun ketiga kuliah. Tetapi, ia memberi catatan kepadanya agar tak mengatur dan membatasi semua kegiataannya di kampus. Meskipun, Nandi keras dalam hal itu, untuk urusan yang berbau percumbuan, ia juga tidak mau munafik. 

Entah sudah berapa kali ia menikmati percumbuan dengannya, terutama di kamar kosnya dan di beberapa tempat wisata di Jember yang mereka kunjungi. Kini setelah hampir satu tahun bersama dalam hubungan yang indah, Nandi harus membuat keputusan, memutuskan cintanya, setelah hampir 2 bulan lebih memikirkannya dan mendapat momentum dengan kemarahannya selepas pementasan itu.

“Oke, kamu punya hak untuk marah. Tapi, mestinya kamu sadar, aku melakukannya sebagai ungkapan terima kasih kepada mereka. Lagi pula, aku sudah bosan dengan segala macam rutinitas yang terjadi di antara kita. Di tambah lagi, pikiranku tidak bisa lagi memikirkan segala tetek-bengek tentang cinta. Banyak hal dalam skripsiku yang membutuhkan bukan sekedar data dan rasionalisasi, tetapi juga ketenangan batin. Untuk saat ini, batinku tidak bisa berbagi dengan batinmu, Rud.”

Rudy berdiri, sebentar menatapnya yang menatap lurus ke depan, ke arah jalan becek di depan kos.

“Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu, Nan. Alasanmu benar-benar tidak masuk akal. Mestinya, kamu bisa membagi waktu, antara aku dan skripsimu. Sudahlah, tidak ada gunanya ngomong sama kamu. Dasar perempuan aneh!!!” Ia segera pergi dengan motor bebeknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun