Reformasi Penanganan Unjuk Rasa Anarkis: Penegakan Hukum Tegas dan Menjerakan
Unjuk rasa adalah bagian dari demokrasi, tetapi ketika berubah menjadi anarkis dengan pembakaran gedung, perusakan kendaraan, hingga penyerangan aparat, maka hal itu sudah masuk ranah tindak pidana serius. Data sepanjang 25 Agustus hingga 3 September 2025 menunjukkan ketimpangan besar antara kerugian yang ditimbulkan dan jumlah pelaku yang diproses hukum.
Kerugian nasional akibat unjuk rasa anarkis mencapai hampir Rp 900 miliar. Di Jakarta saja, kerugian fasilitas umum mencapai Rp 50,4 miliar, sementara di Makassar, pembakaran Gedung DPRD dan kendaraan menelan kerugian Rp 253,4 miliar. Namun, dari lebih dari 3.195 orang yang ditangkap, hanya sekitar 55 orang yang ditetapkan tersangka. Di Jakarta, dari >1.000 orang yang diamankan, hanya 38 orang menjadi tersangka, sementara di Jawa Tengah 46 orang diproses hukum dari 1.747 orang yang diamankan.
Angka ini jelas tidak sebanding dengan skala kerusakan. Publik dapat menilai bahwa penegakan hukum masih setengah hati dan tidak menimbulkan efek jera.
Kritik terhadap Pola Penanganan Saat Ini
1. Penangkapan Massal tanpa Seleksi Lanjut
Ribuan orang ditangkap, tetapi mayoritas dipulangkan tanpa proses hukum. Ini menimbulkan kesan bahwa aparat hanya "mengamankan situasi sesaat", bukan menindak pelaku secara sistematis.
2. Minim Identifikasi Aktor Utama
Banyak provokator lapangan, bahkan aktor intelektual, tidak terungkap. Hal ini menunjukkan lemahnya investigasi berbasis bukti digital (CCTV, rekaman warga, drone).
3. Keterbatasan Koordinasi CJS (Criminal Justice System)
Proses hukum berjalan lambat, sehingga celah dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menekan Polri dengan mengerahkan massa agar pelaku dibebaskan.
Cara Bertindak yang Diperlukan
Agar penegakan hukum tegas dan menjerakan, Polri Wajib melakukan reformasi cara bertindak dengan pendekatan berikut:
1. Identifikasi Digital Saat Kejadian
- Mengumpulkan bukti visual dari berbagai sudut: CCTV kota, bodycam, drone, hingga rekaman warga.
- Membentuk Tim Analisis Digital Forensik untuk menandai wajah, pakaian, atau tindakan pelaku anarkis.
2. Penangkapan Selektif Pasca-Aksi
- Penangkapan tidak harus dilakukan di lokasi kejadian yang berisiko menimbulkan bentrokan lebih besar.
- Pelaku yang teridentifikasi dapat ditangkap setelah aksi selesai, atau dalam jeda tiga hari berikutnya dengan operasi terencana.
3. Koordinasi Cepat dengan CJS
- Penyidik Polri harus langsung berkoordinasi dengan kejaksaan dan pengadilan untuk percepatan proses hukum.
- Sidang cepat (speedy trial) bagi pelaku anarkis akan menutup ruang negosiasi liar dan menghindari mobilisasi massa untuk menekan kepolisian.
4. Transparansi kepada Publik
- Publikasi hasil identifikasi, jumlah tersangka, dan progres sidang akan meningkatkan kepercayaan masyarakat.
- Pesan utama: Polri melindungi hak unjuk rasa damai, tetapi keras menindak anarkisme.
Reformasi penanganan unjuk rasa anarkis menuntut keberanian Polri untuk lebih tegas, selektif, dan sistematis. Tidak cukup hanya mengamankan ribuan orang lalu memulangkannya. Harus ada penegakan hukum yang nyata: pelaku diidentifikasi, ditangkap dengan bukti digital, diproses cepat bersama CJS, dan dihukum setimpal.
Hanya dengan cara ini, pesan yang sampai ke publik akan jelas: unjuk rasa damai dilindungi, tetapi anarkisme akan selalu ditindak tegas, adil, dan menjerakan.
#tolakAnarkis
#DukungPolri
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI