Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Jika Indonesia Lolos Piala Dunia 2026, Aku akan Minta Pemainnya Dapat Tunjangan Pensiun Seumur Hidup

8 Oktober 2025   18:50 Diperbarui: 9 Oktober 2025   14:44 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas Indonesia akan berjuang dalam 180 menit menuju Piala Dunia 2026. Sumber gambar: Kompas.com

Piala Dunia 2026 hanya berjarak 180 menit di Jeddah, Arab Saudi dan akan dimulai pada Kamis (9/10) dini hari WIB.

Indonesia akan melawan tuan rumah Arab Saudi terlebih dahulu dan menantang Irak pada Minggu (12/10) dini hari WIB mendatang, di King Abdullah Sports City Stadium, Jeddah.

Bagi penggemar sepak bola dan apalagi Timnas Indonesia, saya tentu antusias menanti dua laga penentuan tersebut meski dengan deg-degan. Tentu saja.

Apalagi, baru kali ini melihat Timnas Indonesia terasa dekat dengan pintu masuk Piala Dunia.

Sejak benar-benar menggemari Timnas Indonesia pada 2010, saya tidak menyangka bahwa bayang-bayang Piala Dunia cukup dekat.

Tentu, ada alasannya tentang mengapa saya tidak berekspektasi Indonesia bisa mendekati pintu Piala Dunia 2026.

Pertama, Indonesia gagal juara Piala AFF 2010. Artinya secara mentalitas kolektif, kita gagal membangun target untuk tampil kompetitif di Piala Asia.

Kedua, Indonesia gagal ke Piala Asia edisi 2011, 2015, dan 2019. Ketika Indonesia gagal tampil di Piala Asia, maka jangankan berharap tampil di panggung dunia, berharap tampil di panggung Asia saja sudah sangat susah kala itu.

Ditambah pula dengan integrasi antara kualifikasi Piala Asia dengan kualifikasi Piala Dunia zona AFC. Maka, jika Indonesia gagal melaju jauh di kualifikasi Asia maka berkorelasi dengan kegagalan melaju ke pentas dunia.

Ketiga, Indonesia sering bergonta-ganti pelatih. Sejak 2010 hingga 2019, ada 14 orang yang pernah menjadi pelatih Timnas Indonesia.

Benny Dollo (2010), Alfred Riedl (2010-2011, 2013-2014, 2016), Wim Rijsbergen (2011-2012), Aji Santoso/caretaker (2012), Nil Maizar (2012-2013), Luis Manuel Blanco (2013), Rahmad Darmawan/caretaker (2013), Jacksen Ferreira Tiago (2013), Indra Sjafri/caretaker (2015), Pieter Huistra/caretaker (2015), Luis Milla (2017-2018), Bima Sakti/caretaker (2018), Simon McMenemy (2019), Yeyen Tumena/caretaker (2019).

Rentetan pergantian pelatih tersebut baru terhenti setelah Indonesia menunjuk Shin Tae-yong dari Korea Selatan pada akhir 2019. Ia mulai bekerja pada 2020 yang sayangnya harus terganggu pandemi Covid-19. Akhirnya, ia baru efektif memimpin Garuda pada 2021.

Sejak di tangan pelatih Korea Selatan tersebut, Indonesia terasa menjalani kebangkitan. Tentu, bukan sebagai 'Macan Asia yang lama tertidur' seperti yang sering digaungkan secara hiperbola, melainkan Indonesia yang setidaknya seperti saat tampil di Piala Asia 1996, 2000, 2004, dan 2007.

Walau saya tidak menjadi saksi terhadap Piala Asia 1996 dan 2000 karena faktor umur, setidaknya saya punya gambaran timnas yang bisa dibanggakan seperti pada 2004 dan 2007.

Fondasi Indonesia kemudian terbangun di era STY--panggilan akrab Shin Tae-yong, dengan skuat muda, Indonesia bisa finalis Piala AFF 2020 (digelar 2021) dan lolos Piala Asia 2023 (digelar 2024).

Kelolosan Indonesia ke Piala Asia 2023 inilah yang kemudian mulai menjadi landasan awal tentang mengapa kepakan sayap Garuda mulai dekat dengan gerbang Piala Dunia, terutama pada 2026.

Penggemar seperti saya pun pada akhirnya tidak menyangka bahwa mulai sedekat itu jarak timnas kita dengan Piala Dunia. Yang semula terasa 'tidak mungkin' menjadi 'bisa saja tercapai'.

Lantas, jika Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026, apa yang akan saya lakukan?

Paling pertama yang saya lakukan adalah mengapresiasi secara positif (memuji) perjuangan seluruh pemain dan tim pelatih.

Saya juga akan mengapresiasi keputusan federasi (PSSI) yang berhasil mempertaruhkan keputusannya dalam mengganti pelatih di tengah perjuangan Garuda menuju Piala Dunia 2026.

Kedua, saya akan mengharapkan para pemain Timnas Indonesia yang dipanggil selama Kualifikasi Piala Dunia 2026 sejak putaran pertama hingga keempat mendapat tunjangan pensiun seumur hidup dan bahkan dapat diteruskan ke ahli warisnya seperti yang terjadi pada Aparatur Sipil Negara (ASN).

Bagi saya, atlet juga seperti ASN, mereka juga berjuang untuk negeri kita dan bahkan skalanya antarnegara. Maka, sudah sepatutnya para atlet kita yang bisa mengharumkan bangsa di level internasional mendapat tunjangan pensiun seperti yang dialami ASN.

Dengan demikian, cita-cita generasi muda kita tidak terbatas pada 'mau menjadi PNS, Polisi, TNI, hingga pegawai bank negara', melainkan bisa berani menjadi atlet profesional yang fokusnya seratus persen berkarier sebagai atlet bukan nyambi sebagai aparat.

Hal ini bagi saya penting agar karier atlet kita bisa berkembang maksimal dan tidak terkekang oleh stereotipe dari lingkungan sosialnya.

Apalagi kalau tidak mendapat dukungan dari orang tua, karena mereka khawatir tentang masa depan dan masa tua anaknya. Dan kecemasan itu juga wajar terjadi, karena tidak ada orang tua di dunia ini yang tega melihat anaknya menjadi pesakitan. Walaupun, di sisi lain, mereka juga pasti tahu bahwa anaknya punya semangat dan bakat di olahraga.

Maka dari itu, saya berharap seluruh pemain Indonesia yang telah menjadi bagian Garuda di Kualifikasi Piala Dunia 2026 sejak putaran pertama hingga keempat nanti memperoleh tunjangan pensiun.

Bagaimana jika gagal lolos?

Menurut saya, hak tunjangan pensiun tetap harus diperjuangkan. Sebab, ini bisa menjadi motivasi bagi generasi muda atlet kita ke depan.

Artinya, bukan hanya menilai berhasil dan gagalnya kita ke Piala Dunia 2026, melainkan bagaimana kita bisa menyiasati kesuksesan di masa depan dari sekarang. Bahkan, termasuk jika kita gagal lolos ke Piala Dunia 2026.

Sebab, kegagalan tidak selamanya menjadi akhir dari sebuah perjuangan. Tetapi, bisa menjadi motivasi untuk bisa bangkit dengan lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Salah satu bukti dari sebuah kesuksesan yang berasal dari kegagalan adalah Jerman yang juara Piala Dunia 2014 namun pada edisi 2010 gagal ke final dan harus puas sebagai peringkat ketiga.

Mereka pun akhirnya bisa meraih bintang keempatnya di Piala Dunia setelah terakhir juara pada 1990 ketika masih bernama Jerman Barat.

Artinya, negara sepak bola sebesar Jerman pun butuh berproses lebih dari dua dekade untuk kembali ke takhta tertinggi dunia. Apalagi kita, bukan?

Terakhir kali Indonesia tampil di Piala Dunia bahkan pada 1938. Zaman almh. nenek saya masih kecil--seingat saya tentang tahun lahirnya--dan bahkan masih bernama Hindia Belanda.

Maka dari itu, apa pun hasilnya nanti, saya hanya berpikir tentang perlunya apresiasi besar kepada mereka yang telah menancapkan standar pertama seberapa jauh kita melangkah menuju Piala Dunia.

Dari sanalah, kita perlu untuk memperbaiki lagi sistem sepak bola kita sehingga ke depan Timnas Indonesia kita tidak hanya bergantung kepada diaspora didikan luar negeri melainkan bisa juga menghasilkan diaspora didikan dalam negeri seperti yang dilakukan Jepang, Korea Selatan, Iran, dan kini sedang disusul juga oleh Uzbekistan.

Tim nasional yang sedemikian rupa bagi saya akan menjadi ideal ketika dipadukan dengan melimpahnya diaspora Indonesia di luar negeri. Mereka juga tetap berhak membela Merah Putih, sama seperti yang lahir di tanah air.

Namun, kita juga perlu mempunyai (sangat) banyak pemain didikan dalam negeri yang berstandar internasional, agar fondasinya juga kuat, bahkan sejak tingkat junior.

Dan, salah satu cara agar kita bisa membangun fondasi kuat tersebut adalah dengan menyediakan tunjangan masa tua bagi para atlet agar anak-anak muda kita bisa termotivasi untuk fokus mengembangkan dirinya sebagai atlet profesional.

Ketika mereka berkembang secara individu, maka yang akan memetik hasilnya juga negara (pemerintah dan masyarakat). Maka dari itu, pemikiran saya saat ini hanyalah tentang tunjangan masa tua kepada para pemain timnas kita.

Bagaimana dengan saya? Apakah tidak ada hal menarik yang akan saya lakukan jika Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026?

Tidak ada.

Bagi saya, sukses atau tidaknya Timnas Indonesia nanti di Kualifikasi Putaran Keempat tidak sepenuhnya berpengaruh dalam hidup saya.

Sepak bola memang menjadi salah satu semangat saya, tetapi saya juga menyadari bahwa tidak (belum) sepenuhnya memberi dampak besar bagi hidup saya.

Maka, ketika Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026, saya perkirakan hidup saya akan tetap seperti biasanya. Jadi, saya juga akan menjalani rutinitas seperti biasanya.

Walaupun, saya juga tidak tahu tentang masa depan. Bisa saja setelah ini saya mendapat tawaran kerja sebagai juru tulis di bidang keolahragaan sebuah instansi. Siapa tahu? Hehe. (***)

Ditulis oleh penyuka sepak bola yang masih awam, Deddy HS.

Malang, 8 Oktober 2025.

Sumber bacaan: 1. FIFA (Indonesia 1938), 2. Kompas (daftar pelatih Timnas Indonesia), 3. Kompas.id (dana pensiun atlet), 4. Kompas.id (kesejahteraan atlet)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun