Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Penyebab Brasil Menyerah dari Argentina di Final Copa America 2021

11 Juli 2021   16:04 Diperbarui: 11 Juli 2021   16:17 6900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Argentina menjuarai Copa America 2021. Sumber: MAURO PIMENTEL/via Kompas.com

Final Copa America 2021 resmi tergelar dengan menyajikan pertemuan sengit antara Argentina vs Brasil di Maracana, Brasil (11/7). Brasil kembali menjadi tuan rumah dalam dua gelaran secara beruntun, yaitu Copa America 2019 dan 2021.

Itu yang kemudian memunculkan asa untuk melihat Brasil kembali mengangkat trofi di negeri sendiri. Hanya saja, harapan itu harus pupus, karena Argentina berhasil menaklukkan mereka. Mengapa bisa begitu?

Pertama, karena Argentina sudah menunjukkan permainan mereka secara umum sejak fase grup. Mereka adalah tim yang mengandalkan lini tengah sebagai pengontrol pertandingan.

Mereka tidak terlalu khawatir dengan skor pertandingan yang sepi gol, karena mereka awalnya bisa memimpin klasemen grup juga dengan bermodalkan tiga gol saja. Mereka baru menunjukkan produktivitasnya di laga terakhir fase grup saat melawan Bolivia (4-1).

Artinya, Argentina bermain kurang produktif di awal fase grup bukan karena lini depannya mandul, melainkan karena mereka punya strategi khusus yang pada akhirnya harus mengorbankan sisi lain dalam permainan. Sisi itu adalah produktivitas.

Namun, selama hasil pertandingan dapat membuahkan poin dan kemenangan, itu sudah cukup untuk berbicara tentang turnamen. Dalam turnamen yang rentang waktunya singkat, hasil pertandingan memang lebih utama dibandingkan permainan.

Walaupun, sebenarnya, permainanlah yang dapat menentukan hasil pertandingan. Tanpa melupakan peran keberuntungan yang bisa muncul sewaktu-waktu.

Kemudian, penyebab kedua yang bisa mendasari kemenangan Argentina atas Brasil adalah pendekatan taktik khusus dalam satu pertandingan. Itu sudah terdemonstrasikan lewat laga perempat final melawan Ekuador.
 
Saat menghadapi Ekuador, Argentina awalnya juga terlihat seperti harus puas menang dengan skor 1-0. Baru ketika ada Angel Di Maria di babak kedua dan menurunnya konsentrasi para pemain bertahan Ekuador, membuat skuad asuhan Lionel Scaloni mampu mengunci kemenangan menjadi 3-0.

Argentina main dengan gaya direct football saat melawan Ekuador. Sumber: AFP/Douglas Magno/via Kompas.com
Argentina main dengan gaya direct football saat melawan Ekuador. Sumber: AFP/Douglas Magno/via Kompas.com
Pada laga inilah, kita bisa melihat Argentina seperti bermain dengan pendekatan yang berbeda. Mereka seperti tidak mau bermain dengan mengandalkan lini tengah, melainkan mengandalkan lini belakang dan lini serang untuk mengontrol permainan dan membangun serangan.

Apakah Scaloni melihat Ekuador kuat di lini tengah?

Kemungkinan besar bukan karena itu, melainkan karena Scaloni seperti ingin mengefektifkan serangan. Dia seperti melihat serangan yang dibangun dari lini tengah akan mudah terbaca oleh lawan, karena Ekuador pasti sudah menyiapkan strategi untuk beradu kuat di lini tengah.

Tentu, beradu kuat ini dalam artian Argentina sebagai pihak pembangun serangan, Ekuador sebagai pihak penahan serangan. Jika demikian, ada potensi para pemain Argentina dapat mengalami kebuntuan dalam menciptakan peluang.

Itulah mengapa, Argentina perlu membangun serangan dari lini belakang untuk memancing para pemain Ekuador keluar dari zona bertahannya. Dengan begitu, Argentina bisa leluasa mengirim bola-bola panjang langsung ke pertahanan lawan.

Itu adalah strategi tim kuat yang bisa dikatakan out of the box. Karena, mayoritas tim kuat akan memainkan penguasaan bola di lini tengah dan berupaya mengintimidasi lawan di sepertiga pertahanan lawan.

Cara itu sepertinya dihindari Argentina, agar lini tengah mereka tidak terlalu frustrasi dan juga bisa kehabisan energi untuk mengantisipasi determinasi para pemain Ekuador, yang sudah terbukti dapat meredam produktivitas Brasil di laga terakhir fase grup mereka.

Artinya, Scaloni dan tim kepelatihannya seperti mempelajari cara untuk mengalahkan Ekuador. Mereka perlu taktik yang berbeda, walaupun awalnya terlihat juga kurang efektif sebelum masuknya Di Maria yang seperti memuluskan rencana Scaloni.

Menggunakan taktik khusus juga dilakukan Scaloni ketika menghadapi Brasil. Dia mengubah lagi cara bermain timnya. Mereka bahkan bisa disebut telah memainkan dua taktik dalam satu pertandingan, yaitu bermain direct football seperti saat melawan Ekuador, dan bermain compact football seperti saat melawan Kolombia.

Alasan ketiga, Scaloni tidak berani mengambil risiko besar dibandingkan Tite. Ini dapat dilihat dari keengganan Scaloni mencadangkan Messi, atau mengistirahatkan Messi.

Berbeda dengan Tite yang mencoba mengistirahatkan Neymar Jr. di laga kontra Ekuador. Memang pada satu sisi, apa yang dilakukan Tite patut diacungi jempol. Dia seperti ingin menunjukkan bahwa Brasil juga bisa bermain bagus tanpa Neymar.

Namun, di sisi lain, kita juga dapat melihat kalau permainan Brasil tanpa Neymar, seperti terlihat kurang ada "pelicin". Brasil memang punya banyak pemain berkualitas, namun yang seperti Neymar masih belum ada.

Itu seperti Argentina yang belum terihat siapa yang bisa bermain seperti Messi. Belum ada.

Maka dari itu, Scaloni enggan berjudi dengan mendudukkan Messi di bangku cadangan. Scaloni ingin permainan timnya tidak mengalami perubahan semangat dan kepercayaan diri.

Sepak bola memang butuh 11 pemain. Tetapi, di antara 11 pemain itu, selalu diharapkan ada pemain-pemain yang dapat menginspirasi permainan kepada rekan-rekannya.

Di situlah, Scaloni seperti berpegang teguh kepada Messi. Messi memang sudah mulai dibaurkan perannya ke dalam tim, tetapi Messi tetap harus ada di lapangan.

Berbeda dengan Tite yang menganggap bahwa 11 pemain memanglah 11 pemain yang bisa diutak-atik komposisinya sesuai taktik. Namun, dari situlah, dia malah mengambil risiko besar dengan mempertontonkan bagaimana Brasil akhirnya punya kelemahan di Copa America 2021.

Bahkan, hal itu kian ditunjukkan ketika Brasil mengarungi fase gugur sebelum final. Sumbangsih Neymar menjadi kian terasa, sekalipun nama Lucas Paqueta dielu-elukan.

Lucas Paqueta berperan penting bagi Brasil, tapi otak permainan Brasil tetap ada di Neymar. Sumber: AFP/Douglas Magno/via Kompas.com
Lucas Paqueta berperan penting bagi Brasil, tapi otak permainan Brasil tetap ada di Neymar. Sumber: AFP/Douglas Magno/via Kompas.com
Padahal, di balik itu, ada Neymar yang mampu mengendalikan keadaan untuk Brasil. Secara kolektif, sebenarnya Brasil bisa diimbangi oleh Ekuador, Chile, hingga Peru.

Kesialan tiga tim itu sebenarnya ada di satu hal. Kemampuan mencetak gol. Seandainya, tiga tim tersebut cukup efektif dalam mengonversi peluang menjadi gol, maka Brasil bisa saja malah tidak dapat melaju ke final.

Kemudian, ada alasan keempat yang dapat mengukuhkan kunci kemenangan Argentina di final Copa America 2021, yaitu mengendalikan faktor nonteknis selain faktor teknis. Faktor nonteknis ini seperti keberanian para pemain Argentina beradu provokasi dan trik untuk dapat saling mengambil keuntungan.

Para pemain Argentina seperti tidak ingin bermain polos dengan fokus ke teknik bermain saja, tetapi juga bagaimana dapat mempermainkan konsentrasi lawan. Para pemain Brasil secara teknik individual memang bagus, tetapi secara emosional, mereka juga punya kelemahan.

Sehebat-hebatnya pesepak bola kelas dunia, mereka juga manusia yang punya emosional. Inilah yang kemudian menjadi perhitungan juga bagi Argentina.

Scaloni seperti tahu bagaimana peran Nicolas Otamendi, Marcos Acuna, Gonzalo Montiel, Rodrigo De Paul, dan tentunya Angel Di Maria yang kali ini dipercaya bermain sejak awal. Lewat beberapa pemain tersebut, Argentina memainkan taktik secara teknis dan nonteknis.

Secara teknis, Acuna yang bermain di sisi kiri bisa dikatakan berhasil meredam daya jelajah para pemain Brasil. Danilo yang bisa menjadi kejutan untuk Brasil terlihat canggung di laga ini karena Acuna ternyata tidak lelah untuk bertarung dengannya. Termasuk Richarlison.

Begitu juga dengan Montiel. Dia bahkan tidak perlu istirahat untuk menghadapi gempuran pemain lini sayap Brasil yang mengalami penyegaran di babak kedua. Keberadaan Vinicius Jr. dan Emerson harus mentah karena Montiel belum menyerah untuk mempertahankan kedudukan.

Nama terbaik yang bisa dikatakan mampu menjawab pertanyaan tentang siapa yang bisa menetralisir Neymar adalah De Paul. Pemain asal Udinese ini ternyata berhasil menjaga lini tengah Argentina untuk tidak terlalu porak-poranda akibat keterampilan Neymar.

Kemudian, dalam hal nonteknis, Otamendi dan Di Maria bisa dikatakan berhasil "memperhalus" daya juang rekan-rekannya. Otamendi bisa memancing emosi lawan, sedangkan Di Maria bisa menjadi pembeda dalam hal mengeksekusi peluang penting Argentina.

Angel Di Maria menjadi pencetak gol kemenangan Argentina (1-0) di final. Sumber: AFP/Nelson Almeida/via Kompas.com
Angel Di Maria menjadi pencetak gol kemenangan Argentina (1-0) di final. Sumber: AFP/Nelson Almeida/via Kompas.com
Tidak bisa dibayangkan jika yang menerima umpan lambung jauh dari De Paul bukan Di Maria. Mungkin, peluang emas itu belum tentu menjadi gol.

Pemain seperti Lautaro Martinez atau Nicolas Gonzalez yang kali ini dicadangkan, bisa saja menyia-nyiakan peluang berhadapan langsung dengan Ederson Moraes. Artinya, sebagus-bagusnya pemain, pengalaman biasanya menjadi kunci yang dapat membedakan penyelesaiannya.

Lalu di mana Lionel Messi?

Sebenarnya, Messi juga berperan dalam segi nonteknis dan teknis. Namun, porsinya cenderung seperti kartu As yang baru akan muncul di momen-momen tertentu saja.

Dia juga tahu kapan harus membantu rekannya untuk bertahan, dan kapan harus menguasai bola saat menyerang. Sekalipun dia seperti Neymar yang bisa menarik perhatian lawan, namun Messi cenderung muncul bersama rekan-rekannya.

Tidak seperti Neymar yang kurang mendapatkan dukungan secara konstan dari rekannya. Tite sebenarnya menyiapkan Richarlison dan Everton untuk mendukung Neymar.

Tetapi, Richarlison yang diharapkan dapat meringankan beban Neymar cenderung timbul-tenggelam performanya. Begitu juga dengan Everton yang cenderung seperti terlambat panas.

Ini yang berbeda dengan Messi yang mempunyai beberapa pemain yang bisa dikatakan konstan membantu pergerakannya di babak pertama maupun babak kedua. Ada Di Maria dan De Paul yang bisa dikatakan mampu mengimbangi visi bermain Messi.

Ketika Di Maria ditarik keluar, De Paul bisa dikatakan masih mampu membantu transisi permainan Argentina. Bahkan, hingga menit-menit kritis di babak kedua.

Beruntungnya, Scaloni juga memasukkan pemain-pemain tepat seperti Guido Rodriguez untuk menggantikan Paredes, Nicolas Tagliafico yang menggantikan Giovani Lo Celso, dan Exequiel Palacios menggantikan Di Maria.

Tiga pemain ini bisa mengimbangi determinasi De Paul, terutama dalam bertahan. Itu membuat De Paul kemudian seperti bergeser sedikit di depan bersama Acuna. Dua pemain ini yang kemudian berupaya mempertahankan determinasi dan mencoba selalu berada di sekitar Messi ketika menyerang.

Apa yang dilakukan Scaloni membuat pergantian pemain yang dilakukan Tite seperti tidak berjalan dengan baik. Padahal, taktik Tite untuk Brasil yang memburu gol penyama kedudukan tidak salah.

Hanya saja, taktiknya sudah terbaca, karena memang ketika situasi sudah sangat genting, pemain yang bisa diandalkan adalah Neymar. Ketika hal itu terjadi, para pemain Argentina sudah siap.

Mereka secara bergantian mengawal Neymar dan mengambil risiko untuk melakukan pelanggaran dan menerima kartu kuning. Inilah yang akhirnya membuat Argentina bisa meredam Brasil.

Mereka tidak malu untuk bermain bertahan, karena memang lawannya sebenarnya punya kualitas tinggi dalam menyerang. Brasil sebenarnya tidak kehilangan ketajaman. Tetapi, mereka gagal menguasai permainan, secara imbang antara teknis dan nonteknis.

Itu mungkin terjadi, karena Brasil kurang mendapatkan tantangan besar sedari awal seperti Argentina di fase grup yang harus langsung menghadapi tiga lawan berat. Chile, Uruguay, dan Paraguay.

Argentina sudah ditempa secara mentalitas sejak awal fase grup Copa America 2021. Sumber: AFP/Evaristo Sa/via Kompas.com
Argentina sudah ditempa secara mentalitas sejak awal fase grup Copa America 2021. Sumber: AFP/Evaristo Sa/via Kompas.com
Berbeda dengan Brasil yang baru mendapatkan perlawanan di laga melawan Kolombia dan Ekuador. Itu pun dengan catatan, Brasil melakukan kesalahan sendiri atau memberikan kesempatan lawan untuk berkembang dan percaya diri, seperti Ekuador.

Mereka pun kemudian terlihat kesulitan menghadapi Chile di perempat final, dan Peru di semifinal. Artinya, tanda-tanda akan tersendatnya langkah Brasil untuk merengkuh trofi juara sudah mulai tercium sejak sebelum final dimulai.

Memang, segalanya bisa terjadi dalam 90 menit yang aktual. Namun, kita terkadang perlu melihat tanda-tanda prapertandingan yang siapa tahu dapat memberikan kunci jawaban terkait siapa yang bisa mencium trofi di final.

Kini, kita bisa melihat Argentina dapat memenangkan sebuah turnamen dan dengan perjuangan semua pemainnya. Salut juga kepada Scaloni yang bisa membangun skuad Argentina dengan pemain-pemain muda.

Sebuah pertanyaan pun muncul. Akankah ini menjadi awal kebangkitan Argentina di pentas sepak bola dunia?

Argentina sukses angkat trofi Copa America 2021. Sumber: REUTERS/Amanda Perobelli/via Okezone.com
Argentina sukses angkat trofi Copa America 2021. Sumber: REUTERS/Amanda Perobelli/via Okezone.com
Malang, 11 Juli 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Kompas.com 1, 2, 3, Okezone.com 1, 2, Football5star.com, Sindonews.com, Bola.com, TheAthletic.com, TheHardtackle.com.
Baca juga: Alasan Argentina dan Brasil Bertemu di Final Copa America 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun