Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerpen | Aku Pulang, Mama!

1 Juni 2019   21:17 Diperbarui: 1 Juni 2019   21:30 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kepulangan anak pada ibunya. (Artstation.com)

Kisah ini hadir dari medan perang yang rumit dan tak kunjung usai. Meski Ramadan semakin di ujung perpisahan. Tapi perang seperti tak mengenal bulan suci. Perang seperti terus bergemuruh demi kepentingan masing-masing. Mereka yang ingin merebut wilayah lumbung gandum ini terus berupaya semakin keras untuk menekan pribumi. Sedangkan para pribumi semakin gencar mencari pertolongan untuk menguatkan barisan pertahanan mereka.

Aku, yang dikirim ke arena pertumpahan darah ini hanya bisa menunggu dan menunggu waktu yang tepat untuk mengakhiri perang di antara mereka. Aku juga sempat berpikir jika perang akan mereda bahkan bisa berakhir ketika Ramadan tiba. Namun, ternyata hal itu tak terjadi. Bahkan, kian menguat saja dentuman meriam yang mereka saling lontarkan untuk melukai dan menghancurkan barikade pertahanan masing-masing. Termasuk daerahku.

Beruntungnya, aku dan pasukan perdamaian ini masih dapat menyelamatkan diri. Sehingga, tak ada korban jiwa. Hanya kerusakan benteng darurat yang membuat aku dan pasukan harus mencari tempat lain untuk membangun benteng darurat baru. Tentunya benteng itu tidak boleh jauh dari gelanggang adu banteng tersebut.

Pagi sampai sore aku dan pasukan berpatroli secara bergilir termasuk sesekali berupaya mendekat ke arah penyerang pribumi gandum. Namun, usaha kami tak sepenuhnuya menghasilkan perjanjian damai. Bahkan, mereka seringkali sudah mengusir kedatangan kami jauh sebelum sampai ke benteng mereka.

"Jangan pernah kemari jika kalian tak ingin mati di sini! Lebih baik kalian pulang ke negara kalian! Tidak usah ikut campur! Ini urusan kami! Kami ingin meraih hak kami, dan mereka terlalu bebal untuk mengalah. Mereka tidak tahu diri!"

Begitulah kira-kira hasilnya ketika kami sampai di 1 kilometer dari benteng itu. Tidak ada tanggapan yang dapat kami sampaikan sebagai balasan. Bukan karena kami tak berani ataupun tak punya argumentasi. Namun, mereka tidak ingin mendengar apa yang akan kami sampaikan. Sungguh, ini membingungkan! Sebenarnya siapa yang bebal?

Dari sinilah, aku dan pasukan semakin dilema. Pulang tanpa berhasil mendamaikan peperangan itu artinya mangkir dari tugas. Sedangkan bertahan tanpa mampu berbuat banyak, juga membuang-buang waktu. Apalagi ini adalah bulan Ramadan. Kami semua yang memang tidak seluruhnya Islam, tetap ingin pulang. Kembali ke rumah, bertemu dengan orangtua, apalagi dengan belahan hatinya. Kami ingin pulang!

"Apa yang akan kau lakukan, Samuel? Kau tentu tahu jika aku dan beberapa rekan ingin berlebaran di kampung halaman." Suara Abdullah mengejutkanku.
"Iya, aku tahu. Akupun ingin pulang juga. Tapi, kita tidak mendapatkan alternatif dari atasan. Sedangkan mereka seperti nyamuk yang terus mendengung dan menghisap darah tanpa pernah ingin berhenti sendiri. Mereka..." mendadak aku tak sanggup meneruskan perkataanku. Sedangkan Abdullah sudah berupaya memperhatikan apa yang akan aku katakan. "Apa yang ada di dalam kepalamu Sam?"

"Mereka harus dihentikan seperti nyamuk yang harus ditepuk sampai mati."
Abdullah kebingungan dalam menanggapi pernyataanku. Dia menanyakan maksudku, dan aku menjawabnya dengan mengatakan bahwa esok tak ada lagi rasa takut. Esok adalah kunci untuk pulang. Aku beranjak dan meninggalkan Abdullah yang hanya bisa terdiam. Dia sepertinya sedang merenungkan apa misiku.

Hingga keesokan harinya aku dan pasukan bergerak. Nyaris semuanya turun dari benteng. Kami kembali maju. Benteng penyerang pribumi gandum lagi-lagi menjadi tujuan kami. Kali ini kami datang dengan perlengkapan yang maksimal. Kami memiliki dua rencana. Rencana pertama adalah jalur diplomasi. Rencana kedua adalah penyerangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun