Kami menyiapkan keduanya dengan perhitungan yang masak tanpa membuka kemungkinan kegagalan karena aku yakin rencana pertama akan berhasil. Namun, Abdullah tetap memintaku untuk tetap menggerakkan rencana kedua, agar nanti tidak terjebak dan tak mampu mengelak. Aku menyetujuinya, setelah berdebat cukup sengit dengan sosok yang bisa disebut sebagai rekan paling dapat untuk diandalkan. Dia mengandalkanku, dan akupun mengandalkannya.
Aku berpisah dengan pasukan yang dipimpin oleh Abdullah. Aku terus maju lurus ke depan, sedangkan Abdullah menyingkir dari jalur itu. Aku berharap misi kali ini berhasil agar aku bisa pulang, juga teman-temanku.
Aku cukup terkejut dengan penghadangan yang mereka lakukan kali ini. Bukan karena apa yang akan mereka katakan, tapi jarak penghadangannya yang semakin jauh dari benteng pertahanan mereka. Itulah yang kukhawatirkan. Tiga kilometer! Ini bahaya, mereka sudah menggerus wilayah pribumi gandum. Artinya, tak akan ada jawaban diplomatis untukku kali ini (lagi).
"Apa kalian tuli? Mengapa masih kemari?"
"Aku ingin bertemu komandan!"
"Hah? Apa aku tak salah dengar?!"
"Aku ingin bertemu komandan kalian!"
"Apa maumu?"
"Ada pesan untuk komandanmu!"
"Gila! Kau sudah nekad!"
"Ini jalur diplomasi. Bukan perang!"