Mohon tunggu...
Firda Putri Astuti
Firda Putri Astuti Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Life-long learner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Ingin Pulang

12 Maret 2024   20:34 Diperbarui: 12 Maret 2024   20:39 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di bawah awan kelabu, langkahku tiba di tempat yang kutuju. Cuaca sendu hari ini tidak menyurutkan semangatku melangkahkan kaki menuju kantor pusat seni dan kebudayaan Kota Bonn demi membeli tiket konser Jakarta Concert Orchestra bertajuk "Indonesia Pusaka" yang akan digelar esok malam di The Beethovenhalle.

Bangunan kantor ini berwarna merah bata, gerbangnya megah, bersepuhkan cat warna emas. Di mataku, tembok tinggi yang menyelubungi bangunan klasik tersebut masih terlihat sama suramnya. Mengingatkanku kepada tangsi serdadu, tempat dahulu aku menghabiskan malam-malam gelap yang sarat oleh ketakutan. Gedung kuno yang kini beralih fungsi menjadi kantor pusat seni dan kebudayaan Kota Bonn tersebut ialah bekas barak pengungsian bagi orang-orang yang kebingungan mencari suaka pada tahun 1960-an. Masa suram itu telah lama usai, tetapi keringat dingin kerap membasahi pelipis kala aku berdiri di depan andang gerbang ini. Terlintas di benakku peristiwa tahun 1965 silam, di mana tahun itu merupakan titimangsa dari Indonesia pra-1965 yang anti-kolonial menjadi bangsa yang jatuh dalam rezim militerisme.

*****

Berkaca pada masa lalu, aku bersama rekan Mahid (Mahasiswa Ikatan Dinas) lainnya diutus oleh bapak presiden untuk mendulang ilmu di Republik Ceko. Harapannya begitu studi selesai, kami dapat pulang ke tanah air dan berkontribusi  membangun Indonesia dengan bekal ilmu diperoleh susah payah. Begitulah insan muda belia para pelajar Mahid, maklum jika tenaga dan pemikiran idealis masih mengalir kental dalam darah kami. Ah, segalanya berjalan sempurna waktu itu. Suatu ketika, di Bulan September yang mencekam, aku dihadapkan pada situasi yang tiada pernah terbayangkan sebelumnya. Kami semua dipanggil oleh KBRI. Adapun maksud dari pemanggilan tersebut adalah, kami diharuskan menandatangi suatu dokumen dan memilih satu diantara 2 pilihan yang mereka ajukan. Memilih untuk tunduk di bawah rezim pemerintahan baru atau tetap bersetia kepada Sukarno.

Walaupun bukan pemuja Sukarno apalagi menyebut diri sebagai bagian dari partai merah, mana mungkin aku berkhianat kepada pemimpin yang telah melapangkan jalan lewat studi di luar negeri demi menyongsong nasib kami yang lebih baik. Akibat desakan berbagai pihak dan situasi politik yang gamang, aku menolak memilih pilihan pertama dan tanpa disangka aku telah memilih maut. Walhasil kedutaan besar Indonesia seketika membekukan pasporku, semua dokumen kewarganegaraanku dicabut dan berakhir hidup terkatung-katung di negeri asing. Beberapa rekan sejawat juga berpencar menyelamatkan dirinya masing-masing mencari negeri peraduan yang sekiranya mampu menjamin keberlangsungan hidup mereka.

Tanpa dokumen tertulis dan berbekal uang seadanya, aku nekat bertolak ke Bonn, ibukota Berlin Barat kala itu. Pada masa pelarian tersebut, aku bertemu dengan sejumlah pengungsi dari Berlin Timur yang mempunyai alasan lebih prinsipil, yakni merasa tertindas oleh tanggapan jiwa ketuhanannya. Lain halnya denganku, yang datang ke sini demi mendapatkan asylum, sebab pasporku dirampas penguasa baru yang tanahnya telah kutinggalkan. Mengantongi status sebagai pengungsi, kami semua diperiksa oleh tentara serikat sebelum laporan diteruskan kepada pemerintahan Berlin Barat. Selama melewati tahapan-tahapan itu, para pengungsi ditempatkan pada gedung-gedung penampung serta tangsi-tangsi serdadu berminggu-minggu lamanya.

Sepanjang malam, ratusan manusia dari berbagai latar konflik tidur saling berdesakan di barak ini. Kami tak lebih dari seonggok daging tak bernyawa. Hampa dan resah menemani setiap gelap yang tak kunjung fajar. Makanan hanya diberikan dua kali sehari dengan menu sekepal roti gandum tak layak konsumsi. Kerap di antaranya melawan kegelisahan dengan cara mengutuki diri atau membenturkan kepala ke dinding. Kadang sesama pengungsi saling berkelahi seperti hendak saling bunuh membunuh. Saban hari, aku hanya ditemani bayang-bayang kosong yang dihimpit  4 tembok bersama dengan sebagian pengungsi yang mulai kehilangan kewarasannya.

Semementara itu, waktu terus menggilas kekuatan raga dan psikis kami laksana dihantui bayang-bayang ajal. Kondisi ini berlangsung sampai 6 minggu lamanya. Hingga suatu pagi, kami dipecah menjadi beberapa kelompok untuk ditempatkan pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan. Aku sendiri dikirim kepada keluarga yang rumahnya tak jauh dari Kota Bonn, di mana aku harus tinggal bersama mereka dalam kurun waktu tertentu demi menormalisir kehidupanku dalam suasana kehidupan di Berlin Barat, sebelum aku dinyatakan layak untuk mampu hidup sendiri. Tidak mengherankan apabila orang yang pernah berdiam diri di tangsi itu bagaikan terpenjara. Dalam hati kecilnya mereka akan selalu bertanya: "kapankah aku dapat hidup sebagai manusia yang layak?"

Memasuki abad 21, duka nestapa itu masih bergelayut di hatiku, terlebih kalau melihat keadaan Kota Bonn kini betul-betul berubah total. Di sepanjang barisan kantor pusat kebudayaan ini berdirilah bangunan-bangunan mentereng, lalu lintas bersimpang siur lengkap dengan mobil-mobil saling berjejal entah hendak ke mana, toko-toko yang memajang dagangannya serta hingar bingar yang mengelilinginya. Meskipun lambang merah putih telah lama tanggal dari statusku dan jiwa para pengungsi ikut hancur digempur perang, tapi tekad sekeras baja untuk bertahan di atas tanah Berlin ini tak lekas padam. Aku buktikan dengan giat bekerja dan belajar apa saja, mulai dari bekerja di pabrik sepatu, buruh cuci di sebuah restoran, hingga mengajar bahasa di beberapa tempat.

Seiring waktu bergulir, gedung-gedung baru menjulang tinggi di mana-mana, mesin-mesin pabrik modern mulai beroperasi dan nilai mata uang terus membumbung naik. Namun, di antara tahun-tahun itu, kerinduan kepada tanah air acap kali membuat hatiku gentar. Sambil menyandang dosa aku hanya bersenjatakan doa-doa, mencari sendiri rumahku yang hilang dan hidup sebatas pengembaraan fana.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun