Mohon tunggu...
Deby
Deby Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional

Saya adalah seorang mahasiswa Hubungan Internasional di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Intoleransi dan Diskriminasi Gender di India

28 Juli 2022   15:30 Diperbarui: 28 Juli 2022   15:31 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: https://www.europarl.europa.eu/news/el/headlines/world/20130111STO05287/bia-kata-ton-gunaikon-sten-india-epikaire-suzetese-sto-ek

Isu intoleransi dan diskirminasi berbasis gender terutama pada perempuan dan anak tersebar luas di dunia. India merupakan salah satu negara dengan presentase terbanyak. Sebuah survei oleh Thomas Reuters Foundation menemukan bahwa India adalah negara paling berbahaya keempat di dunia bagi perempuan. Banyak kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Kejahatan bisa dalam bentuk melempar cairan asam, kekerasan, pelecehan, diskriminasi, pemerkosaan hingga pembunuhan. Ini juga termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual di tempat kerja. Dana Kependudukan PBB melaporkan bahwa hingga 70% wanita menikah berusia 15-49 tahun di India menjadi korban pemukulan atau pemaksaan seks.


INTOLERANSI
Intoleransi merupakan orientasi negatif atau penolakan seseorong terhadap hak-hak politik dan sosial dari kelompok yang tidak disetujui. Menurut Bobbio (1997: 61), intoleransi juga dapat menjadi sebuah keutamaan politis. Dalam arti positif ini intoleransi adalah sikap tegas, konsekuen, atau taat asas. Yang dibutuhkan dalam demokrasi adalah toleransi dalam arti positif. Hanya perlu diingat bahwa toleransi dalam arti positif itu hanya dapat dijamin oleh sebuah pemerintahan yang mempraktikkan intoleransi dalam arti positif. Sikap tegas, konsekuen, dan taat asas dibutuhkan untuk melindungi masyarakat madani (civil society) dari teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang intoleran dalam arti negatif. Montesquieu (2012) sudah mengingatkan bahwa demokrasi merosot karena kegagalan negara dalam menjamin keamanan publik. Apabila kebebasan lebih dirasa sebagai ancaman daripada kenikmatan, masyarakat pun mulai menaruh simpati pada tiran-tiran kecil dan bersedia menukar kebebasan dengan keamanan.

Dalam demokrasi, kebebasan hanya berarti untuk rakyat jika negara dan civil society gigih menghalau para musuh kebebasan. Semua negara maju tahu bahwa demokrasi tidak dapat dijalankan oleh sebuah pemerintahan yang lemah terhadap para musuh toleransi. John Rawls (1971) dalam A Theory of Justice berpendapat bahwa toleransi adalah bagian dari sistem keadilan untuk semua orang yang mau hidup bersama secara damai dalam masyarakat majemuk. Asas keadilan sebagai fairness dilanggar jika suatu kelompok yang intoleran de facto diberi toleransi untuk aksi-aksi kekerasannya. Menurutnya, kelompok intoleran ini bahkan tidak memiliki hak untuk berkeberatan atas sikap tegas negara terhadapnya.


INTOLERANSI DAN DISKIRMINASI GENDER
Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan di seluruh dunia. Hal ini adalah fakta meskipun ada kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di negara dunia ketiga di mana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik terjadi di mana-mana. Perempuan dan anak perempuan menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi, namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan semua orang. Oleh sebab itu, kesetaraan gender merupakan persoalan pokok suatu tujuan pembangunan yang memiliki nilai tersendiri.


KONSEP GENDER
Konsep gender dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana individu yang lahir secara biologis (laki-laki dan perempuan) yang kemudian memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan perempuan melalui atribut-atribut maskulinitas dan feminitas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem dan simbol di masyarakat yang bersangkutan. Singkatnya, gender dapat diartikan sebagai suatu konstruksi sosial atas seks menjadi peran dan perilaku sosial. Istilah gender seringkali tumpang tindih dengan seks (jenis kelamin), padahal dua kata itu merujuk pada bentuk yang berbeda. Seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Contohnya jelas terlihat, seperti laki-laki memiliki penis, scrotum, memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, memproduksi sel telur. Alat-alat biologis tersebut tidak dapat dipertukarkan sehingga sering dikatakan sebagai kodrat atau ketentuan dari Tuhan (nature).

Sedangkan konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, laki-laki itu kuat, rasional, perkasa. Perempuan itu lembut, lebih berperasaan, dan keibuan. Ciri-ciri tersebut sebenarnya bisa dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang lembut dan lebih berperasaan. Demikian juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ini dapat terjadi dari waktu ke waktu dan bisa berbeda di masing-masing tempat.

Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya adalah bentukan masyarakat melalui konstruksi sosial budaya, sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena itu aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang banyak dianut masyarakat sosialis komunis yang menghilangkan strata penduduk (egalitarian). Paham sosial konflik memperjuangkan kesamaan proporsional (perfect equality) dalam segala aktivitas masyarakat seperti di Presiden, Militer, Menteri, Gubernur, Pilot dan pimpinan partai politik.

Adanya perbedaan perempuan dan laki-laki dalam teori nurture adalah kodrati, sehingga harus diterima apa adanya. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada tugas yang memang berbeda dan tidak dapat dipertukarkan secara kodrat alamiahnya. Dalam proses pengembangannya banyak kaum perempuan sadar terhadap beberapa kelemahan teori nurture di atas. Pendekatan nurture dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat.

Perbedaan biologis diyakini memiliki pengaruh pada peran yang bersifat naluri (instinct). Perjuangan kelas tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan karena manusia memerlukan kemitraan dan kerjasama secara strukturaal dan fungsional. Manusia baik perempuan maupun laki-laki memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam kehidupan sosial ada pembagian tugas (division labor) begitupula dalam kehidupan keluarga. Harus ada kesepakatan antara suami istri, siapa yang menjadi kepala keluarga dan siapa yang menjadi ibu rumah tangga. Dalam organisasi sosial juga dikenal ada pimpinan dan ada bawahan (anggota) yang masing-masing mempunyai tugas, fungsi dan kewajiban yang berbeda dalam mencapai tugas, fungsi dan kewajiban yang berbeda dalam mencapai tujuan.

Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi kesenjangan dan ketimpangan atau tidak adil akibat dari sistem struktur sosial dimana baik perempuan dan laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradapan manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja tetapi juga dialami oleh laki-laki. Meskipun secara keseluruhan ketidakadilan gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh kaum perempuan.

Keberadaan public trust juga dinilai menekankan pada sebuah peran gender menjadi sebab persoalan kesenjangan. Masih melekat di masyarakat bahwa peran laki-laki untuk tidak boleh mengambil peran perempuan, begitu sebaliknya. Kesenjangan peran disebabkan karena permasalahan gender seperti marginalisasi, subordinasi, labelisasi, diskriminasi dan kekerasan yang ada di masyarakat.

ISU GENDER DI INDIA
India merupakan negara dengan meleburnya berbagai budaya dan agama; dengan masuknya orang-orang dari seluruh dunia secara terus menerus, masyarakat tetap dalam perubahan dan kemajuan yang konstan. Munculnya Inggris pada abad ke-15 di India menandai perubahan mendasar dalam kehidupan dan perilaku masyarakat. Perubahan ini juga membawa perubahan besar pada sistem hukum India. Masyarakat India yang telah mengalami perubahan drastis sejak zaman Weda, telah membatasi beberapa hak perempuan dan membatasi partisipasi perempuan dalam kehidupan publik. Beberapa perubahan dalam masyarakat yang utama adalah dalam sistem hukum India dan dalam mempersatukan India sebagai satu bangsa dengan satu hukum. Proses memperkenalkan hukum progresif di British India dimulai pada tahun 1829 ketika Gubernur Jenderal India William Bentick menghapus praktik jahat Sati. Meskipun diberlakukan undang-undang yang ketat di India, status perempuan tidak banyak berubah di wilayah pedesaan. Konsep kesetaraan masih dalam tahap awal di bidang-bidang ini, dengan perempuan dianggap sebagai milik keluarga dan kehormatan mereka. Pola pikir ini telah menyebabkan pembunuhan beberapa perempuan atas nama kehormatan keluarga dan telah menghancurkan beberapa keluarga. Kejahatan dan diskriminasi berbasis gender lazim tidak hanya di dusun-dusun di India tetapi di seluruh pelosok India.

Kesetaraan gender selalu menjadi konsep yang sulit dipahami dalam sejarah, diinjak-injak dengan rintangan dari pemikiran sempit masyarakat yang mengambil kesenangan yang sangat besar dalam menekan hak-hak perempuan, bahkan badan peradilan tetap mengabaikan hak-hak perempuan. Dalam Bradwell v. State of Illinois Hakim Bradley dari Mahkamah Agung AS berkata, “Sifat takut-takut dan kehalusan yang wajar dan yang dimiliki oleh jenis kelamin perempuan ternyata tidak cocok untuk banyak pekerjaan dalam kehidupan sipil. Nasib dan misi permanen seorang perempuan adalah memenuhi tugas istri dan ibu yang mulia dan ramah. Pada awal tahun 1908, Mahkamah Agung AS, dalam Muller v. Oregon, menyadari pentingnya peran perempuan dalam kehidupan sosial dan dinyatakan “Bahwa struktur fisik perempuan dan kinerja fungsi keibuan menempatkannya di kerugian untuk penghidupan sudah jelas". Sejarah mengungkap fakta bahwa perempuan selalu bergantung pada pria. Kesetaraan bagi perempuan diakui di India sejak tahun 1925, The Commonwealth of India Bill, 1925, dalam klausul 7 menuntut kesetaraan di depan hukum dan dengan ketentuan bahwa "tidak ada diskualifikasi atau disabilitas atas dasar hanya jenis kelamin", bersama dengan ketentuan bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk menggunakan "jalan, pengadilan, dan semua tempat bisnis atau resor yang didedikasikan untuk umum". Dua dari putusan yang paling menonjol dari kasus Mahkamah Agung Sabarimala dan kasus Tiga Talaq telah mengakhiri praktik pembatasan hak-hak perempuan berusia seabad, pengadilan mengakui adat istiadat dalam definisi 'hukum' sesuai Pasal 13 (3) (a) dari Konstitusi tetapi menyatakan praktik tersebut batal sesuai Pasal 13 (1), yang ditemukan melanggar Hak-Hak Fundamental.

Berdasarkan dari laporan Indeks Ketidaksetaraan Gender (GII) yang dipaparkan oleh UNDP di tahun 2018, India menempati urutan ke 122 dimana 11.7% bangku pemerintahan ditempati oleh perempuan. Hal tersebut jauh lebih rendah daripada Bangladesh yang berada di angka 20.3%. Dari tahun 2010 hingga 2018 jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah atas hanya 39%, jauh berbeda dengan jumlah laki-laki yakni di angka 63.5%. Begitu pula dengan tingkat partisipasi dalam menjadi tenaga kerja, perempuan sebanyak 23.6% dimana laki-laki mencapai 78.6%. Angka-angka tersebut jelas memperlihatkan adanya kesenjangan antara perempuan dengan laki-laki di berbagai sektor.

Kasus kesetaraan gender menyebar di berbagai sektor mulai dari di sektor pendidikan, tempat kerja, hingga partisipasi politik di luar atau di dalam pemerintahan. Contoh yang sering kali terjadi pada perempuan di tempat kerja adalah jumlah perempuan yang tidak dibayar lebih banyak dibandingkan laki-laki. Tingkat kemampuan literasi perempuan dari tahun 2001 hingga 2011 juga tidak terlalu signifikan perkembangannya. Padahal kemampuan literasi merupakan bekal utama seseorang untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut kemudian berdampak kepada rendahnya angka representasi perempuan di dalam kursi pemerintahan di India.

Adanya gender gap pada pengenyam pendidikan di India yang dimana masih didominasi oleh laki-laki menyebabkan diskriminasi terhadap perempuan terjadi di tempat kerja dan kurangnya partisipasi politik dari perempuan. Perempuan tidak memiliki pengetahuan maupun edukasi yang lebih tinggi dibanding laki-laki sehingga apabila terjadi diskriminasi seperti di tempat kerja, perempuan tidak dapat melakukan perlawanan karena rendah pengetahuan yang dimiliki. Karena kurangnya pendidikan pun menyebabkan perempuan sulit untuk duduk di bangku pemerintahan dan ikut andil secara langsung dalam pemutusan suatu kebijakan. Oleh karena itu, kebanyakan kebijakan yang dihasilkan akan menguntungkan laki-laki karena sudut pandangnya hanya dari laki-laki sehingga semakin memperpanjang budaya partriarki yang ada disamping itu semakin massif pula diskriminasi serta gender gap yang terjadi antara laki-laki dengan perempuan (Krishnaveni, 2017).

Budaya, kultur, serta nilai yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat India juga dapat menjadi salah satu penyebab ketidaksetaraan gender di India tetap bertahan lama hingga zaman modern ini. Konstruksi sosial yang menyatakan bahwa setiap tugas, fungsi, peran, dan nilai-nilai yang berasal dari laki-laki dinilai lebih baik dan menguntungkan daripada yang berasal dari perempuan. Ada pula keyakinan terkait dengan pembagian divisi pekerjaan antara laki-laki dan perempuan dimana aktivitas di dalam rumah seperti mengurusi keluarga, memasak, mencuci, dan sebagainya. Sedangkan laki-laki melakukan aktivitas yang di luar rumah misalnya seperti berpartisipasi dalam dunia politik. Hal tersebut menyebabkan berkembangnya hirarki dan pemikiran di berbagai kawasan India bahwasanya laki-laki berada pada nomor satu, sedangkan perempuan di nomor dua (Kassa, 2015). Padahal sebagai negara demokrasi seharusnya perempuan juga memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki mengenai partisipasinya dalam perpolitikan. Dengan adanya partisipasi politik yang aktif dan massif dari perempuan di India, akan meningkatkan kualitas demokrasi di India dan dapat memberikan insight baru untuk kebijakan-kebijakan yang akan dibuat nantinya. Partisipasi perempuan dalam bidang politik di negara demokrasi sangatlah penting. Tidak hanya sebagai pihak yang mendapatkan suara saat pemilihan melainkan juga partisipasi sebagai pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan dalam pemerintahan secara langsung. Hal tersebut menjadi penting karena tidak ada pihak lain yang akan menyuarakan hak-hak perempuan yang terdiskriminasi apabila bukan dari para perempuan itu sendiri. Dampak utama yang akan terjadi apabila partisipasi politik dari perempuan masih minim adalah ketidaksetaraan gender serta isu-isu diskriminasi terhadap perempuan pun akan tetap kerap terjadi.

Isu kesetaraan gender yang disuarakan oleh para feminist ini bukan berarti antara laki-laki dan perempuan menjadi sama tetapi lebih kepada memberikan kesadaran bahwasanya para perempuan juga memiliki hak-hak untuk berpendapat, hak untuk memilih sesuatu, hak untuk mengenyam pendidikan, dan lain-lain. Tanpa ada kesadaran tersebut, perempuan akan selalu menjadi pihak yang dirugikan tidak hanya di sektor umum seperti tempat kerja dan pemerintahan melainkan juga di sektor-sektor privat seperti rumah tangga. Adanya kesetaraan gender juga merupakan suatu bentuk sistem demokrasi untuk berjalan dengan lancar sehingga dapat menciptakan suatu tata kelola yang baik.

Di dalam karakteristik utama good governance terdapat poin partisipasi yang dimana partisipasi dari laki-laki dan perempuan merupakan kunci utama untuk menciptakan suatu tata kelola yang baik. Dalam tata kelola yang baik menyebutkan bahwa setiap pihak harus berpartisipasi aktif sehingga pemerintah dapat mengeluarkan suatu kebijakan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya dan masyarakat pun mendapatkan hak mereka (Bundschuh Rieseneder, 2008).

Pelecehan atau pemerkosaan adalah kasus yang sering terjadi bagi kaum perempuan di India. Pada 14 September 2020, seorang perempuan berusia 19 tahun dari kasta Dalit di Negara Bagian Uttar Pradesh, India Utara meninggal dunia. Berdasarkan keterangan pihak berwenang setempat, perempuan itu sebelumnya diduga menjadi korban pemerkosaan ramai-ramai oleh para pria dari kasta atas. Keempat pria tersebut berasal dari kasta atas dan juga telah didakwa berdasarkan hukum karena kejahatan terhadap minoritas.Dan bukan hanya itu, sebelumnya seorang gadis berusia 13 tahun diperkosa dan dibunuh di tempat itu. Kasus lainnya terkait kasta terjadi pada 2018. Seorang gadis berusia 13 tahun dari kasta yang lebih rendah dipenggal kepalanya. Penyerang diduga berasal dari kasta yang lebih tinggi. Sistem kasta sendiri sebenarnya sudah dihapus di India pada 1950, namun masih ada saja yang menerapkannya di beberapa aspek kehidupan.

Menurut Biro Catatan Kejahatan Nasional India, lebih dari 33.000 kasus dugaan pemerkosaan dilaporkan sejak 2018, dengan kata lain kira-kira 91 kasus setiap harinya. Bukan hanya itu saja, perempuan dan anak perempuan di semua negara di Asia Pasifik berisiko mengalami pelanggaran serius terhadap hak asasi mereka, seperti kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Peran, sikap dan stereotipe yang kuat juga berarti bahwa banyak orang mengalami kemiskinan, diskriminasi dan akses yang tidak setara ke layanan kesehatan dan sistem pendidikan dan peradilan. Lembaga HAM nasional (NHRI) di kawasan Asia Pasifik telah berkomitmen untuk mengambil langkah konkrit untuk memajukan kesetaraan gender serta memajukan dan melindungi HAM perempuan dan anak perempuan di negaranya masing-masing. Tindakan praktis yang dapat dilakukan oleh NHRI untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak perempuan. Peluang untuk terlibat dengan mekanisme hak asasi manusia internasional dan regional isu-isu khusus yang menjadi fokus, termasuk hak reproduksi; kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan; dan hak-hak pekerja rumah tangga migran perempuan. Mengintegrasikan fokus pada kesetaraan gender ke dalam pekerjaan dan operasi NHRI.

Perempuan India dalam Dunia Politik
Berdasarkan survei Pew Research Center menujukkan bahwa lebih dari satu dari setiap dua orang India mengatakan bahwa "perempuan dan laki-laki menjadi pemimpin politik yang sama baiknya" dan lebih dari satu dari setiap sepuluh orang percaya bahwa perempuan pada umumnya menjadi pemimpin politik yang lebih baik daripada laki-laki. Survei dilakukan terhadap 3.000 responden orang dewasa di seluruh negeri bertujuan untuk mengetahui sikap orang India terhadap peran gender. India memiliki politisi perempuan mumpuni dengan beberapa dari mereka berhasil naik ke posisi politik teratas secara nasional dan regional, termasuk presiden dan perdana menteri.

Indira Gandhi misalnya, perdana menteri perempuan pertama dan satu-satunya di India adalah tokoh politik yang dominan di negara itu dari tahun 1966 hingga 1984. Namun, meski penelitian menunjukkan penerimaan publik yang luas terhadap politisi perempuan, partisipasi politik perempuan tetap rendah. Menurut laporan tahun 2020 oleh Association of Democratic Reforms (ADR) dan National Election Watch (NEW), kurang dari sepersepuluh dari lebih dari 50.000 kandidat yang mengikuti pemilihan federal dan negara bagian adalah perempuan.

India pun merosot 28 posisi ke peringkat 140 di antara 156 negara dalam Laporan Kesenjangan Gender Global Forum Ekonomi Dunia pada tahun 2021 menjadi negara Asia Selatan ketiga terendah. Sebagian besar penurunan terjadi di bidang pemberdayaan politik, di mana India mengalami kemunduran yang signifikan dengan penurunan jumlah menteri perempuan dalam beberapa tahun terakhir — dari 23,1% pada tahun 2019 menjadi 9,1% pada 2021.

"Politik sering dilihat sebagai domain laki-laki, dan perempuan dilarang memasukinya dengan dalih bahwa itu bukan profesi perempuan,” kata Jayakumari Devika, seorang aktivis hak-hak perempuan dan kritikus sosial dari negara bagian Kerala di India Selatan. Dia menambahkan bahwa perempuan, sebagian besar waktu, ditunjuk menjalankan peran yang membutuhkan "perhatian dan kasih sayang”. Devika menjelaskan bahwa orang-orang yang berpandangan seperti itu tidak memperhitungkan pengalaman ratusan perempuan yang mampu memimpin kehidupan politik publik dengan memimpin kelompok swadaya, organisasi masyarakat sipil, dan organisasi non-pemerintah. Lebih lanjut, bukan hanya bias sosial terhadap perempuan yang menjadi hambatan bagi politisi perempuan.

A Priyadarshini (21), anggota dewan termuda yang terpilih untuk kota Chennai di negara bagian Tamil Nadu, mengatakan bahwa selain bias gender, perempuan muda menghadapi hambatan infrastruktur yang parah untuk memasuki dunia politik. "Ini termasuk kurangnya toilet bersih dan akomodasi yang aman selama kerja lapangan. Misalnya, ketika kami melakukan survei politik, kami memiliki jumlah relawan perempuan dan laki-laki yang sama. Tetapi banyak relawan perempuan berjuang untuk menemukan toilet dan kamar mandi bersih ketika mereka bepergian”. Priyadarshini menekankan bahwa banyak kandidat perempuan sering dibuat untuk ikut serta dalam pemilihan sebagai "senama" untuk suami mereka.

Merujuk pada jajak pendapat badan pemilu lokal tahun 2021 di Tamil Nadu di mana dia mencalonkan diri, politisi muda itu mengatakan: "Ini adalah badan lokal pertama yang diadakan di negara bagian itu setelah kuota 50% diumumkan untuk perempuan. Begitu banyak politisi laki-laki yang membuat istri mereka bersaing di tempat mereka”. Dia menggarisbawahi bahwa pemesanan kursi untuk perempuan tidak ada artinya jika perempuan diperlakukan sebagai "boneka" oleh anggota keluarga laki-laki mereka.

Sebuah RUU untuk menyediakan sepertiga dari semua kursi di legislatif nasional dan negara bagian untuk perempuan telah terhenti di parlemen India selama hampir tiga dekade. Padmini Swaminathan, mantan direktur Madras Institute of Developmental Studies (MIDS), berpendapat bahwa tindakan afirmatif yang mendorong partisipasi perempuan dalam pembuatan undang-undang sangat penting untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik. "Seorang perempuan mungkin terpilih untuk pertama kalinya karena dia berasal dari keluarga dengan latar belakang politik. Tapi nanti, dia harus turun ke lapangan," katanya, seraya menambahkan bahwa setelah penempatan diperkenalkan di badan-badan lokal, banyak organisasi masyarakat sipil maju untuk melatih perempuan pedesaan tentang pemerintahan dan administrasi lokal. Swaminathan menekankan bahwa perempuan yang ingin ikut serta dalam pemilihan seringkali tidak diberi kesempatan. "Jika mereka tidak diberikan tiket partai, bagaimana mereka memiliki sumber daya untuk bertarung sebagai calon independen?" katanya seraya menambahkan bahwa bahkan perempuan yang memenangkan pemilihan sering tidak diberikan kekuatan pengambilan keputusan atau jabatan kabinet yang berpengaruh. "Laki-laki dalam politik masih tidak mau menerima perintah dari perempuan," katanya.

Tara Krishnaswamy, salah satu pendiri Shakti, sebuah kelompok perempuan non-partisan, mengatakan bahwa tampaknya ada kontradiksi dalam cara orang India memandang perempuan dalam peran publik dan domestik. Dia juga mencatat bahwa hasil survei Pew tidak dapat ditelan mentah-mentah begitu saja. "Survei akan lebih bermakna jika ada data tentang perbedaan tanggapan antara laki-laki dan perempuan, responden perkotaan dan pedesaan, daerah yang berbeda, dan orang-orang dari kelas ekonomi yang berbeda,” kata Krishnaswamy. Lebih jauh, dia berpendapat bahwa para peneliti telah menggali data dari sumber-sumber pemerintah yang menurutnya tidak dapat diandalkan. "Pemilih cukup progresif di India. Bahkan, menurut saya survei itu mungkin meremehkan jumlah orang yang menganggap perempuan bisa menjadi politisi yang baik," kata Krishnaswamy.

Devika menggarisbawahi bahwa orang tidak boleh menyimpulkan bahwa lebih banyak perempuan dalam politik selalu berarti kebijakan yang lebih baik untuk perempuan. "Ada politisi perempuan senior yang mendorong perempuan untuk tunduk pada suami mereka atau mempromosikan pandangan patriarki di depan umum untuk menghadapi situasi sulit dan tidak kehilangan sekutu mereka. Bukan 'massa kritis' perempuan yang penting dalam politik, tetapi 'tindakan kritis' yang mereka ambil," pungkas Devika.

UPAYA PENANGANAN ISU GENDER DI INDIA
India merupakan salah satu negara unik yang memiliki sistem kasta di dalamnya serta sangat berkaitan dengan tradisi keagamaan. Selain menjadikan India unik, sistem kasta ini juga menjadi alat diskriminasi terutama pada perempuan. Ketidaksetaraan gender di India disebabkan karena adanya budaya patriarki yang didukung dengan tradisi turun-temurun dan sistem kasta. Kaum perempuan India seringkali dianggap sebelah mata. Hal tersebut juga didukung dengan sebuah buku yang berjudul ‘Ein Ungluck ist die Tochter’ atau ‘Sialnya Anak Perempuan’ karya Renate Syed dari Ludwig Maximillian University.

Buku tersebut membahas isu diskriminasi perempuan di India yang sangat tinggi meskipun zaman semakin berkembang ke arah modern. Dengan demikian, hanya laki-laki yang dianggap bijaksana sehingga perempuan harus selalu berada di bawah laki-laki. Selain itu, beberapa budaya di India juga dinilai merendahkan martabat perempuan, yaitu dowry culture yang dilakukan oleh perempuan dengan memberikan mahar kepada laki-laki ketika ingin menikah dan feoticide culture yang melakukan kegiatan aborsi janin perempuan. Kedua budaya tersebut berkaitan erat dengan budaya dan gender.

Akibat dari pola pikir yang bersifat merendahkan, banyak perempuan menjadi korban karena diperlakukan seenaknya yakni dirampas, dieksploitasi, dilanggar hak asasi-nya melalui perilaku tidak terpuji seperti pelecehan seksual dan kekerasan fisik dalam hubungan rumah tangga. Maka keamanan bagi perempuan di India sebagai bentuk perlindungan hak asasi manusia perlu dipertanyakan.

Sistem kasta yang bersifat hierarkis menyengsarakan perempuan India dan justru semakin meningkatkan diskriminasi gender dan kekerasan seksual, terutama kepada perempuan kasta rendah, yaitu kasta Dalit seperti yang tertulis dalam jurnal karya Nancy A dan Manisha Desai yang berjudul Women’s Activism and Globalization: Linking Local Struggles and Transnational Politics. Di lain sisi, kasta juga menjadi tameng untuk berlindung bagi para laki-laki untuk bertindak bebas terhadap perempuan.

Kaum Feminisme percaya bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kesempatan yang sama. Feminis liberal, salah satu aliran dari feminisme, percaya bahwa keterlibatan perempuan dalam pemerintahan yaitu dengan peran dan posisi strategis mampu menjadi solusi dari permasalahan diskriminasi gender karena pemerintah menjadi harapan dalam perubahan total ke arah yang lebih baik dengan nilai kesetaraan.

Feminis liberal percaya bahwa perlindungan terhadap perempuan tidak maksimal karena kurangnya wakil perempuan dalam pemerintahan untuk menyuarakan pendapat mereka. Hal tersebut juga terjadi di India karena kebijakan-kebijakan yang disepakati cenderung bersifat maskulin. Feminis liberal sepakat bahwa diskriminasi gender dan kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

TERPILIHNYA DRAUPADI MURMU MENJADI PRESIDEN WANITA
Draupadi Murmu adalah sosok politikus perempuan dari Partai Bharatiya Janata (BJP), partai berkuasa di India yang berasal dari kelompok etnis minoritas. Murmu berasal dari suku Santhal dari Odisha yang tersebar di beberapa negara bagian di India timur. Sebelum terjun ke dunia politik, ia juga pernah bekerja sebagai guru. Murmu telah menjabat sebagai legislator dua kali dari Partai BJP pada tahun 2000 dan 2009. Pada 2015, Murmu diangkat sebagai gubernur perempuan pertama di negara bagian timur Jharkhand dan menjabat hingga Juli 2021. Kemudian pada Pemilu yang dilaksanakan bulan Juli 2022, Murmu terpilih menjadi Presiden pertama dari salah satu kelompok etnis minoritas dan menjadi Presiden perempuan kedua di India.

Dalam proses pemungutan suara, Murmu berhasil mengalahkan oposisinya, mantan Menteri Keuangan Yashwant Sinha dengan perolehan lebih dari 50% suara. Kemenangan Murmu ini disambut oleh ucapan selamat dari para oposisi dan pendukungnya, termasuk Perdana Menteri India Narendra Modi. “Perjuangannya sejak awal, kinerjanya yang berharga, dan kesuksesannya yang patut dicontoh memotivasi setiap orang India. Dia (Murmu) telah muncul sebagai secercah harapan bagi warga kita, terutama yang miskin, terpinggirkan, dan tertindas,” tulis Modi dalam cuitannya di Twitter. “Rekam jejak kemenangannya merupakan pertanda baik bagi demokrasi kita. Saya yakin dia akan menjadi presiden yang luar biasa yang akan memimpin dari depan dan memperkuat perjalanan pembangunan India,” sambung Modi.

Di India, presiden dipilih oleh sebuah lembaga pemilihan yang terdiri dari anggota parlemen di kedua majelis Parlemen dan anggota terpilih dari majelis-majelis legislatif di semua negara bagian. Sebagian besar peran presiden juga bersifat seremonial, namun posisinya bisa menjadi penting ketika terjadi ketidakpastian politik, seperti ketika tidak adanya partai politik yang memiliki suara mayoritas di parlemen, di mana kantor Presiden mengambil alih kekuasaan yang lebih besar. Presiden dapat memutuskan partai mana yang paling baik membentuk pemerintah federal ketika pemilihan umum tidak meyakinkan. Presiden juga memegang kekuasaan untuk memberikan grasi hukuman mati.

Beberapa pengamat mengatakan, hal ini adalah pemilihan bersejarah dengan pemenang yang berasal dari suku asli minoritas dan juga seorang perempuan di India. Kemenangan Murmu adalah kemenangan aspirasi politik suku dan momen terobosan bagi masyarakat yang telah lama diabaikan dan dieksploitasi di bawah beberapa pemerintahan.

PENUTUP
Toleransi menjadi suatu hal yang penting, salah satunya guna untuk terciptanya kesetaraan gender. Ketiadaan toleransi hanya akan melanggengkan praktek diskriminasi dan justru menambah tantangan dalam mencapai kesetaraan. Dibutuhkan pemahaman yang sama, bahwa keberanekaragaman yang ada seperti suku, etnis, agama, jenis kelamin bahkan sikap politik tidak terbangun untuk memecah-belah suatu bangsa. Isu-isu sosial kemasyarakatan sering terjadi karena adanya perbedaan, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya intoleransi. Oleh karenanya, masyarakat ditantang untuk bisa menciptakan perubahan, baik di tingkat personal maupun lingkungan dengan mengusung nilai-nilai perbedaan yang ada. Setiap orang berhak memaksimalkan potensi dirinya dalam mewujudkan sumber daya manusia yang unggul, cerdas dan berkarakter terlepas dari apapun gender-nya.

Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan dan memerintah secara efektif. Dengan demikian, mempromosikan kesetaraan gender adalah bagian utama dari strategi pembangunan dalam rangka untuk memberdayakan masyarakat baik itu perempuan maupun laki-laki.

Kesetaraan gender di India masih sangat jauh dari kata tercapai. Beberapa hal masih harus menjadi perhatian seperti bagaimana mengurangi angka ketidakadilan pada perempuan dan bagaimana menghapuskan kekerasan pada perempuan. Adanya tradisi-tradisi budaya di India yang telah mengikat sejak berabad-abad lalu menjadi tantangan yang harus dihadapi. Masyarakat India yang masih kental dengan tradisi dan budaya menjadi alasan sulitnya dalam mewujudkan kesetaraan gender. Meskipun banyak hal dari tradisi dan budaya tersebut yang merugikan perempuan, seperti budaya dowry yang mengakibatkan banyaknya bayi perempuan dibunuh namun dianggap tradisi yang wajar.

Diperlukan peran pemerintah dalam peningkatan di bidang pendidikan khususnya dikalangan remaja, yang mana kondisi pemikirannya masih dapat dibentuk untuk memahami betapa pentingnya toleransi dan kesetaraan gender. Melalui pendidikan yang diberikan tersebut diharapkan bisa menghapus tradisi dan budaya yang melenceng atau mendiskriminasi pihak lain. Kemudian, dengan terpilihnya Draupadi Murmu sebagai Presiden peremuan, juga diharapkan di masa yang akan datang India bisa menjadi salah satu negara yang berhasil mencapai kesetaraan gender dan menghapuskan diskriminasi gender yang selama ini terjadi.

REFERENSI:
Jurnal dan Artikel
AK Tedjo, Mohammad Daffa Ramadhan, Dkk. (2021). TANTANGAN BUDAYA DALAM MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER DI INDIA DAN SOLUSINYA. http://dx.doi.org/10.20473/jhi.v14i1.13310

Permataningtyas, Winny. (2021). KORUPSI DAN KETIDAKSETARAAN GENDER SEBAGAI TANTANGAN UTAMA GOOD GOVERNANCE DI INDIA. Jurnal Academia Praja. 4. 134-153. 10.36859/jap.v4i1.252.

Zainal, Eldin H and Hamdani, Muhammad Faisal (2018) Religuisitas, Gender dan Intoleransi (Studi Tentang Radikalisme di Kalangan Perempuan di Kota Medan dan Padang). Lembaga Penelitian Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Sumatera Utara, Medan.

Media Online
Draupadi Murmu, Mantan Guru jadi Presiden India | Asumsi
https://asumsi.co/post/12871/draupadi-murmu-mantan-guru-jadi-presiden-india

Isu Kesetaraan Gender terhadap Perempuan India - Kompasiana.com
https://www.kompasiana.com/winarni77036/5fa0e9bfd541df6e5b1b1ca2/isu-kesetaraan-gender-terhadap-perempuan-india

Kisah Hidup Draupadi Murmu: Cerita Suku Minor Jadi Presiden India (tirto.id)
https://tirto.id/kisah-hidup-draupadi-murmu-cerita-suku-minor-jadi-presiden-india-gumU

Mengapa Hanya Sedikit Perempuan India Terjun ke Politik? – DW – 14.03.2022
https://www.dw.com/id/mengapa-hanya-sedikit-perempuan-india-terjun-ke-politik/a-61117370

Perempuan dari Etnis Minoritas Terpilih Jadi Presiden India – DW – 22.07.2022
https://www.dw.com/id/perempuan-dari-etnis-minoritas-terpilih-jadi-presiden-india/a-62560361

Politikus Perempuan dari Etnis Minoritas Dapat Terpilih Sebagai Presiden India (voaindonesia.com)
https://www.voaindonesia.com/a/politikus-perempuan-dari-etnis-minoritas-dapat-terpilih-sebagai-presiden-india/6664540.html

Upaya Penanganan Diskriminasi Gender di India dalam Perspektif Feminisme | kumparan.com
https://kumparan.com/grace-inka-putri/upaya-penanganan-diskriminasi-gender-di-india-dalam-perspektif-feminisme-1xMKg3icMxY

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun