Mohon tunggu...
Deby
Deby Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional

Saya adalah seorang mahasiswa Hubungan Internasional di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Intoleransi dan Diskriminasi Gender di India

28 Juli 2022   15:30 Diperbarui: 28 Juli 2022   15:31 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: https://www.europarl.europa.eu/news/el/headlines/world/20130111STO05287/bia-kata-ton-gunaikon-sten-india-epikaire-suzetese-sto-ek

Indira Gandhi misalnya, perdana menteri perempuan pertama dan satu-satunya di India adalah tokoh politik yang dominan di negara itu dari tahun 1966 hingga 1984. Namun, meski penelitian menunjukkan penerimaan publik yang luas terhadap politisi perempuan, partisipasi politik perempuan tetap rendah. Menurut laporan tahun 2020 oleh Association of Democratic Reforms (ADR) dan National Election Watch (NEW), kurang dari sepersepuluh dari lebih dari 50.000 kandidat yang mengikuti pemilihan federal dan negara bagian adalah perempuan.

India pun merosot 28 posisi ke peringkat 140 di antara 156 negara dalam Laporan Kesenjangan Gender Global Forum Ekonomi Dunia pada tahun 2021 menjadi negara Asia Selatan ketiga terendah. Sebagian besar penurunan terjadi di bidang pemberdayaan politik, di mana India mengalami kemunduran yang signifikan dengan penurunan jumlah menteri perempuan dalam beberapa tahun terakhir — dari 23,1% pada tahun 2019 menjadi 9,1% pada 2021.

"Politik sering dilihat sebagai domain laki-laki, dan perempuan dilarang memasukinya dengan dalih bahwa itu bukan profesi perempuan,” kata Jayakumari Devika, seorang aktivis hak-hak perempuan dan kritikus sosial dari negara bagian Kerala di India Selatan. Dia menambahkan bahwa perempuan, sebagian besar waktu, ditunjuk menjalankan peran yang membutuhkan "perhatian dan kasih sayang”. Devika menjelaskan bahwa orang-orang yang berpandangan seperti itu tidak memperhitungkan pengalaman ratusan perempuan yang mampu memimpin kehidupan politik publik dengan memimpin kelompok swadaya, organisasi masyarakat sipil, dan organisasi non-pemerintah. Lebih lanjut, bukan hanya bias sosial terhadap perempuan yang menjadi hambatan bagi politisi perempuan.

A Priyadarshini (21), anggota dewan termuda yang terpilih untuk kota Chennai di negara bagian Tamil Nadu, mengatakan bahwa selain bias gender, perempuan muda menghadapi hambatan infrastruktur yang parah untuk memasuki dunia politik. "Ini termasuk kurangnya toilet bersih dan akomodasi yang aman selama kerja lapangan. Misalnya, ketika kami melakukan survei politik, kami memiliki jumlah relawan perempuan dan laki-laki yang sama. Tetapi banyak relawan perempuan berjuang untuk menemukan toilet dan kamar mandi bersih ketika mereka bepergian”. Priyadarshini menekankan bahwa banyak kandidat perempuan sering dibuat untuk ikut serta dalam pemilihan sebagai "senama" untuk suami mereka.

Merujuk pada jajak pendapat badan pemilu lokal tahun 2021 di Tamil Nadu di mana dia mencalonkan diri, politisi muda itu mengatakan: "Ini adalah badan lokal pertama yang diadakan di negara bagian itu setelah kuota 50% diumumkan untuk perempuan. Begitu banyak politisi laki-laki yang membuat istri mereka bersaing di tempat mereka”. Dia menggarisbawahi bahwa pemesanan kursi untuk perempuan tidak ada artinya jika perempuan diperlakukan sebagai "boneka" oleh anggota keluarga laki-laki mereka.

Sebuah RUU untuk menyediakan sepertiga dari semua kursi di legislatif nasional dan negara bagian untuk perempuan telah terhenti di parlemen India selama hampir tiga dekade. Padmini Swaminathan, mantan direktur Madras Institute of Developmental Studies (MIDS), berpendapat bahwa tindakan afirmatif yang mendorong partisipasi perempuan dalam pembuatan undang-undang sangat penting untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik. "Seorang perempuan mungkin terpilih untuk pertama kalinya karena dia berasal dari keluarga dengan latar belakang politik. Tapi nanti, dia harus turun ke lapangan," katanya, seraya menambahkan bahwa setelah penempatan diperkenalkan di badan-badan lokal, banyak organisasi masyarakat sipil maju untuk melatih perempuan pedesaan tentang pemerintahan dan administrasi lokal. Swaminathan menekankan bahwa perempuan yang ingin ikut serta dalam pemilihan seringkali tidak diberi kesempatan. "Jika mereka tidak diberikan tiket partai, bagaimana mereka memiliki sumber daya untuk bertarung sebagai calon independen?" katanya seraya menambahkan bahwa bahkan perempuan yang memenangkan pemilihan sering tidak diberikan kekuatan pengambilan keputusan atau jabatan kabinet yang berpengaruh. "Laki-laki dalam politik masih tidak mau menerima perintah dari perempuan," katanya.

Tara Krishnaswamy, salah satu pendiri Shakti, sebuah kelompok perempuan non-partisan, mengatakan bahwa tampaknya ada kontradiksi dalam cara orang India memandang perempuan dalam peran publik dan domestik. Dia juga mencatat bahwa hasil survei Pew tidak dapat ditelan mentah-mentah begitu saja. "Survei akan lebih bermakna jika ada data tentang perbedaan tanggapan antara laki-laki dan perempuan, responden perkotaan dan pedesaan, daerah yang berbeda, dan orang-orang dari kelas ekonomi yang berbeda,” kata Krishnaswamy. Lebih jauh, dia berpendapat bahwa para peneliti telah menggali data dari sumber-sumber pemerintah yang menurutnya tidak dapat diandalkan. "Pemilih cukup progresif di India. Bahkan, menurut saya survei itu mungkin meremehkan jumlah orang yang menganggap perempuan bisa menjadi politisi yang baik," kata Krishnaswamy.

Devika menggarisbawahi bahwa orang tidak boleh menyimpulkan bahwa lebih banyak perempuan dalam politik selalu berarti kebijakan yang lebih baik untuk perempuan. "Ada politisi perempuan senior yang mendorong perempuan untuk tunduk pada suami mereka atau mempromosikan pandangan patriarki di depan umum untuk menghadapi situasi sulit dan tidak kehilangan sekutu mereka. Bukan 'massa kritis' perempuan yang penting dalam politik, tetapi 'tindakan kritis' yang mereka ambil," pungkas Devika.

UPAYA PENANGANAN ISU GENDER DI INDIA
India merupakan salah satu negara unik yang memiliki sistem kasta di dalamnya serta sangat berkaitan dengan tradisi keagamaan. Selain menjadikan India unik, sistem kasta ini juga menjadi alat diskriminasi terutama pada perempuan. Ketidaksetaraan gender di India disebabkan karena adanya budaya patriarki yang didukung dengan tradisi turun-temurun dan sistem kasta. Kaum perempuan India seringkali dianggap sebelah mata. Hal tersebut juga didukung dengan sebuah buku yang berjudul ‘Ein Ungluck ist die Tochter’ atau ‘Sialnya Anak Perempuan’ karya Renate Syed dari Ludwig Maximillian University.

Buku tersebut membahas isu diskriminasi perempuan di India yang sangat tinggi meskipun zaman semakin berkembang ke arah modern. Dengan demikian, hanya laki-laki yang dianggap bijaksana sehingga perempuan harus selalu berada di bawah laki-laki. Selain itu, beberapa budaya di India juga dinilai merendahkan martabat perempuan, yaitu dowry culture yang dilakukan oleh perempuan dengan memberikan mahar kepada laki-laki ketika ingin menikah dan feoticide culture yang melakukan kegiatan aborsi janin perempuan. Kedua budaya tersebut berkaitan erat dengan budaya dan gender.

Akibat dari pola pikir yang bersifat merendahkan, banyak perempuan menjadi korban karena diperlakukan seenaknya yakni dirampas, dieksploitasi, dilanggar hak asasi-nya melalui perilaku tidak terpuji seperti pelecehan seksual dan kekerasan fisik dalam hubungan rumah tangga. Maka keamanan bagi perempuan di India sebagai bentuk perlindungan hak asasi manusia perlu dipertanyakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun