Diplomasi pada tahun 2025 sering kali terasa lebih mirip permainan kursi musik ketimbang negosiasi yang penuh kehati-hatian. Bedanya, dalam permainan diplomasi internasional, musiknya tidak pernah berhenti. Semua pihak terus bergerak, saling berebut kursi legitimasi, sambil mempertaruhkan kepentingan politik, keamanan, bahkan nyawa manusia di lapangan.
Situasi terbaru memperlihatkan kerumitan itu. Presiden Rusia Vladimir Putin muncul di Tiongkok, menghadiri KTT Shanghai Cooperation Organization di Tianjin, kemudian parade militer di Beijing. Tidak lama setelahnya, ia membuat pernyataan mengejutkan bahwa dirinya siap bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
"Saya tidak pernah menolak pertemuan dengan Zelensky. Jika dia siap, biarkan dia datang ke Moskow, dan pertemuan itu akan berlangsung," ujar Putin dengan nada tenang dalam konferensi pers di Beijing, saat menghadiri acara parade militer.
Sekilas, ini terlihat sebagai sinyal positif. Namun jika ditelusuri lebih jauh, tawaran Putin justru menimbulkan dilema. Keamanan Zelensky jelas tidak bisa dijamin di ibu kota Rusia. Aparat keamanan Ukraina bahkan menyebut perjalanan ke Moskow sebagai "misi bunuh diri". Tidak heran Zelensky lebih memilih lokasi netral seperti Austria atau Turki. Tapi Kremlin menolak mentah-mentah.
Di sinilah letak permainan kursi musik itu: setiap pihak berlari, menampilkan gerakannya, tetapi tidak ada yang benar-benar ingin duduk di kursi kompromi.
Putin dan Diplomasi Simbolik
Tawaran Putin sesungguhnya lebih banyak mengandung makna simbolik daripada substansi. Dengan menyatakan dirinya "terbuka", ia mencoba membalik persepsi publik internasional. Seolah-olah, jika pertemuan gagal, maka penyebabnya bukan Rusia, melainkan Ukraina yang "takut datang ke Moskow".
Selain itu, Putin melontarkan sindiran pedas ke arah Washington. "Era kolonial sudah berakhir. Mereka harus mengerti bahwa mereka tidak bisa berbicara dengan India atau Tiongkok dengan nada seperti itu."
Ini adalah bentuk propaganda diplomasi. Putin ingin mengukuhkan narasi bahwa Rusia berdiri di pihak negara-negara non-Barat, menantang dominasi Amerika Serikat.
Trump: Ambiguitas yang Membingungkan
Di sisi lain, Presiden Amerika Serikat Donald Trump tampak memainkan peran yang jauh berbeda. Ia mengaku akan segera berbicara dengan Zelensky, tetapi enggan memberi detail langkah lanjutan. Bahkan ketika ditanya soal Putin, jawabannya justru membingungkan.
"Saya tidak punya pesan untuk Presiden Putin. Dia tahu di mana posisi saya. Apa pun keputusannya, kami akan senang atau tidak senang. Dan jika kami tidak senang, Anda akan melihat sesuatu terjadi." Trump berbicara di Gedung Putih (Oval Office) pada 3 September 2025, usai menerima Presiden Polandia Karol Nawrocki.