Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masih Relevankah Pancasila dengan Masa Kini?

2 Juni 2022   19:35 Diperbarui: 2 Juni 2022   21:14 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: iNews

Suku-suku asli Indonesia menganut politeis, secara harfiah percaya "kami punya dewa-dewa yang khusus melindungi suku kami, namun juga percaya adanya dewa-dewa lain yang melindungi suku kalian. Jadi, kalian bisa menyembah Tuhan kalian dan masuk ke surga atau neraka kalian. Lalu kami akan menyembah Tuhan kami dan masuk surga atau neraka kami sendiri. Dan kita bisa hidup masing-masing dalam keharmonisan." Kelihatannya sempurna.

Benarkah? Tidak. Tidak jika ingin mendirikan Indonesia sebagai satu state besar seperti cita-cita Soekarno.

Alasannya, politeisme tidak mengizinkan pemujaan Tuhan lain di wilayah mereka karena Tuhan mereka akan marah dan mendatangkan malapetaka kepada mereka. "Jika ingin memuja Tuhan-mu, pergilah ke daerah-mu sendiri, jangan di dekat-dekat rumah saya. Nanti Tuhan saya marah sama saya."

Kepercayaan seperti ini masih sering terlihat sampai sekarang. Saat beberapa orang ingin mendirikan kuil bagi Tuhan Monoteis mereka, orang-orang pribumi yang punya Tuhan Monoteis lain akan memperlihatkan pertentangan, karena menurut Yuval, "kita masih hidup dengan ingatan masa lalu tentang bahaya kemarahan dewa politeisme yang wilayahnya dipakai oleh pemuja dewa dari tempat lain." 

Manusia hidup selama ratusan milenial menyembah dewa politeis, dan baru move-on ke Tuhan Monoteis pada dua milenial ke belakang, itupun tidak sebanyak sekarang, butuh satu milenial lagi dari waktu itu untuk menyebarkan Monoteisme ke seluruh pelosok dunia seperti sekarang. Dan tetap saja, masih cukup banyak yang menolak (meninggalkan) kepercayaan Tuhan Monoteis.

Sekali lagi, ingatan tentang kemarahan dewa Politeisme masih tertanam jelas dalam ingatan kita sebagai bangsa yang berusaha keras melupakannya lalu menggunakannya sebagai dasar negara (pada sila pertama). 

Jadi, setelah 76 tahun memproklamasikan kemerdekaan, urusan-urusan yang menjadi syarat berdirinya negara Pancasilais masih belum "jelimet" kalau kata Bung Karno. 

Konsep Tuhan tunggal ini bermasalah ketika beberapa kepercayaan menolak untuk menerima (bahkan melarang) adanya Tuhan yang lain, dan tindakan ini tidak sesuai dengan Sila kedua yang berisi dukungan terhadap jenis kepercayaan apapun manusia (bahkan agnostik), asal masuk kategori "beradab" sesuai enam (awalnya lima, lebih awal lagi satu) kitab suci yakni Kristen, Islam, Buddha, Hindu, Katolik, dan yang belakangan ditambahkan, Konghucu. 

Pertentangan sila pertama dan sila kedua tersebut hanyalah satu misal. Masih ada lagi pertentangan-pertentangan lainnya.

Tapi pertentangan antar sila ini bisa kita maklumi, jika melihat pidato Soekarno 1 Juni 1945, kemerdekaan Indonesia saat itu merupakan sesuatu yang "mendesak sehingga urusan-urusan lainnya yang memungkinkan berdirinya suatu negara akan dilakukan sampai jelimet seiring waktu berjalan". 

Salah satu urusan yang harus diurus sampai jelimet yang dicontohkan oleh Soekarno adalah ketika Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, "rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin". 76 tahun kemudian, masih ada masyarakat di Papua yang belum pernah melihat kereta api dengan mata telanjang.  Jadi, 76 tahun merdeka masih banyak sekali urusan yang belum jelimet. Bisa saja dasar negara termasuk di dalamnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun