Mohon tunggu...
Fajar Firmansyah
Fajar Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa di Politeknik Keuangan Negara STAN

Manusia biasa yang sedang menuntut ilmu di PKN STAN, hobi bermain game, dan sedah berusaha memulai kegiatan menulis

Selanjutnya

Tutup

Financial

Antara Covid, Utang, dan Tantangan Pembayaran

28 Februari 2025   21:12 Diperbarui: 28 Februari 2025   21:12 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pexels.com 

Pandemi COVID-19 menjadi ujian berat bagi hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Masih teringat pada tanggal 2 Maret 2020 dimana pemerintah secara resmi mengumumkan kasus COVID 19 di Indonesia yang tentunya membawa kepanikan di Masyarakat pada saat itu. Seiring berjalannya waktu, dampak dari Pandemi COVID-19 mulai terasa menggerogoti sektor perekonomian di Indonesia. Masyarakat yang diwajibkan untuk mengurangi aktivitas di luar rumah, membuat perputaran kas di pasar Indonesia menjadi terhambat sehingga menyebabkan roda perekonomian menjadi seret.

Dalam mengatasi kondisi tersebut, pemerintah tentunya mengambil Langkah-langkah strategis seperti pemberian bantuan sosial kepada Masyarakat miskin, insentif bagi tenaga Kesehatan, maupun pembebasan biaya pengobatan bagi Masyarakat yang terkena COVID-19. Semua kebijakan tersebut diambil tentunya demi menyelamatkan Masyarakat dari bahaya dan dampak dari pandemi COVID-19.

Dengan berbagai kebijakan yang diambil pemerintah saat itu, tentu memerlukan biaya yang sangat besar untuk menutup semua pengeluaran baik bantuan, insentif, maupun pengobatan. Dengan kondisi perekonomian yang sedang tidak baik-baik saja, salah satu pilihan yang bisa diambil saat itu adalah dengan menambah Utang pemerintah Indonesia. Dilansir dari siaran pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada tanggal 23 Agustus 2024, pada tahun 2014 hingga 2019 rasio utang Pemerintah Indonesia terhadap PBD berada di kisaran 24,68% hingga 30,23%. Namun akibat adanya pandemi COVID-19, pada tahun 2020 rasio tersebut naik menjadi 39,9%, yang mana nilai tersebut merupakan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Langkah pemerintah untuk meningkatkan utang dianggap sebagai colusi paling cepat dan tepat untuk diambil saat itu untuk menghindari resesi yang lebih dalam.

Penambahan Utang pemerintah bukannya tanpa konsekuensi, salah satunya adalah meningkatnya beban utang yang akan jatuh tempo dalam beberapa tahun ke depan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, utang pemerintah yang jatuh tempo pada periode 2025-2027 mencapai sekitar Rp2.837 triliun, dengan rincian Rp800,33 triliun pada 2025, Rp803,19 triliun pada 2026, dan Rp802,61 triliun pada 2027. Besarnya utang yang harus dibayar ini menimbulkan tantangan besar bagi keuangan negara. Bukan hanya terkait bagaimana pelunasan atas utang tersebut, tapi juga bagaimana utang jatuh tempo tidak menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Saat pandemi melanda, pemerintah menghadapi kondisi darurat di mana belanja negara harus ditingkatkan secara drastic karena banyak program dan kebijakan yang memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di lain sisi penerimaan pajak mengalami penurunan akibat melambatnya aktivitas ekonomi karena adanya pembatasan aktivitas sosial Masyarakat untuk menurunkan angka penyebaran COVID-19. Beberapa alasan utama pemerintah meningkatkan utang selama periode tersebut antara lain untuk pendanaan sektor kesehatan, bantuan sosial, pemulihan ekonomi, serta dukungan terhadap sektor UMKM dan dunia usaha

Utang digunakan untuk pengadaan vaksin, peningkatan kapasitas rumah sakit, dan insentif tenaga kesehatan guna menangani lonjakan kasus COVID-19. Pemerintah juga menyalurkan berbagai bantuan sosial (bansos) untuk menjaga daya beli masyarakat serta memberikan insentif dan subsidi bagi pelaku usaha agar tetap bertahan. Dengan meningkatkan belanja negara melalui utang, pemerintah berupaya menjaga stabilitas ekonomi dan mencegah kontraksi yang lebih parah. Stimulus ekonomi seperti subsidi bunga kredit dan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) juga didanai dari utang untuk menjaga keberlangsungan sektor usaha.

Meskipun utang selama pandemi memberikan dampak positif dalam jangka pendek, efek jangka panjangnya tidak bisa diabaikan. Beban pembayaran utang meningkat seiring dengan jatuh temponya utang dalam jumlah besar pada 2025-2027. Jika tidak dikelola dengan baik, pembayaran utang yang besar dapat mengurangi ruang fiskal untuk program pembangunan dan kesejahteraan sosial. Jika penerimaan negara tidak cukup untuk membayar utang, pemerintah mungkin harus menambah utang baru (refinancing), yang dapat memperpanjang beban utang ke tahun-tahun berikutnya. Jika sebagian besar utang yang jatuh tempo harus dibayar dalam valuta asing, pelemahan rupiah dapat meningkatkan beban pembayaran. Selain itu, jika pemerintah terlalu bergantung pada Bank Indonesia untuk membeli obligasi, ada risiko meningkatnya inflasi akibat pencetakan uang yang berlebihan. Jika pemerintah harus menawarkan bunga yang lebih tinggi untuk menarik investor membeli obligasi baru, hal ini dapat meningkatkan biaya pinjaman bagi sektor swasta dan menghambat investasi.

Untuk menghadapi besarnya utang yang jatuh tempo, pemerintah harus memiliki strategi yang matang agar tidak mengganggu stabilitas ekonomi nasional. Pemerintah perlu memperkuat basis pajak dengan meningkatkan kepatuhan pajak, digitalisasi sistem perpajakan, serta memperluas cakupan pajak ke sektor ekonomi digital. Selain itu, optimalisasi aset negara dan penerimaan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan. Pemerintah dapat menerbitkan obligasi dengan tenor lebih panjang untuk menggantikan utang yang jatuh tempo. Namun, langkah ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi pasar agar tidak meningkatkan beban bunga terlalu tinggi. Pengurangan belanja yang tidak produktif menjadi langkah penting untuk memastikan anggaran lebih fokus pada sektor yang memberikan dampak ekonomi jangka panjang. Reformasi birokrasi dan pengelolaan proyek infrastruktur yang lebih efisien juga dapat membantu mengurangi kebutuhan utang baru. Selain mengandalkan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), pemerintah dapat mencari alternatif pembiayaan seperti kerja sama dengan sektor swasta melalui skema Public-Private Partnership (PPP) atau memanfaatkan pendanaan hijau (green financing). Kebijakan moneter yang mendukung stabilitas nilai tukar rupiah dan inflasi yang terkendali akan membantu menjaga kepercayaan investor terhadap pasar obligasi Indonesia.

Utang yang diambil pemerintah selama masa pandemi COVID-19 merupakan langkah yang diperlukan untuk menyelamatkan perekonomian dan kesehatan masyarakat. Namun, dengan jatuh temponya utang dalam jumlah besar pada 2025-2027, pemerintah harus mengambil langkah strategis agar pembayaran utang tidak menghambat pertumbuhan ekonomi. Meningkatkan penerimaan negara, mengelola utang dengan efisien, dan memperkuat stabilitas makroekonomi menjadi kunci utama dalam menghadapi tantangan ini. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat menjaga kredibilitas fiskalnya dan memastikan bahwa warisan utang pandemi tidak menjadi beban yang terlalu berat bagi generasi mendatang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun