Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kidung Amazing Grace Buat Ferdy Sambo

13 Februari 2023   21:09 Diperbarui: 15 Februari 2023   00:31 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Putri Chandrawati dan Ferdy Sambo berpelukan saat menjalani sidang di PN Jakarta Selatan, Selasa (8/11/22). (Sumber: KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)

Ferdy Sambo di vonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta, dalam kasus pembenuhan berencana ajudannya sendiri Almarhum Nofriansyah Yosua Hutabarat Senin (13/2/2023).

Publik pun terbelah memberi tanggapan, antara setuju dan tidak setuju. Sementara itu Ibu Rosti Simanjuntak orang tua kandung Yosua merespon vonis hukuman mati terhadap Ferdy Sambo dengan penuh tangis, serta mengatakan putusan hakim sesuai dengan harapan mereka. 

Kemudian berujar, "Hadir semua Tuhan di persidangan, puji Tuhan, tetesan darah anakku, darah anakku yang bergelimang, Tuhan nyata, Tuhan menyatakan keajaibannya".

Tangisan Ibu Rosti Simanjuntak merupakan ekspresi jeritan duka hati mendalam atas kehilangan putra darah dagingnya. 

Tidak ada satu pun Ibu di dunia ini tidak remuk redam perasaannya saat menghadapi kenyataan anak kandung yang lahir dari rahimnya mati dalam kondisi menggenaskan seperti yang di alami Yosua saat di tembak meradang  nyawa. 

Maka tangis Ibu Rosti Simanjuntak tidak ada salahnya jika dilihat dari sisi kaca mata perasaan seorang ibu.

Vonis hukuman mati bagi Ferdy Sambo dipandang pantas dikenakan oleh sebagian besar kalangan, sama halnya dengan keputusan hakim yang juga mengatakan tidak ada unsur yang bisa meringankan bagi Ferdy Sambo.

Selain dituduh melakukan pembunuhan berencana, dianggap selalu memberikan jawaban berbelit-belit, obstruction of justice (penghalangan proses hukum), serta merusak citra lembaga penegak hukum (Polisi).

Tanpa niat mencampuri kebenaran berdasarkan hukum, keputusan vonis hukuman mati merupakan peristiwa yang masih mengundang perdebatan hangat sampai hari ini.

Bahkan ada pihak memandang hukuman seperti itu tidak layak lagi dipergunakan karena bertentangan hak azasi manusia, sehingga di Belanda sendiri bentuk hukuman vonis mati sudah dihilangkan dari kitan undang-undang mereka.

Secara religiusitas juga hukuman mati dianggap sebagai pengingkaran terhadap keyakinan bahwa lahir dan mati merupakan kuasa Allah, sama sekali tidak bisa dicampuri manusia.

Namun harus bisa diterima bahwa produk hukum adalah hasil ciftaan manusia sehingga keputusan hukum memiliki cara tersendiri dalam memandang sebuah kesalahan, kemudian memiliki dasar pertimbangan pemikiran tersendiri mengenakan hukuman yang pantas bagi seseorang yang terbukti melakukan pelanggaran hukum.

Diluar institusi hukum, atau di tengah-tengah masyarakat ada beberapa cerita pilu dan mengharukan yang layak dijadikan sebagai bahan permenungan untuk mencerna bagaimana sesungguhnya seorang manusia bersikap sesaat menjelang tubuhnya rubuh di depan regu penembak, kemudian kematian mengakhiri kesempatan untuk hidup baginya.

Todung Mulya Lubis, seorang pengacara terkenal pada tahun 2021 menulis sebuah novel berjudul "Menunda Kekalahan" diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. 

Isinya cerita tentang "Bali Nine", mengisahkan perjuangan membebaskanAndrew Chan dan Myuran Sukumaran dari eksekusi mati yang dilakukan selama delapan tahun.

Tetapi kemudian keduanya harus menghadapi kematian di depan regu tembak, menghadapi kematian dengan tenang dan menolak menutup mata dihadapan juru tembak sambil melantunkan lagu "Amaging Grace".

Bali Nine  kasus yang diangkat dalam Novel "Menunda Kekalahan"  adalah kasus penangkapan penyeledupan lebih dari 8 kilogram heroin, 17 April 2005.

Sembilan warna negara Australia ditangkap di Bandara Ngurah Rai, Bali, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran diancam hukuman mati (14/2/2006) karena dituduh menyediakan uang, tiket pesawat dan hotel kepada rekan-rekan mereka sebagai bagian dari sindikat perdagangan narkotika internasional.

Perdana Menteri Australia saat itu John Howard (Juli 2007) membicarakan kasus tersebut dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 

Andrew Chan dan Myuran Sukumaran bersama penasihat hukumnya mengajukan grasi kepada Presiden agar tidak dieksekusi mati dan diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri. 

Akhir Tahun 2012 kemudian Kejaksaan Agung memberikan penangguhan eksekusi mati hingga satu tahun lagi bagi mereka.

Desember 2014 Presiden Joko Widodo menyatakan tidak ada ampun bagi kejahatan narkoba. PM Australia Tony Abbot dan Julie Bishop Menteri Luar Negeri Australia terus berusaha agar permohonan grasi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dikabulkan. 

Tetapi tahun 2015 pemerintah Indonesia menyatakan Andrew Chan dan Myuran Sukumaran akan tetap dieksekusi mati dan Presiden Joko Widodo menyatakan menolak grasi dengan alasan "Setiap harinya 50 orang meninggal karena narkoba dan ada 4,5 juta pecandu yang butuh rehabilitasi.

Pada tanggal 29 April 2015, tengah malam keduanya dieksekusi matibersama beberapa terpidana lain di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. 

Selama delapan tahun Todung Mulya Lubis telah berusaha membebaskan Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dari eksekusi hukuman mati dengan pertimbangan bukan tidak ingin mereka di hukum. tetapi sebagai usaha memberikan kesempatan kepada mereka  menyesali perbuatannya karena kasus narkoba, dan hal itu berkaitan soal hak untuk hidup dan hak azasi manusia.

Dalam novel "Menunda Kekalahan", ada juga kisah tentang pengalaman pribadi Veronica (pengacara asal Australia) melalui telepon mengabarkan bahwa kedua anak muda itu mengakhiri hidup dengan anggun, dan dengan kepala tegak menghadapi kematian, menolak menutup mata ketika akan di eksekusi dan mereka menyanyikan lagu Amazing Grace.  

Novel itu pada intinya mengangkat sebuah kisah yang sulit dibayangkan secara rasional jika melihat kedua terpidana mati menjelang detik-detik kematiannya di depan regu tembak menyanyikan lagu Amaging Grace dengan mata terbuka. Syair lagu itu belum sempat dinyanyikan hingga tuntas, terputus, tetapi nyawa mereka sudah melayang..."

Amaging Grace adalah sebuah syair lagu pujian sangat powerfull mengisahkan kekuatan iman dan pengakuan terhadap rahmat luar biasa dari Allah, dan sebagai ungkapan syukur dan terima kasih kepada Allah, karena merasa memperoleh kekuatan dan pertolongan saat menghadapi keadaan kelam dan berat.

John Newton pengarang lagu Amaging Grace menuturkan lagu tersebut dibuat sebagai sebuah bentuk pengakuan terhadap Tuhan yang telah memberikan keselamatan bagi dirinya  dan cobaan berat yang dihadapinya merupakan sebuah jawaban untuk memulihkan imannya.

Untuk lebih dapat memetik pesan tersirat dalam lagu Amaging Grace, dan terutama agar bermanfaat sebagai bahan refleksi ada baiknya kita telusuri sejarah dan latar belakang terciftanya lagu tersebut.

Lagu Amaging Grace di karang John Newton diangkat dari kisah hidupnya sendiri. John Newton lahir tahun 1725 di London, anak ketujuh, Ayahnya seorang Kapten Pelaut, dan Ibunya sendiri meninggal dunia saat usianya belum sampai tujuh tahun. 

Dalam usia 11 tahun John Newton dipaksa keadaan turun ke laut mengikuti jejak Ayahnya. Kemudian memberi kesempatan baginya sebagai kelasi kapal dagang.

Suatu ketika kapal mereka pergi ke Afrika membeli laki-laki, wanita dan anak-anak dengan harga murah lalu di jual seharga enam kali lipat sebagai budak pekerja kasar di ladang maupun sebagai pembantu yang harus bekerja apa saja ke Inggris, Amerika dan Negara lain.

Orang-orang Afrika saat hendak dibeli sering menolak, tetapipedagang budak mempergunakan kekerasan mengejar dan menangkap mereka, kaki dan tangannya dirantai kemudian diseret ke atas kapal dan diperlakukan bagaikan binatang.

Serta dipaksa himpit-himpitan diatas kapal karena jumlah mereka sangat banyak dan kapal over kapasitas sehingga para budak tersebut sulit bergerak dan bernafas. Beberapa diantara mereka cacat seumur hidup karena di rantai dan ada juga yang mati karena sakit cacar dan disentri.

Tahun 1748 kapal "Kreyhound" tempat John Newton bekerja mengalami hantaman badai laut sangat ganas, seluruh awak berupaya agar kapal tidak tenggelam di laut Atlantik. 

Dengan kondisi itu, dalam keadaan panik, takut dan kepayahan John Newton berseru "Tuhan kasihilah kami", padahal dia sendiri tidak pernah berdoa sejak anak-anak. Dan John Newton sendiri tidak sadar, entah bagaimana kapal mereka bergerak ke arah daratan.

Walaupun sudah memperoleh keselamatan seperti itu ternyata bukan serta merta menjadikan John Newton merubah cara hidupnya, dan hal itu diungkapkan dengan kata-kata "Saya tidak dapat menganggap diri saya sebagai orang percaya dalam arti penuh".

Perubahan radikal terhadap hidupnya baru terjadi setelah dirinya mulai rajin membaca Alkitab dan merenungkan kembali pengalamannya tentang perbudakan dan peristiwa selamat kapal mereka dari terjangan badai. 

Tahun 1772 John Newton menulis lirik lagu Amaging Grace yang syairnya berisi sebagai kesaksian kekuatan pemulihan kasih Allah yang terinspirasi dari pengalaman hidupnya yang kemudian dirinya sendiri diurapi sebagai seorang iman Anglikan.

Lagu Amaging Grace kemudian di alih bahasakan ke banyak bahasa dunia, termasuk di terjemahkan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) ke dalam Bahasa Batak untuk dinyanyikan dalam acara liturgi Gereja.

Secuil syairnya adalah, Amazing Grace how sweet the sound, That saved a wretch like me, I onces was lost but now am found, Was  blind but now I see. 

Dalam bahasa Indonesia : Betapa indah suara itu, menyelamatkan yang malang sepertiku, Saya dahulu pernah hilang arah tetapi sekarang menemukannya kembali, Telah terbuta tetapi saat ini aku melihat.

Sedangkan dalam Bahasa Batak di terjemahkan sebagai berikut : Singkop do asi ni roham, tu au na dangol on, na lilu ahu nian, nuang jumpang do, di na hutanda dosangki, gok biar rohangki, Alai alani  asiMi mardame rohanki.

Intinya lagu Amaging Grace mengisahkan rasa syukur atas berkat dan karunia Tuhan kepada orang yang pernah melakukan dosa dan buta matanya terhadap suatu kebenaran, tetapi karena besarnya kasih Tuhan kepada manusia diberikan kesempatan untuk bertobat untuk memperoleh kesempatan baru menikmati kasih besar Tuhan sesungguhnya, dan memberikan kedamaian hati.

Itulah syair lagu yang dinyanyikan Andrew Chen sesaat sebelum kematian menghampirinya di depan regu tembak. Dalam upacara pemakaman di Gereja Hillsong, Baulkham Hills, Sydney, Australia (8/5/2015).

Lagu itu dinyanyikan para jemaat untuk mengenang saat Andrew Chen menyanyikan lagu itu menjelang kematiannya, tetapi oleh jemaat lirik lagu tersebut ada yang diubah, yaitu "amazing grace, how sweet the sound" diubah jadi "amazing grace, my chains are gone".

Pendeta David Soper dalam khotbahnya memberi kesaksian bahwa Andrew Chen ketika membantu Andrew Chan menjalani saat-saat sebelum dieksekusi, dia melihat bahwa Andrew Chen terlihat sangat tegar, Soper mengatakan "Dia siap bertemu penciptanya. Saya melihat kedamaian dan harapan. Saya melihat keindahan bersina". 

Sedangkan Michael Chan, kakak kandung Andrew Chen mengatakan, "Orang-orang layak mendapat kesempatan kedua dalam hidup. Dia menunjukkan kepada kita bahwa setiap orang dapat mengubah dan berubah baik."

Inilah sekelumit untaian nasrasi yang dipersembahkan hanya sebagai bahan refleksi tentang sikap menghadapi sebuah cobaan hidup, bahkan dalam rangka menghadapi sebuah kematian. 

Tanpa ada niat menggurui dan justifikasi, biarlah masing-masing diantara kita memetik sendiri pesan berharga dari semua pengalaman hidup yang terkait dengan cerita diatas, khususnya terhadap Ferdy Sambo yang sedang menghadapi Vonis hukuman mati.

Sebagaimana pernah seorang guru atau filsuf ketika muridnya protes dan berujar dengan nada protes : "Kenapa guru setiap kali mengajar selalu mempergunakan kata-kata kiasan, atau berbentuk cerita yang tidak mudah dicerna ?"

Sang Guru pun memberi jawaban : " Untuk memakan sebuah buah Appel, mana kamu pilih :  "Apel itu dikunyah orang lain terlebih dahulu lau dimasukkan ke dalam mulut mu, kemudian kamu telan. Atau kamu sendiri yang menggigit, mengunyah kemudian menelannya ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun