Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anies Baswedan Terancam Kalah Sebelum Bertarung; NasDem Terancam Menjadi Parpol Nonparlemen

18 November 2022   12:57 Diperbarui: 18 November 2022   15:53 2558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketum Partai Nasdem Surya Paloh dan Anies Baswedan saat deklarasi Anies sebagai bakal capres di Nasdem Tower, Jakarta, 3/10/2022 (Kompas.id)

Dengan tersenyum lebar dan mata berbinar-binar bakal calon presiden dari Partai Nasional Demokrat (NasDem) Anies Baswedan menyampaikan kepada sejumlah wartawan di Jakarta Convention Center (JCC), pada 10/11/2022, mengenai betapa antusiasnya masyarakat di Sumatera Utara (Medan) saat menyambut kedatangannya di sana (4/11/2022). Mantan Gubernur DKI Jakarta yang ahli menata kata itu mengilustrasikan massa yang menyambutnya itu "bagaikan air bah".

Padahal Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh sendiri sedang galau dan stres berat, nyaris frustrasi. Gegara terlalu terburu-buru dan sembrono mendeklarasikan Anies sebagai bakal capres, NasDem terancam terpuruk menjadi partai gurem tanpa kursi di parlemen pada Pemilu 2024.   

Sementara itu rencana koalisi antara NasDem dengan PKS dan Partai Demokrat juga terancam gagal, karena berbagai faktor. Di antaranya, masing-masing mengedepankan ambisinya yang satu terhadap yang lain saling bertentangan. PKS ngotot Ahmad Heryawan (Aher) yang harus menjadi calon wapres pendamping Anies, demikian juga Demokrat ngotot harus Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang menjadi calon wapres.  

Salah satu saja dari kedua parpol itu tidak ikut berkoalisi, maka pendeklarasian Anies sebagai bakal capres tersebut akan sia-sia. Karena syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold ) yang 20 persen dari jumlah kursi di DPR hasil Pemilu 2019 tak terpenuhi.

Pada Pemilu 2019 Nasdem hanya mendapat 9,05 persen, PKS 8,21 persen, dan Partai Demokrat 7,77 persen.

Selain itu, seperti yang dikatakan sendiri oleh Surya Paloh,  sampai saat ini tak ada satu pihak pun yang bersedia menjadi pemodal dari pencalonan Anies sebagai presiden di Pemilu 2024 itu, baik pemodal kecil, menengah, apalagi pemodal besar.  Tentu saja pemodal alias bandar politik itu menganggap Anies bukan sosok yang pantas "diinvetasikan".

"Ini kan apes ini, pemodal besar tidak ada, pemodal kecil tidak ada," keluh Surya Paloh (14/11/2022)

Tambah apesnya lagi, hasil survei dari berbagai lembaga survei pun menunjukkan elektabilitas Partai NasDem terus merosot sampai di bawah ambang batas parlemen.

Boro-boro meraih keuntungan efek ekor jas (coat-tail effect) dari pendeklarasian Anies sebagai bakal capres itu, sebagaimana diharapkan Surya Paloh. Setelah pendeklarasian itu elektabilitas NasDem justru terus melorot tajam sampai di bawah ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang 4 persen itu. Berada di bawah PKS dan Partai Demokrat. Terancam menjadi partai gurem non-parlemen dari hasil Pemilu 2024. Alias tanpa kursi di DPR.

Surya pun sempat berkeluh pasrah, tak berani menjamin Anies kelak bisa diusung sebagai capres di Pemilu 2024. "Apa boleh buat," ujarnya, seperti dikutip Majalah Tempo.

Di Pemilu 2019 NasDem meraih 9,05 suara, berada di posisi kelima, di atas PKS (8,21 persen) dan Demokrat (7,77 persen). Sedangkan dari berbagai hasil survei terbaru dengan asumsi seandainya pemilu dilakukan sekarang, elektabilitas NasDem justru nyungsep, berada di bawah PKS dan Demokrat.

Survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) yang dilakukan pada 3-9 Oktober 2022 memperlihatkan elektabilitas Partai NasDem hanya 5,4 persen. Berada di bawah PKS yang 6,9 persen, dan Demokrat yang 5,5 persen.

Hasil survei Litbang Kompas yang diadakan melalui tatap muka di 34 provinsi, pada 24 September sampai 7 Oktober 2022 menghasilkan elektabilitas Nasdem 4,3 persen (hanya 0,3 persen di atas ambang batas parlemen), Partai Demokrat 14,0 persen, dan PKS 6,3 persen.

Hasil survei Litbang Kompas itu juga menunjukkan bahwa para pendukung NasDem lebih memilih Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto daripada Anies Baswedan. Ganjar 26,9 persen, Prabowo 17,3 persen, dan Anies hanya 15,4 persen.

Hasil survei dari LSI Denny lebih buruk bagi NasDem. Hasilnya, Partai NasDem tidak lolos ambang batas parlemen dengan perolehan elektabilitas hanya 3,9 persen. Berada di bawah PKS yang 8,3 persen, dan Demokrat  yang 5,4 persen.

Lebih seram lagi hasil survei Indekstat, yang mencatat hasil Partai NasDem tidak lolos parlemen dengan elektabilitas jauh di bawah ambas batas parlemen, yaitu hanya 2,1 persen. Berada di bawah PKS (6,2 persen) dan Demokrat (5,2 persen).

Kemerosotan elektabilitas NasDem itu sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari pendeklarasian Anies sebagai bakal capres-nya NasDem. Sebab Anies merupakan lawan politik dari Jokowi. Hal itu justru secara terang-terangan diutarakan oleh petinggi NasDem sendiri, Zulfan Lindan, yang menyatakan, Anies merupakan antitesa dari Jokowi. Meskipun akibat dari ucapannya itu, Surya Paloh langsung memecatnya dari pengurus partai, tetapi semua orang tahu memang demikian kenyataannya.

Apalagi Surya Paloh juga menggandeng dua parpol oposisi Jokowi, PKS dan Partai Demokrat untuk membentuk Koalisi Perubahan. Koalisi Perubahan akan mengusung visi dan misi yang berbeda dengan visi dan misi Jokowi. Oleh karena itu digunakan nama "Koalisi Perubahan."

Padahal NasDem masih berada di dalam Koalisi Indonesia Kerja, koalisi pendukung Jokowi. Bagaimana bisa  dua hal yang saling bertentangan itu dijalankan secara bersamaan oleh NasDem?

Banyak pemilih NasDem di Pemilu 2019 adalah pendukung Jokowi. Mereka memilih NasDem karena NasDem merupakan salah satu parpol yang paling awal mengusung Jokowi sebagai calon presiden untuk periode kedua di Pilpres 2019. Ketika sekarang NasDem justru mendeklarasikan lawan politik Jokowi sebagai bakal capres-nya, dan justru berkoalisi dengan dua parpol oposisi Jokowi, PKS dan Demokrat, tentu saja mereka tidak akan lagi memilih NasDem di Pemilu 2024. Demikian juga dengan pemilih muda pemula, yang mendukung Jokowi, tentu tak akan mau memilih parpol yang justru merupakan lawan dari Jokowi.

Langkah blunder Surya Paloh itu pasti akan semakin membuat partai NasDem semakin apes di pemilu 2024. Saat ini saja telah berdampak pada rusaknya relasi politik antara Surya Paloh dengan Jokowi.

Jokowi hadir secara fisik dan menyampaikan pidatonya di perayaan HUT ke-58 Partai Golkar, di JIEXpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, 21/10/2022. Jokowi hadir secara fisik dan menyampaikan pidatonya di perayaan HUT ke-8 Partai Perindo, di MNC Center, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, 7/11/2022. Tetapi Jokowi absen baik secara fisik, maupun secara virtual di perayaan HUT Partai NasDem, 11/11/2022. Bahkan mengucapkan selamat HUT NasDem pun tidak.

Pada pidatonya di HUT ke-58 Partai Golkar itu, di hadapan sejumlah ketua umum parpol, termasuk Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, Jokowi mengingatkan kepada Partai Golkar agar berhati-hati dan tidak sembrono dalam mendeklarasikan calon presiden dan wakil presiden.

"Saya yakin Golkar akan dengan cermat, akan dengan teliti, akan dengan hati-hati, tidak sembrono dalam mendeklrasikan calon presiden dan wakil presiden 2024. .... Dan, saya meyakini yang akan dipilih oleh Partai Golkar, capres, maupun cawapres, ini adalah tokoh-tokoh yang benar. Silakan terjemahkan sendiri!"


Jokowi menekankan kalimat "Silakan diterjemahkan sendiri" untuk memastikan agar audiens meresapi himbauannya itu, dan paham itu merupakan suatu sindiran tegas yang ditujukan kepada pihak yang baru saja mendeklarasikan bakal capres-nya. Yang menurutnya merupakan suatu tindakan yang sembrono karena sosok yang dideklarasikan itu sesungguhnya tidak layak. Siapa lagi kalau bukan Surya Paloh dan NasDem-nya yang secara sembrono telah mendeklarasikan sosok yang tak layak, yaitu Anies Baswedan.

Anies juga merupakan lawan politik dari Jokowi.  Persepsi, visi dan misi sosial dan politik Anies bertentangan dengan Jokowi. Seandainya saja Anies jadi presiden sangat kecil kemungkinan ia akan meneruskan apa yang telah dengan susah payah dibangun Jokowi selama 10 tahun pemerintahannya. 

Sebaliknya, besar kemungkinan, justru ia akan merombak apapun telah dibangun Jokowi, termasuk dengan mengganti nomenklatur-nomenklaturnya. Sebagaimana telah ia lakukan saat menjadi gubernur DKI Jakarta. Banyak program kerja peninggalan Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ia bongkar, diganti dengan versinya. Termasuk menggantikan nomenklatur-nomenklaturnya dengan istilah-istilah yang tidak lazim.

Seperti sistem transparansi yang diterapkan Ahok diubah Anies menjadi sistem tertutup; tidak meneruskan program Jokowi dan Ahok dalam hal normalisasi sungai untuk pencegahan banjir, diganti dengan membangun sumur-sumur resapan yang justru terbengkalai dan menimbulkan masalah baru; sistem sewa hunian rumah susun untuk warga DKI Jakarta di era Ahok yang berjalan bagus malah diganti dengan sistem rumah DP nol persen yang mandek, dan seterusnya. Ia mengganti istilah "normalisasi sungai" itu dengan "naturalisasi sungai"; "rumah susun" diganti dengan "rumah lapis", dan seterusnya.

Sebagai Presiden, Jokowi pernah mengangkat Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Dilantik  pada 27 Oktober 2014. Tetapi saat Jokowi melakukan reshuffle kabinet, pada 27 Juli 2016, Anies dicopot, digantikan dengan Muhadjir Effendy.

Sampai sekarang publik tidak tahu kenapa Jokowi mencopot Anies sebagai Menteri. Tapi tentu saja Jokowi mempunyai alasan untuk itu. Tentu kalau kinerja Anies sesuai dengan ekspektasi Jokowi, ia tak bakalan dicopot.

Politisi senior PDIP, Pandan Nababan, di kanal YouTube "Total Politik", 17/11/2022, bercerita tentang kenapa Anies dipecat Jokowi. Menurut dia, Jokowi memecat Anies karena dia tidak suka dengan Anies yang meskipun adalah bawahannya tetapi lebih dekat dengan JK. Anies sehari-hari lebih sering di kantor JK ketimbang dengannya.

Bila informasi Panda itu benar, maka kita tak heran dengan sikap Jokowi terhadap Surya Paloh sekarang. Sudah sejak lama Jokowi tidak cocok dengan Anies. Saat Pilkada DKI Jakarta 2017 Jokowi berada pada kubu Ahok, sedangkan Anies dibeking sepenuhnya oleh JK. Kini, Surya Paloh malah hendak mengusung Anies sebagai capres, ditambah lagi dengan malah mengajak PKS dan Demokrat yang jelas-jelas oposisinya Jokowi.

Rekam jejak Anies saat sebagai salah satu konstestasi dalam Pilkada DKI 2017 juga tercatat dalam sejarah hitam pilkada di Indonesia. Itulah pilkada terburuk dan paling destruktif dalam sejarah. Hingga menjadi perhatian media-media terkemuka di berbagai negara.

Karena saat itu kubu pendukung Anies secara terstruktur, sistematis, dan masif mempraktikkan politik identitas (SARA) secara terang-terangan dan vulgar demi memenangkan Anies. Anies membiarkan semua itu terjadi, bahkan menikmatinya karena semua itu sangat menguntungkannya. 

Anies bersekutu dengan ormas-ormas konservatif yang sering memainkan isu dan provokasi SARA demi mencapai tujuannya. Jika Anies mau, ia bisa mencegahnya dengan melakukan pendekatan kepada para pimpinannya. Tetapi itu sama sekali tidak dilakukannya. 

Ia justru mendatangi markas-markas ormas-ormas itu, memberi ceramahnya, yang juga cenderung bernuansa politik identitas.Tak berlebihan jika dikatakan bahwa kemenangan Anies di Pilkada DKI Jakarta 2017 itu adalah karena politik identitas tersebut.

Demi jabatan gubernur DKI Jakarta saja Anies rela melakukan hal-hal itu, apalagi demi jabatan presiden.

Dengan latar belakang Anies seperti itu tak heran jika Jokowi tidak bisa menerima saat Surya Paloh dan NasDem-nya yang nota bene adalah koalisi pemerintahannya justru secara tiba-tiba mendeklrasikan Anies sebagai bakal calon presiden mereka. Ditambah lagi dengan berkoalisi dengan dua parpol oposisi Jokowi. Bagaimana bisa sekutu koalisi sekaligus juga koalisi oposisi?

Surya Paloh malah memilih bakal capres dari lawan politiknya, bukan dari orang yang Jokowi dukung. Tapi bisa-bisanya masih mengklaim masih merupakan sekutu Jokowi.

Ketidaksukaan Jokowi dengan langkah yang telah dilakukan oleh Surya Paloh itu diisyaratkan lagi saat ia menolak untuk berpelukan dengan Surya Paloh di acara HUT Partai Golkar itu. Dari cuplikan video yang beredar terlihat jelas sekali gestur tubuh Jokowi yang tidak mau berpelukan dengan Surya Paloh. Padahal sebelumnya, seperti yang pernah dikatakan Surya sendiri,  di acara-acara seperti itu setiap kali keduanya bertemu selalu berpelukan akrab.


Diminta tanggapannya, Surya Paloh membantah jika kejadian itu sebagai pertanda hubungan dia dengan Jokowi kini memburuk. Katanya, tak ada masalah. Kemesraan tidak harus selalu ditunjukkan ke publik.

Tapi bantahan Surya itu seolah dijawab telak Jokowi dengan tidak menghadiri baik secara fisik maupun virtual di acara perayaan HUT NasDem, yang puncaknya diselenggarakan pada 11 November 2022.  Sekadar mengirim ucapan HUT kepada Surya Paloh pun tidak.

Langkah Jokowi untuk menunjukkan ketidaksukaannya kepada langkah politik Surya Paloh itu diduga masih akan berlanjut, yaitu dengan akan mencopot semua dari tiga menteri asal NasDem dari kabinetnya. Yaitu, Johnny G Plate sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Syahrul Yasin Limpo sebagai Menteri Pertanian, dan Siti Nurbaya Bakar Menteri sebagai Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK). Diperkirakan pencopotan itu akan dilakukan oleh Jokowi saat melakukan lagi reshuffle kabinetnya, yang diprediksi pada Januari-Februari 2023.

Menyaksikan di berbagai hasil survei keterpurukan elektabilitas NasDem usai pendeklarasian Anies sebagai bakal capres, memburuknya hubungan dia dengan Jokowi, juga dengan PDIP,  yang sudah pasti juga akan akan menambah keterpurukan parpol besutannya itu sehingga terancam menjadi parpol gurem tanpa kursi di parlemen pada 2024, Surya Paloh pun nyaris putus asa dan pasrah. Ia mengatakan, tak ada jaminan Anies Baswedan akan bisa maju di Pilpres 2024.

"Mana bisa kita jamin (Anies di Pilpres 2024).  Ini kan baru calon nominasi dari NasDem. Diperlukan tambahan portofolio yang memungkinkan untuk persyaratan itu terjadi," kata Surya usai perayaan HUT ke-11 Partai Nasdem di JCC, 11/11/2022.

Dan jika sampai di Pemilu 2024 kelak NasDem benar-benar gagal mencapai ambang batas parlemen, maka ia sebagai nahkodanya harus bertanggung jawab dengan out dari kursi ketua umum NasDem.

"Saya katakan, (jika) tidak ada tambahan kursi (di Pemilu 2024), itu artinya nakhodanya out," katanya.

"Kalau saja, nah ini kalau, ini tolong dicatat, jangankan menurun atau tidak lolos parlementary threshold, tidak ada tambahan angka kursi parlemen satu pun itu artinya nakhoda yang berbicara ini sudah tidak layak lagi memimpin NasDem."

***

Menyadari ia tak bisa lagi terlalu berharap dengan Surya Paloh yang justru sedang pusing tujuh keliling, nyaris frustasi karena setelah mendeklarasikan dirinya sebagai bakal capres, NasDem justru mengalami nasib apes, Anies berupaya mengambil hati Jokowi dan/atau para pendukung Jokowi melalui anak mantu dan anak Jokowi.

Mengapa saat melakukan safari politik pertama kalinya, 4-5 November lalu,  Anies memilih Medan? Diduga itu bukan kebetulan saja. Bisa saja itu merupakan bagian dari strateginya untuk bisa mendekati Wali Kota Medan, Bobby Nasution, yang adalah anak mantu Jokowi. Tetapi, rupanya gayung tak bersambut.

Lalu, pada 15 November 2022, Anies ke Solo mengunjungi anak Jokowi yang adalah Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka. Ada yang menduga bahwa itu juga strategi Anies untuk memperkenalkan dirinya di masyarakat Jawa Tengah. Di wilayah basisnya Jokowi di mana pendukung Anies sangat minim. Sekaligus mengiming-imingi Gibran dengan akan mendukungnya jika Gibran berhasrat maju di pilkada DKI Jakarta pada 2024, asalkan Gibran juga memberi dukungan kepadanya untuk maju di Pilpres 2024. Bukan kepada Ganjar Pranowo, yang adalah pesaingnya yang diprediksi akan mengunggulinya andai keduanya bersaing di Pilpres 2024. Atau bahkan Anies ingin menawarkan Gibran menjadi cawapres-nya? Semuanya demi dia bisa menjadi presiden.

Jika benar itulah adalah maksud sebenarnya Anies mengunjungi Gibran, maka sudah pasti itu adalah mission impossible. Gibran tidak senaif itu, apalagi Jokowi yang sudah sangat berpengalaman menghadapi manuver-manuver Anies. Jokowi sudah paham betul bagaimana karakter Anies. Karena Anies itu pula lah dia memutuskan hubungan keakrabannya dengan Surya Paloh. (dht)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun