Semburat sinar mentari mulai menghangat, pertanda tidak lama lagi cahayanya akan memantul pada lereng-lereng barisan bukit padas yang angkuh menatap daun-daun kering yang berguguran. Panasnya menyebar menyirami seluruh permukaan bumi tegalan.
Langit di atas kepala, di seluas bentang cakrawala, tetap tampak biru memesona. Kadang-kadang perlahan embusan angin datang semilir, merebahkan rumput ilalang kering, menidurkan ranting-ranting kering.
Di pinggir-pinggir tegalan, pucuk dedaunan perdu, tidak tampak kemilau embun. Betapa kekeringan itu tampak sangat nyata, menyajikan lekuk liku tulang-tulang tubuh desaku.
Sudah suratan takdir, aku dilahirkan di sebuah desa yang tandus, jauh dari gemerlap kota yang tidak pernah tidur. Kulitku hitam kasar, serupa permukaan lempeng baja yang tak mempan diiris keris pusaka sekali pun.
Telapak kakiku besar dan lebar, mengisyaratkan ketangguhan dan kekuatan. Selalu menopang badanku wira-wiri menapaki perjalanan kehidupan, menghadapi tantangan kebutuhan yang tidak ringan.
Melalui tanah gersang, bukit padas yang menjulang kekar, setapak jalanan yang mengular penuh sisik tajam. Belum lagi kekeringan menghimpit menjepit kehidupan warga desaku, yang sebagian besar menggantungkan hidupnya dari bertani tadah hujan.
Itulah gambaran desaku, terletak di kaki gunung batu padas yang meranggas.
***
Air sepertinya enggan singgah. Untuk masak dan minum, air bersih hanya bisa diperoleh dari belik di dasar sungai, harus dijangkau dengan menuruni tebing sungai yang tingginya puluhan meter. Biasanya bapakku pagi-pagi atau sore hari ngangsu air belik, membawa dua jeriken air ukuran sedang.
Jika siang hari udara akan sangat panas, cepat memeras keringat, tenaga pun cepat terkuras.
Pulangnya, bapak memikul dua jeriken penuh air, sambil diayun-ayun ke kiri dan ke kanan. Katanya, agar beban pikulan menjadi ringan. Gentong menjadi tempat menampung air bersih dari belik. Di musim kemarau, hanya panas yang ada dimana-mana, menjadikan tanah-tanah tegalan nelo.
Jika musim penghujan tiba, desa akan segera menggeliat, seperti ular naga bangun dari pertapaan panjangnya. Hiruk-pikuk suara penduduk terdengar di sana-sini, membawa semangat baru, semua memulai hidup baru, mengadu nasib berjibaku dengan ladang mereka. Menanam jagung, ubi jalar, singkong, dan kacang-kacangan.
Ternak-ternak pun ikut bergembira, karena persediaan rumput bakal melimpah dan perut mereka menjadi bulat kekenyangan.
Umumnya setiap rumah di desaku mempunyai kolam ukuran besar, dari bata dan semen. Digunakan untuk menampung air hujan sebagai persediaan air bersih untuk mencuci dan mandi.
Hujan merupakan anugerah yang sangat besar bagi orang-orang di desaku, meskipun di wilayah lain, musim hujan bisa jadi bencana banjir dan air dibiarkan hilang dan terbuang.
***
Gaplek makanan pokok masyarakat di desaku, kadang diselingi dengan nasi jagung atau ubi jalar rebus. Makan nasi sangat jarang, sebulan sekali itu yang paling sering. Untuk menghemat beras, kadang nasi dicampur beras jagung. Biasanya yang membuat beras jagung itu Lik Jum, adiknya si Mbok.
Kehidupan sehari-hari masyarakat di desaku sangat sederhana, tidak ada suara radio apalagi televisi, meskipun listrik sudah masuk desa. Benar-benar suasana yang sangat klasik : suara belalang, jangkrik, gerombolan burung pipit gemericit mengeroyok gundukan rumput kering, mencari biji-bijian rumput.
Petok ayam juga bersahut-sahutan, apalagi jika ada ayam betina yang baru saja bertelur, seluruh warga desa akan mendengarnya. Ada yang paling asyik, bahan bisik-bisik warga, suara burung Cungcuing, si burung sakral. Sebab suaranya dianggap sebagai penanda akan adanya orang mati. Di situlah mereka akan saling tebak dan mencari, siapa yang meninggal hari ini atau besok.
***
Si Mbok, begitu aku memanggil ibuku, panggilan yang paling hangat aku rasakan dibandingkan Mama, Mami, Umi, Bunda, atau Mom. Si Mbok sebulan sekali pergi ke kota, biasanya rombongan empat lima orang berjalan bersama. Berangkat ketika hari masih gelap, menyusuri tegal singkong. Hingga menjelang senja, mereka tiba kembali di desa dengan membawa sedikit hasil belanja dari kota, beras, garam, gula, sabun, odol, dan beberapa keperluan dapur yang lainnya.
Tapi aku sangat bangga dilahirkan di desa yang tandus ini. Desa mengajarkan aku selalu serius menghadapi segala sesuatu, membentuk tubuhku terlatih untuk bekerja keras, menguatkan jiwaku, tangguh menghadapi tantangan dan rintangan. Nuraniku mengutamakan kekeluargaan, toleransi, kerjasama, dan empati. Itulah hal yang membedakan desa dengan kota.
***
Pagi masih gelap, teriakan ayam jago belum juga selesai membangunkan orang-orang desa. Angin menerobos masuk lewat sela-sela daun jendela yang tidak rapat menutup. Si Mbok sudah ngluthek di dapur, entah apa yang dikerjakannya.
Atas kehendak Gusti aku akan meninggalkan desa kelahiranku untuk sementara. Aku diterima di sebuah perguruan tinggi negeri, di kota yang jauh dari desaku. Do’a bertubi-tubi datang dari saudara-saudaraku. Si Mbok tidak henti-hentinya menangis, nenuwun marang Gusti Allah, agar aku selamat dan sukses.
Aku beruntung punya pak-mbok yang punya pikiran maju. Meskipun kembang kempis hidupnya, tapi tetap bersemangat menyekolahkan aku dan adik.
Maklum, di desaku masalah sekolah itu bukan yang utama, maka tidak aneh jika banyak anak sebayaku yang sudah tidak sekolah lagi. Mereka sudah memanggul pacul dan arit di tangan, berkebun dan mencari rumput untuk ternak.
Karena itu, jika ada anak muda yang merantau dengan maksud untuk melanjutkan sekolah, dianggap seperti orang yang akan berjuang, mengharap hasil yang belum jelas. Bahkan nanti setelah memperoleh ijazah pun, tidak dihargai sebagai orang yang sukses.
Malah mereka akan terheran-heran, bertahun-tahun ngenger dan prihatin hanya dapat selembar kertas, plus beberapa foto wisuda. Seperti gaplek saja, tidak menarik dipandang, aromanya pun tidak harum. Namun dapat di dimanfaatkan sebagai pengenyang perut. Tidak lebih dari itu, sedangkan dijual pun harganya murah, bahkan mungkin tidak laku.
Seperti kata Lik Yem, tetangga sebelah, “Kamu melanjutkan sekolah mau nyari apa ? Mbok ya cepet nyambut gawe saja biar cepet dapet duit, buat makan dan bantu-bantu orang tua.”
Begitulah, orang yang merantau, meninggalkan desa untuk bekerja di kota, bisa lebih mulia dalam pandangan Lik Yem, karena bisa segera menghasilkan uang, membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari, di desa.
Aku tidak menyalahkan kebanyakan orang di desaku seperti Lik Yem, yang lebih menyemangati agar anak-anak muda cepat mencari kerja. Lalu menikah, dan melanjutkan menggarap tanah di desa.
Kadang aku bertanya-tanya: Apakah bisa hidup di desa hanya dengan mengandalkan hasil menggarap tanah gersang berbatu itu ?
Jujur, aku sendiri tidak bisa menjawab pertanyaanku. Sebab, kenyataannya, sejak aku lahir sampai aku seperti Beruang begini, orang-orang di desaku tetap tulus dan sabar menggarap tanah tegalnya.
Tetap teguh bertahan hidup di atas tanah yang kurus ini. Mereka telah sehidup semati, walau tanpa janji.
Lantas, jika dipikir-pikir lagi, lagi, dan lagi, sepertinya memang tidak ada masalah hidup di desaku. Semua penduduk tenang-tenang saja. Tanpa gawai, radio, tv, kabel-kabel internet yang berseliweran menghias langit-langit seperti di kota.
Tapi entah mengapa, aku ingin mengubah keadaan. Aku punya keyakinan, semua perubahan dimulai dari cara berfikir unik dan nyleneh. Mempertanyakan keadaan dengan hal-hal yang tak masuk akal.
Barangkali itulah panggilan untukku. Berangkat ke kota berbekal cara berfikir unik dan nyleneh. (*)
September 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI