Mohon tunggu...
Dandung Nurhono
Dandung Nurhono Mohon Tunggu... Petani kopi dan literasi

Menulis prosa dan artikel lainnya. Terakhir menyusun buku Nyukcruk Galur BATAN Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Desaku, Aku, dan Pikiran Nyleneh

28 September 2023   06:30 Diperbarui: 28 September 2023   06:35 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku beruntung punya pak-mbok yang punya pikiran maju. Meskipun kembang kempis hidupnya, tapi tetap bersemangat menyekolahkan aku dan adik.

Maklum, di desaku masalah sekolah itu bukan yang utama, maka tidak aneh jika banyak anak sebayaku yang sudah tidak sekolah lagi. Mereka sudah memanggul pacul dan arit di tangan, berkebun dan mencari rumput untuk ternak.

Karena itu, jika ada anak muda yang merantau dengan maksud untuk melanjutkan sekolah, dianggap seperti orang yang akan berjuang, mengharap hasil yang belum jelas. Bahkan nanti setelah memperoleh ijazah pun, tidak dihargai sebagai orang yang sukses.

Malah mereka akan terheran-heran, bertahun-tahun ngenger dan prihatin hanya dapat selembar kertas, plus beberapa foto wisuda. Seperti gaplek saja, tidak menarik dipandang, aromanya pun tidak harum. Namun dapat di dimanfaatkan sebagai pengenyang perut. Tidak lebih dari itu, sedangkan dijual pun harganya murah, bahkan mungkin tidak laku.

Seperti kata Lik Yem, tetangga sebelah, “Kamu melanjutkan sekolah mau nyari apa ? Mbok ya cepet nyambut gawe saja biar cepet dapet duit, buat makan dan bantu-bantu orang tua.”

Begitulah, orang yang merantau, meninggalkan desa untuk bekerja di kota, bisa lebih mulia dalam pandangan Lik Yem, karena bisa segera menghasilkan uang, membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari, di desa.

Aku tidak menyalahkan kebanyakan orang di desaku seperti Lik Yem, yang lebih menyemangati agar anak-anak muda cepat mencari kerja. Lalu menikah, dan melanjutkan menggarap tanah di desa.

Kadang aku bertanya-tanya: Apakah bisa hidup di desa hanya dengan mengandalkan hasil menggarap tanah gersang berbatu itu ?

Jujur, aku sendiri tidak bisa menjawab pertanyaanku. Sebab, kenyataannya, sejak aku lahir sampai aku seperti Beruang begini, orang-orang di desaku tetap tulus dan sabar menggarap tanah tegalnya.

Tetap teguh bertahan hidup di atas tanah yang kurus ini. Mereka telah sehidup semati, walau tanpa janji.

Lantas, jika dipikir-pikir lagi, lagi, dan lagi, sepertinya memang tidak ada masalah hidup di desaku. Semua penduduk tenang-tenang saja. Tanpa gawai, radio, tv, kabel-kabel internet yang berseliweran menghias langit-langit seperti di kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun