Etnis Minang sedang diuji. Bersilewaran opini dan pendapat berbagai kalangan, menghiasi dunia maya. Mulai dari keras menghantam etnis itu sendiri, hingga yang membela habis-habisan.
Pokoknya ribut. Ribut soal rumah makan Padang di Jakarta yang menyediakan rendang babi. Gubernur Jawa Timur Kofifah Indar Parawansa pun turun ke kedai nasi bermerek nasi Padang di Surabaya.
Dia memastikan, kalau di daerah yang dia pimpin tidak tersedia hendaknya rendang babi.
Belum lagi hantaman, ya sudah. "Buka sendiri warung Padang, yang belanja juga orang Padang, pun adanya tak boleh di tempat lain, selain di Padang atau di tanah Minang itu sendiri".
Serta banyak lagi ciutan yang membuat nyali orang Minang tersentak. Ada apa, kok bisa-bisanya orang buka warung nasi Padang menyediakan rendang babi?.
Tentu sebuah perdebatan yang panjang. Tak akan pernah selesai untuk dibicarakan soal itu. Bicara Minangkabau yang oleh orang luar disebut orang Padang, ya identik dan kental dengan nuansa adat dan budaya, serta agama.
Begitu benarlah di sejak dulunya suku bangsa bernama Minangkabau ini. Seberapa pun premannya orang Minang di kampung orang, dulunya dia pasti diterpa di surau.
Surau dan rumah gadang adalah lembaga tak resmi untuk pengemblengan anak kemenakan. Laki-laki di Minangkabau dulu tak pernah tidur di rumah. Dia tidur dan mengaji di surau.
Sebelum matahari disungkup oleh kelamnya malam, anak-anak sudah berjalan ke surau. Dia akan mengaji di surau. Bagi yang sudah dewasa, juga ada pelajaran adat dengan belajar berunding, serta belajar silek atau silat.
Silek, sebuah bela diri. Perpaduan syarak dan adat, lahir dari ulama dan orang cadiak pandai dulunya. Sehingga orang Minang itu pintar bersilat lidah dan silat bela diri.
Hidup bergontong royong, melahirkan semangat sosial dan rasa kepedulian yang amat tinggi. Bagi orang Minang sejati, tak ada "kusuik yang tidak selesai, tak pula ada karuah yang tidak akan jernih".
Masakan anak Minangkabau itu terkenal enak dan disukai semua orang. Tak heran, di seluruh dunia ada rumah makan Padang.
Orang Padang yang istilah orang luar itu, memang menjadikan merantau sebagai budaya. Tak ada padi yang besar di persemaian.
Artinya, kalau padi ingin tumbuh besar dan menghasilkan, harus dicabut dan dipindahkan dari persemaiannya. Kalau tidak, padi itubtak akan tumbuh dan berbuah.
"Karatau madang dihulu, berbuah berbunga belum. Merantaulah bujang dahulu, di kampung berguna belum". Itu pepatah yang menjadi landasan utama untuk terjadi merantau itu sebagai budaya.
Dengan adanya surau dan rumah gadang sebagai pengemblengan anak, jelas ini menanamkan nilai-nilai dan agama.
Nilai-nilai etika dan moral. Sopan santun. Diajar kata mendaki, menurun, mendatar dan melereng.
Kata mendaki, adalah ketika berhadapan dengan orang yang lebih tua. Baik tua usia maupun tua ilmu dan pengalaman. Sementara, kata menurun pun ada caranya. Ini kepada yang kecil dari kita.
Sedangkan kata mendatar itu kawan sama besar. Artinya, lalu "garah". Namun tentu garah yang punya tatakrama sopan santun.
Sedangkan kata melereng adalah terhadap orang "sumando". Ke suami adik atau kakak dan suami dunsanak ada cara tersendiri, yang tak bisa sembarangan.
Dengan demikian, orang Padang atau Minang tak akan pernah ada mau menjual babi. Di tanah Minang, buru babi dengan anjing, banyak dan malah itu pun jadi ajang olahraga.
Babi, binatang yang sering menunaikan tanaman petani. Perlu dibunuh dan dimusnahkan, sehingga kesejahteraan petani meningkat.
Wajar, orang Minang berang ketika ada orang menjual nasi Padang menyediakan rendang babi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI