Hidup bergontong royong, melahirkan semangat sosial dan rasa kepedulian yang amat tinggi. Bagi orang Minang sejati, tak ada "kusuik yang tidak selesai, tak pula ada karuah yang tidak akan jernih".
Masakan anak Minangkabau itu terkenal enak dan disukai semua orang. Tak heran, di seluruh dunia ada rumah makan Padang.
Orang Padang yang istilah orang luar itu, memang menjadikan merantau sebagai budaya. Tak ada padi yang besar di persemaian.
Artinya, kalau padi ingin tumbuh besar dan menghasilkan, harus dicabut dan dipindahkan dari persemaiannya. Kalau tidak, padi itubtak akan tumbuh dan berbuah.
"Karatau madang dihulu, berbuah berbunga belum. Merantaulah bujang dahulu, di kampung berguna belum". Itu pepatah yang menjadi landasan utama untuk terjadi merantau itu sebagai budaya.
Dengan adanya surau dan rumah gadang sebagai pengemblengan anak, jelas ini menanamkan nilai-nilai dan agama.
Nilai-nilai etika dan moral. Sopan santun. Diajar kata mendaki, menurun, mendatar dan melereng.
Kata mendaki, adalah ketika berhadapan dengan orang yang lebih tua. Baik tua usia maupun tua ilmu dan pengalaman. Sementara, kata menurun pun ada caranya. Ini kepada yang kecil dari kita.
Sedangkan kata mendatar itu kawan sama besar. Artinya, lalu "garah". Namun tentu garah yang punya tatakrama sopan santun.
Sedangkan kata melereng adalah terhadap orang "sumando". Ke suami adik atau kakak dan suami dunsanak ada cara tersendiri, yang tak bisa sembarangan.
Dengan demikian, orang Padang atau Minang tak akan pernah ada mau menjual babi. Di tanah Minang, buru babi dengan anjing, banyak dan malah itu pun jadi ajang olahraga.