Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Jurnalistik di Smart Discuss, Wartawan Harus Membangun Narasi yang Mencerdaskan

25 April 2021   16:24 Diperbarui: 25 April 2021   16:52 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat jadi narasumber di smart discuss soal jurnalistik. (foto dok zeki aliwardana)

Membangun peradaban dengan dialog dan diskusi. Orang-orang pintar dan tokoh politik, serta akademisi dan pengusaha tentu juga ikut ambil bagian dalam mengisi ruang dialog yang digelar Smart Discuss di studionya, Kuraitaji, Kota Pariaman.

Dipandu seorang host dari anak muda aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dialog ini semakin mantap dan mengasyikan tentunya. Tergantung nantinya oporan bola, ibarat main bola di lapangan yang dimainkan seorang host.

Sebagai seorang Ketua Persatuan wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman, Sabtu (24/4/2021) saya diminta oleh pemilik Smart Discuss, Zeki Aliwardana mengisi jadwal dialog siang sehabis Zuhur.

Dia menyampaikan itu, saat ketemuan di acara Jonh Kenedy Azis di RM Sambalado, Kuraitaji, Jumat. Sehabis buka puasa bersama, Zeki langsung menawarkan agar saya bisa dialog di Smart Discuss.

Lalu, pembicaraan senja usai buka itu dimantapkannya lewat pesan singkat, sehingga saya pun tak lagi bisa mengelak. "Oke, saya datang Zeki," jawab saya sekenanya.

Banyak hal yang dibicarakan soal pers, jurnalistik dan wartawan. Sesuai desakan dan penggalian pertanyaan yang dilakukan host. 

"Soal senior, saya sebenarnya sih belum terbilang senior di dunia wartawan Piaman," kata saya.

Hanya saja, kata saya, oleh sebagian kawan-kawan, saya selangkah didahulukan dan seranting ditinggikan untuk memimpin organisasi wartwan, PWI di Padang Pariaman dan Kota Pariaman ini. Dan jabatan itu habis tahun ini, karena mulai tahun 2018 lalu. Untuk kabupaten dan kota masa bakti PWI itu hanya tiga tahun.

"Situasi dan perkembangan media saat ini menuntut masyarakat lebih cerdas lagi. Kalau dulu, kehadiran media membuat masyarakat cerdas. Sekarang, sebelum menikmati sajian media, masyarakat harus cerdas dan pintar," ulas saya.

Betapa tidak. Tiap sebentar sileweran informasi yang masuk ke jejaring sosial kita, dan ruang pribadi kita yang kadang-kadang susah dicerna. Sering masyarakat terjeabk oleh berita bohong dan adu domba, yang jelas-jelas dilarang dalam kaedah jurnalistik itu sendiri.

Dulu, sebelum berita itu terbit, ada empat lapisan. Mulai dari wartawan lapangan atau reporter, terus naik ke redaktur, terus ke redaktur pelaksana, baru ada persetujuan Pemred untuk naik atau tidak sebuah naskah berita.

Sekarang, situasi berubah 180 derajat. Dia yang cari berita, dia pula yang mengolah, mengedit serta menaikan ke halaman, lalu dia pula yang menshare di berbagai media sosial jaringannya. Tidak ada lagi budaya berjenjang naik bertangga turun di media terkait. Akibatnya, banyak informasi salah yang diedarkan.

Namun, Dewan Pers sebagai lembaga yang bertanggungjawab soal media ini terus meningkatkan sumberdaya wartawan dan media melalui uji kompetensi wartawan (UKW). Hasil seleksi UKW membuat wartawan itu tersisih dengan sendirinya.

Apalagi sekarang, yang dituntut itu adalah kompetensinya. Semakin hebat wartawan itu, semakin cangkih pula bahan bacaannya, semakin banyak referensinya. Ibarat menuntut ilmu, wartawan tak boleh berhenti di situ. 

Terus dia tingkatkan kemampuannya, hingga tak putus-putusnya mendapatkan kemajuan dalam bidang dan profesinya.

Meskipun tersebut wartawan itu adalah orang yang paling bebas. Iya, tetapi ada batasan dan rambu-rambu yang jadi acuan wartawan dalam mengolah data yang didapatkannya. Ada kode etik jurnalistik yang menjunjung tinggi moralitas dan norma kemanusiaan, sehingga kebebasan wartawan bisa dipertanggungjawabkan dengan baik dan benar.

Makanya, sejatinya seorang wartawan itu tak pantas menggretak-gretak narasumbernya. Bertanya harus sesuai kompetensinya. Begitu juga seorang narasumber berhak melarang wartawan, sepanjang wartawan yang menemuinya itu tak kompeten.

Antara hak dan kewajiban wartawan dan narasumber itu diatur melalui Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Wartawan tak boleh jadi hakim dan polisi. Dia tetap seorang jurnalis yang memberlakukan narasumbernya sebagai praduga tak bersalah.

Meskipun sepatah kata, wartawan wajib memberikan ruang kepada seseorang yang merasa dirugikan oleh informan pertama. Makanya, wartawan punya tanggungjawab moral memberikan edukasi dan narasi positif, membangun kecerdasan masyarakat melalui sajian menarik di ruangan medianya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun