Mohon tunggu...
Daffa Binapraja
Daffa Binapraja Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir pada 25 Februari 2000, Jakarta Utara

Seorang pemuda yang menyukai fiksi ilmiah, Alternate History, dan sejarah dunia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Resonansi Waktu di Belakang Masjid (Bab IV)

2 Maret 2019   09:25 Diperbarui: 2 Maret 2019   09:46 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

MEIJI

Pada 1889, Turki Utsmani membuat 'pertukaran budaya' dengan Kekaisaran Jepang yang saat itu diperintah oleh Kaisar Meiji. Turki mengirimkan 600 orang ulama dan ratusan buku serta Al-Qur'an bersampul emas.

Setahun kemudian, kapal fregat Ertugrul yang mengangkut 'paket kebudayaan Kesultanan Turki' kandas di pesisir Wakayama. Hal ini memberi inisiatif bagi pihak Jepang untuk mengirim uang kepada Turki sebagai bantuan materi.

Portal yang kami masuki mengarah ke tengah fregat bernama 'Ertugrul', kapal ini mengarah menuju Pelabuhan Yokohama. Kapal ini berwarna merah dengan garis-garis hitam dan sabit-bintang putih, lengkap dengan tulisan nama kapal dalam bahasa Arab Turki, Arab, Urdu, dan Jawi, di mana semua bahasa tersebut menggunakan abjad Arab dan cara pengucapan yang berbeda-beda.

Kapal tersebut dibuat dari besi dan bergerak dengan mesin, bukan lagi dayung dalam jumlah raksasa, persenjataan kapal terdiri dari empat rudal anti-udara, delapan meriam inti, dan beberapa senapan mesin serbaguna. Ukuran kapal? Setengah dari kapal ekspedisi Cheng Ho yang konon 4 kali lebih besar dari kapal milik Christopher Columbus, mereka sama-sama melakukan ekspedisi ke benua Amerika.

Alfi langsung berkeliling kapal. Bagi Yanto, ini aneh.

"Lho, Alfi. Kau ngapain?"

Alfi langsung berbalik badan, "Memeriksa jumlah pelampung dan sekoci darurat, berguna, lho"

Alfi langsung bergerak ke geladak kiri kapal, sebelum akhirnya dicegat salah satu kru kapal.

"Hei!" Gertaknya, para kru kapal langsung mendengar semuanya, "Sedang apa kalian di sini? Bagaimana caranya kalian menyelinap di kapal ini? Kalian tak tahu, apa, kalau ini kapal militer, hah?!"

Seluruh kru kapal langsung mendengus marah begitu melihat kami, seseorang langsung keluar dari ruang kendali di dek atas kapal. Orang dengan seragam dan topi hitam-merah menatap kami dengan dingin dan raut wajahnya yang tua tetapi terlihat tangguh layaknya pelaut ahli.

"Siapa mereka?" Tanya beliau.

"Tak tahu, pak," Jawab seorang prajurit, "Mereka tiba-tiba saja muncul di sini."

"Bawa mereka ke ruang interogasi," Perintah sang kapten kapal, "Kita cari tahu apa yang ingin mereka lakukan."

.............................................................................................................................

Kami bertiga langsung dibawa ke ruang interogasi, dekat dengan kantin kapal. Interior dari ruang ini hampir sama dengan ruang interogasi di markas Kontingen, tetapi terdapat jendela persegi panjang buram di sisi kanan kami.

Jendela tersebut berada di samping kiri pintu ruangan, meja hitam dan dinding putih ruangan ini terlihat lebih lebar dan lebih luas. Meja interogasi terlihat lebih besar karena berbentuk persegi panjang.

Kami bertiga bersama kapten kapal dan ajudan kepercayaannya langsung duduk di kursi yang telah disediakan, ajudan yang kubicarakan ini memakai jas panjang berwarna merah dengan garis hitam dan sabit putih, sarung tangan dan masker hitam, serta serban merah dengan sabit putih.

"Mengapa kalian berada di kapal-" Pertanyaan sang ajudan langsung dihentikan oleh sang kapten.

"Anwar, mungkin mengetahui tujuan mereka di kapal ini lebih penting daripada menanyakan alasan mereka berada di kapal ini." Saran sang kapten.

"Tapi, pak, keberadaan mereka di kapal transportasi militer ini patut dicurigai karena mereka tidak terlihat seperti nelayan yang meminta tolong pada kita karena tangkapan mereka dicuri, pak." Sanggah Pak Anwar, ajudan kapten kapal.

"Lalu, menurutmu. Mereka ini seperti apa?" Sang kapten bertanya balik.

"Mata-mata asing yang menyelinap di kapal sambil berpura-pura sebagai warga sipil." Jawabnya.

"Lalu, bagaimana bapak bisa yakin kalau kami ini mata-mata?" Yanto langsung membantah pernyataan Pak Anwar,

"Kami tak punya niat keji apapun datang ke kapal ini! Kami ingin membantu ekspedisi bapak dengan menjelaskan pada bapak apa yang kami tahu tentang Jepang, negara yang ingin bapak kunjungi sebagai bagian dari misi pertukaran budaya Kesultanan!"

Langsung saja Alfi memukul kepala Yanto yang berada di sebelah kanan dirinya.

"Kau gila, apa?! Orang seperti itu kau gertak?! Ini kapal militer, barbar!" Bisik Alfi dengan marah, "Sekali lagi, ya. Ini kapal M-I-L-I-T-E-R, paham artinya itu? Orang di sini pasti keras karena mereka tentara, bung!"

Akhirnya, kukatakan apa yang harus kukatakan untuk meyakinkan sang kapten dan ajudannya.

"Maafkan teman-teman saya, pak. Kami bertiga ini memang betul pernah pergi bersama orang tua saya berkeliling Asia untuk berdagang, salah satu tujuan kami saat itu adalah ke Jepang. Jadi, kami ingin membantu bapak-bapak sekalian untuk perjalanan ini."

Sang kapten langsung mengangguk dan Alfi serta Yanto melihat ke arahku yang berada di kanan mereka.

"Jadi, itu ya, tujuan kalian?" Ajaib, sang kapten percaya begitu saja dengan 'kisah' kami.

"Sebentar, di mana surat izin kalian?!"

"Tenanglah, sekarang bapak bisa memercayai tujuan mereka," Sang kapten terlihat meyakinkan Pak Anwar, "Toh, mereka ini kumpulan pedagang,'kan?"

"Iya, pedagang Kesultanan Aceh." Kutambah lagi agar mereka semakin percaya.

"Sudah bapak bilang, 'kan, Anwar?" Sang kapten menanyakannya pada Pak Anwar, "Mereka tak berbahaya, kok. Belajarlah berbaik sangka dulu, kalaupun waspada, tak perlu sampai segitunya."

"I-iya, pak. Maafkan kesalahan saya, pak"

Lalu, kapten kapal menundukkan kepalanya dan meminta maaf kepada kami.

"Maafkan bapak dan ajudan bapak, ya."

"Tak apa, pak. Harusnya saya yang meminta maaf dan mulai belajar menyanggah dengan santun kepada bapak." Yanto ikut menunduk.

"Oh, ya. Ke manakah kesopanan bapak, ya? Nama bapak Daud Pasha, kalian bisa menyebut bapak Pak Daud."

"Saya Abdullah Sulaiman Alfi Al-Batawi, panggilan saya Alfi, pak"

"Nama saya Ahmad Apriyanto, pak. Saya biasa dipanggil Yanto"

"Dan saya Kuta Al-Fatih, bapak bisa memanggil saya Kuta"

"Ini ajudan bapak, Anwar Said."Kata Pak Daud sambil menunjuk orang yang ada di sebelahnya, "Kalian mungkin sudah mengenalinya sebagai Pak Anwar, 'kan?".

"Ya, pak" Alfi langsung menjawabnya.

"Jadi," Pak Anwar menatap kami dengan tajam, "Kalian bertiga ingin membantu kami dalam hal apa?".

"Kira-kira, harus kukatakan yang sebenarnya atau beritahu saja kalau kami ini membantu dalam hal navigasi, ya?" Kupikirkan sejenak apa yang kira-kira akan kubicarakan.

Pasalnya, mereka ini jelas pelaut Angkatan Laut Utsmani dan kalau bicara mengenai kapal, senjata mereka tidak hanya apa yang ada di geladak saja mengingat ukurannya setengah dari kapal Cheng Ho.

Konon, senjata Ertugrul terdiri dari 8 Meriam Krupp 15 cm,

2 Meriam Krupp 4,2 x 3 cm,

 5 Meriam Armstrong 150 pon atau 68 kg,

2 meriam Hotchkiss 5-laras 37mm dengan kaliber 18 pon atau 8 kg,

2 meriam Nordenfelt 5-laras 25mm berkaliber 206 gram,

1 roket 12 pon atau 5.4 kg,

1 roket 6 pon atau 2.7 kg,

2 torpedo,

 dan 200 senapan laras panjang untuk kru kapal.

Bisa jadi, bukan hanya itu senjata yang mereka punya.

"Baik," Kutarik napas secara perlahan, "Kira-kira, kita harus bilang apa, nih, kepada Pak Anwar?" Kubisikkan pertanyaan itu pada Alfi.

"Nah, kau mungkin yang paling tahu, tuh." Sahut Yanto.

"Sudah, lebih baik kita beritahu saja kalau kita ke sini untuk membantu dalam hal logistik dan informasi."

"Misalnya?" Akulah yang bertanya tadi.

"Mengangkut barang," Alfi menjawabnya dengan ketus, "Tak pernah lihat kuli kapal? Nah, kita bantu mengangkat bawaan mereka ke tujuan mereka."

"Sambil memberitahukan apa yang kita ketahui?" Giliran Yanto bertanya.

"Itu maksud dari kata informasi, mas." Jawab Alfi.

Semua sempat terdiam selama beberapa detik, "Jadi, bagaimana?" Tanya Alfi yang melihat sang kapten menunggu jawaban kita.

"Ya sudah." Itulah jawaban kita tanda sepakat.

Setelah itu, langsung kutatap Pak Anwar, "Logistik dan Informasi, pak. Kami bisa membantu bapak untuk mengangkut barang bawaan bapak dan memberikan informasi kepada bapak mengenai kebudayaan masyarakat Jepang."

"Baiklah," Respon Pak Anwar sembari menghela napas, "Persiapkan diri kalian, kapal ini akan mencapai Pelabuhan Yokohama dalam waktu 15 menit."

"Siap, pak!" Serentak, kami langsung mempersiapkan barang kami dan mengamati seisi kapal untuk mempermudah tugas kami.

..............................................................................................................................

"Selamat datang di Yokohama!" Sambut ratusan orang nelayan di desa itu.

Ratusan, tidak, ribuan orang warga  menyambut kami di depan pelabuhan. Anak-anak desa sampai lansia ikut menyalami sang kapten dan ajudan kapal.

Sementara itu, kami mengangkut  peti kemas yang berat sekali, mungkin sekitar 100 kilogram dari besarnya peti yang dibawa, untunglah hal ini dapat diselesaikan dengan cepat menggunakan troli otomatis yang dapat berjalan sendiri dan derek besar dari sisi bawah kapal...

"Hah? Derek kapal? Derek kapal hanya ada di abad 21, bukan di zaman ini!"

Ya, aku tahu. Tapi apa yang kulihat ini memang benar ada di mataku sendiri. Bahkan, aku tak tahu bagaimana menjelaskan semua 'kecanggihan' yang sedikit membingungkan bagiku, mengingat buku-buku sejarah di zamanku tak pernah menyebutkan adanya teknologi yang canggih selain penemuan para ilmuwan masa lampau.

Berjalan ke dalam salah satu kota paling modern di Kekaisaran Jepang pada masanya, kami terus mendorong troli otomatis menuju apa yang bisa disebut sebagai sebuah gedung administrasi kota. Gedung itu terlihat lebih besar dan megah dari bangunan di sekitar kota, atapnya berwarna biru dan temboknya berwarna putih.

Sebelum kami mencapai gedung itu, kami melewati sebuah distrik di mana banyak sekali orang asing berjualan, harmoni kedamaian di lingkungan para pedagang ini terlihat jelas.

Sampai ada seorang pemabuk berkebangsaan asing berkelahi dengan seorang samurai muda.

"HEI!" Gertak pemabuk itu bengis, "Kembalikan gelasku!"

"Pak, Anda sudah terlalu mabuk, pak!" Balas samurai itu ketus.

"Saya masih bisa berdiri, hai bocah! Tidak lihat saya masih bisa berdiri tanpa dipegangi orang kampungan sepertimu, HAH?!"

"Masalahnya adalah bapak tak menyadari apa yang telah bapak ucapkan!" Samurai itu menyanggahnya dengan menghembuskan napas, mulai kehilangan kesabarannya.

Apa yang awalnya merupakan respon sinis dari samurai itu mulai berubah menjadi amarah berapi-api begitu orang asing itu langsung memukulinya dan menghardiknya dengan sumpah-serapah yang sangat keji.

"DIAM KAU, ANAK KUDISAN! AKAN KUBUNUH KAU!"

Sebilah, tidak, beberapa pedang katana mulai keluar dari sarungnya dengan cepat. Beberapa penduduk pribumi mulai kesal dengan arogansi orang itu.

Tak peduli dengan respon masyarakat, orang itu mulai melempar gelas arak yang ada di mejanya.

Aku tak tahu lagi peristiwa selanjutnya.

..............................................................................................................................

"WOI! SINI LO, BAPAK MABOK!"

Aduh.

"YANTO, JANGAN!"

Semuanya masih terlihat gelap.

"Ya ampun! Kuta, sadarlah!"

Terdengar teriakan dan ejekan di tiap sudut telingaku.

Entah mengapa, kepalaku terasa sakit dan terasa seperti ada yang mengalir di kepalaku.

Untunglah, semua mulai terlihat walau agak kabur.

"Tolong, pak! Temanku mulai kehilangan darah, pak!"

"A....Alfi?"

"Alhamdulillah kau sadar."

"Yanto di mana?"

"Lagi mengejar orang mabuk tadi,"

Akhirnya, Aku bisa berdiri, walau masih membutuhkan bantuan Alfi.

"Eh, Al. Udah tertangkap orangnya,"

Kulihat Yanto yang bajunya ternoda bercak darah.

"Ayo kita bawa Kuta ke puskesmas,"

"Ayo," Jawab Yanto.

Sayangnya, kepalaku terlalu pusing untuk tetap sadar.

..............................................................................................................................

Mataku terbuka lagi, kali ini kutemukan diriku di.......

.......Unit Gawat Darurat Kontingen?

Kok, kami berada di Markas Kontingen, lagi?

"Sudah sadar, kawan?"

Langsung aku terbangun dan terkejut dari kasur UGD.

"Lho? Lubna?"

"Ya, ini aku, Lubna!" Jawabnya riang, "Kalau sudah sadar, langsung temui pak Gurun, ya!"

"Di mana?" Tanyaku, "Ruang Komando" Balas Lubna.

"Untuk apa-" Ia sudah keluar sembari melangkah gembira sebelum sempat kutanya.

"Ya ampun, aneh benar." Itulah pikiran utamaku, "Tapi, periang sekali dia."

Tak lama setelah Lubna keluar, Yanto dan Alfi langsung keluar.

"Kuta! Kau tak apa?" Yanto bertanya lebih dahulu.

"Kepalamu sudah sembuh, Kuta?" Alfi terlihat sangat khawatir.

"Ya, Alhamdulillah sudah sadar." Syukurlah kepalaku tak sakit lagi.

"Ayo, kita langsung ke Ruang Komando," Ucap Alfi, "Ada sesuatu yang ingin pak Gurun sampaikan pada kita."

"Apaan yang mau dikasih tahu?" Tanya Yanto.

"Entahlah," Alfi malah terlihat bingung, "Katanya Lubna, cuma disuruh temui pak Gurun."

"Ayo." Aku langsung beranjak dari kasur pasien

"Yuk, lah" Yanto langsung melangkah santai, bersama menuju pintu UGD.

.......................................................................................................................

Kami masuk kembali ke dalam Ruang Komando, pak Gurun telah menunggu di meja persegi panjang yang lebar, di belakangnya ada sebuah "jendela raksasa" yang menampilkan lingkungan Mars.

Di samping pak Gurun, Ustadz Yahya dan Lubna telah menunggu.

"Duduklah." Perintah pak Gurun.

Kami bertiga duduk di kursi rotan hitam di depan pak Gurun.

"Baiklah," Ucap pak Gurun, "Ketahuilah ini, misi aslinya lebih berbahaya dari apa yang baru saja kalian laksanakan."

"Maksudnya?" Kami bertiga bertanya pada saat bersamaan.

"Maksud pak Gurun adalah kalian tadi sebenarnya dikirim ke portal itu untuk sebuah latihan." Ucap Ustadz Yahya.

"Dengan kata lain, semua pengalaman kalian yang ada hubungannya dengan masa lampau dan mengandung senjata masa depan, Resonansi Waktu, hingga pengiriman kalian menuju Wakayama, itu semua latihan dalam bentuk simulasi hologram." Lubna menambahkan.

"Kalian berhasil melewati semuanya," Pak Gurun memberi selamat kepada kami, "Kalian memiliki kerja sama yang baik. Yanto memiliki loyalitas tinggi terhadap teman, Alfi mampu menganalisis situasi, dan Kuta memiliki inisiatif dalam menjalankan suatu rencana."

"Hah? Jadi Resonansi Waktunya bohong, dong?" Yanto menganga.

"Tidak juga," Lubna tersenyum, "Sebenarnya, 'Resonansi Waktu' bukanlah fenomena menjelajah waktu. Fenomena itu akan kuberitahukan lebih lanjut."

"Oalah, kita dibohongi dengan kisah fiksi ilmiah." Alfi bingung harus bereaksi seperti apa.

"Cerdik, sih, Al," Jawabku, mencoba berpikir positif, "Tapi, mengapa?"

"Sebenarnya, kami ingin mencari kandidat dengan rasa penasaran tinggi dan kemampuan bekerja sama yang baik." Kata Ustadz Yahya.

"Baik, bisa jelaskan lebih dulu untuk apa Kontingen Khawarizmi melatih kami dengan tipuan- Tidak, 'alibi' menjelajah waktu?" Aku mulai bingung dengan mereka.

"Kontingen Khawarizmi butuh anggota yang dapat merahasiakan dan mempertahankan organisasi ini agar tetap rahasia." Kata pak Gurun.

"Kontingen ini juga membutuhkan orang yang melaksanakan perintah tanpa meragukan dan mengingkarinya." Ustadz Yahya menambahkan.

"Kenapa harus tetap rahasia? Apa karena nanti akan mengundang kepanikan masyarakat dunia mengingat ada Legiun Zion sebagai musuh?" Tanya Alfi.

"Benar, Alfi. Sudah menjadi protokol kami untuk menjadi pelindung tersembunyi Umat Islam, menjadi perisai sekaligus pedang Umat dari ancaman sekelas Legiun Zion" Jawab Lubna.

"Turki Utsmani memang tak mungkin semodern itu," Pak Gurun menghela napas sebelum mulai berbicara lagi, "Kalian tahu Pedang Damaskus?" Tanya beliau.

"Ya, Pedang Damaskus ini konon menjadi pedang dengan pola paling rumit dan fleksibel sekaligus kuat di dunia, kan?" Jawab Alfi.

"Tepat sekali," Ucap pak Gurun, "Tapi, apakah kalian tahu bahwa produksi pedang ini berhenti pada 1750-"

"Pak Gurun, mungkin lebih tepat apabila kita menjelaskan tujuan organisasi Kontingen Khawarizmi yang sebenarnya." Ustadz Yahya menyela pembicaraan.

"Baiklah, Kontingen Khawarizmi dibentuk tidak hanya untuk meneliti bagian-bagian tersembunyi sejarah Islam dan mempertahankannya, akan tetapi untuk menganalisis setiap kemungkinan adanya penemuan atau peristiwa sejarah yang berhubungan dengan Masyarakat Islam." Kata pak Gurun.

"Perlu diketahui, sebagian teknologi canggih yang ada di dalam Kesultanan-Kesultanan Islam konon berasal dari sebuah tempat yang tersembunyi di antara kepulauan Nusantara dan Filipina." Lanjutnya.

"Jadi, tempat ini berada di antara Indonesia dan Filipina?" Tanyaku penasaran.

"Ya," Kali ini, Ustadz Yahya yang menjawabnya, "Tetapi, lebih tepat disebut peradaban atau Kesultanan Islam tersembunyi."

"Ada beberapa dokumen milik berbagai Kesultanan di seluruh dunia yang menyebutkan tempat ini." Lubna menyambung jawaban Ustadz Yahya. "Satu contoh, Kesultanan Utsmani menyebutkan bahwa mereka mendapatkan bahan-bahan untuk Pedang Damaskus mereka dari 'Kesultanan berbentuk kumpulan pulau' di dekat Kesultanan Sulu."

Lubna lalu menunjukkan sebuah dokumen dari zaman Turki Utsmani:

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,

Dari Sultan Muhammad Al-Fatih, Penguasa Konstantinopel, Kaisar Rumiyah, dan Sultan dari Kesultanan Utsmani.

Kepada Sultan Zahir Al-Malindiyah, Sultan yang menguasai Laut Cina Selatan, Penguasa daerah pelbagai bangsa, dan Pemimpin Kesultanan Malindau.

 

Segala puji bagi Allah Azza Wa Jalla yang telah melimpahkan nikmat keimanan dan ukhuwwah serta kemajuan tiap masyarakat Islam pada hari ini. Kami, Kesultanan Utsmani, berterima kasih atas pemberian logam dan pelbagai bantuan materi yang diberikan oleh Anda untuk membantu perang kami melawan Venesia.

Atas Rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, kami berhasil menguasai kota Shkodra di Albania yang dikuasai oleh Salibis Venesia.

Lalu, kemenangan ini muncul karena bantuan logam campuran yang Anda berikan dari Kesultanan Malindau sehingga kami memiliki surplus Pedang Damaskus untuk dibagikan kepada Korps Yanisari yang bertempur di Shkodra.

Setelah keberhasilan ini, kami berencana untuk mengadakan program pengembangan sosial dengan cara mengenalkan masyarakat Shkodra tak hanya kepada Islam namun juga Kesultanan-Kesultanan Islam lainnya seperti Aceh dan Delhi. Jika Anda tidak keberatan, kami meminta Anda selaku sultan Malindau untuk ikut mengakomodasi program ini.

Insya Allah, alim ulama kami siap membantu Anda dalam mengatur masyarakat Kesultanan Malindau yang tak hanya multikultural namun juga multirasial.

Saya pribadi berharap persatuan dan hubungan ukhuwah antar Umat dapat kita pertahankan hingga akhir hayat hidup kita.

Istanbul.

20 Juni 1479 M"

"Dalam dokumen ini, disebutkan adanya kata 'logam campuran' yang diberikan oleh pihak Malindau," Lubna lalu menunjuk salah satu paragraf dari surat tersebut.

"Lalu, maksudnya apa, kalau boleh tahu?" Tanya Alfi, "Bukankah mencampurkan logam menjadi sesuatu yang biasa dilakukan dalam metalurgi?"

"Tampaknya biasa, tetapi pada saat kami meneliti salah satu Pedang Damaskus di Museum Topkapi, kami tak hanya menemukan pola besi yang unik. Komposisi logam pedangnya memiliki sifat khusus di dalamnya." Kata pak Gurun.

Pola besi unik? Komposisi logam khusus? Apa maksud dari pak Gurun?

Apa hubungan antara Kepulauan Malindau, Kesultanan Utsmani, dan Pedang Damaskus?

Aku penasaran.

Bersambung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun