Walaupun demikian, jika dicermati  ditemukan sebuah ketidaksesuaian kritis yakni meskipun PT dirancang untuk memperkuat partai besar dengan mengeliminasi partai kecil, sistem proporsional terbuka yang dianut Indonesia justru rentan terhadap praktik politik uang dan memungkinkan dominasi modal dalam internal partai besar itu sendiri.
Kondisi tersebut menciptakan sebuah tantangan mendalam. Sistem yang ingin dicapai mungkin "kuat secara struktural" karena jumlah partai yang terbatas, tetapi secara substansial rapuh dan kurang legitimasinya.
Jika parlemen didominasi oleh perwakilan yang tidak mencerminkan aspirasi rakyat secara otentik, melainkan oleh mereka yang memiliki modal besar, maka legitimasi demokratisnya dapat dipertanyakan.
Definisi "sistem presidensial yang kuat" harus diredefinisikan untuk mencakup tidak hanya efisiensi struktural, tetapi juga kualitas dan representasi demokratis yang substantif. Kekuatan yang dicapai dengan mengorbankan representasi yang tulus dapat bersifat dangkal dan tidak berkelanjutan.
Jika legislatif dianggap dapat "dibeli" bukannya benar-benar mewakili rakyat, maka kepercayaan publik akan terkikis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam jangka panjang.
Pengalaman Ambang Batas Parlemen dan Sistem Pemilu di Berbagai Negara
Pengalaman internasional dalam penerapan ambang batas parlemen menunjukkan keragaman yang signifikan, mencerminkan adaptasi terhadap konteks politik, sejarah, dan tujuan spesifik masing-masing negara.
Di Eropa, misalnya, Jerman menerapkan ambang batas 5% dalam sistem proporsionalnya, sebuah kebijakan yang dirancang pasca-Perang Dunia II untuk mencegah fragmentasi ekstrem yang pernah terjadi. Polandia juga memiliki ambang batas yang relatif tinggi, yaitu 5% untuk setiap partai dan 8% untuk koalisi partai.
Dalam pemilihan Parlemen Eropa 2019, terdapat variasi yang cukup besar: sembilan negara anggota menerapkan 5%, sementara Italia, Austria, dan Swedia menggunakan 4%, dan Yunani 3%. Menariknya, 14 negara anggota tidak menerapkan ambang batas sama sekali.
Keragaman tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada konsensus tunggal mengenai besaran ambang batas yang ideal, dan penerapannya sangat kontekstual, disesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika politik domestik.
Di Asia, Taiwan menerapkan ambang batas 5%, Korea Selatan 3%, dan Filipina 2% (). Amerika Serikat, dengan sistem distrik tunggal mayoritasnya, secara alami cenderung menghasilkan sistem dua partai dan tidak memerlukan ambang batas proporsional.