Fakta politik tersebut secara gamblang menunjukkan sebuah kontradiksi antara tujuan kebijakan dan hasil yang teramati. Bukannya secara konsisten menyederhanakan jumlah fraksi, PT hanya berhasil menjaga jumlahnya tetap berfluktuasi antara 9 hingga 10.
Hal itu menunjukkan bahwa ambang batas mungkin lebih efektif dalam menyingkirkan partai-partai yang sangat kecil, tetapi kurang berhasil dalam mengubah medan kompetisi di antara partai-partai menengah dan besar.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa faktor-faktor lain dalam sistem pemilu, di luar besaran ambang batas semata, juga sangat berpengaruh dalam membentuk jumlah fraksi yang sesungguhnya.
Dampak yang paling signifikan dan merusak dari penerapan PT bukanlah pada penyederhanaan fraksi, melainkan pada fenomena "suara terbuang" (wasted votes). Fenomena tersebut adalah manifestasi nyata dari ketegangan inheren antara tujuan stabilitas dan prinsip representasi demokratis.
Jutaan suara pemilih sah tidak dapat dikonversi menjadi kursi di DPR karena partai yang mereka pilih tidak lolos ambang batas. Sebagai contoh, pada Pemilu 2019, 13.60 juta suara, atau sekitar 9.7%, juga terbuang . Jutaan suara yang tidak memiliki dampak elektoral adalah erosi kedaulatan rakyat yang termanifestasi secara nyata.
Hal ini melampaui kritik teknis dan menjadi tantangan mendasar terhadap legitimasi demokrasi itu sendiri. Ketika sebagian besar pemilih merasa suara mereka tidak memiliki arti, hal tersebut dapat mengikis kepercayaan terhadap proses demokrasi, yang berpotensi menyebabkan sinisme, apati politik, atau bahkan pencarian jalur non-demokratis untuk ekspresi politik.
Sistem Presidensial Kuat dan Tantangan Fragmentasi Partai
Dalam literatur ilmu politik kontemporer, kombinasi sistem presidensial dengan sistem multipartai yang terfragmentasi seringkali dianggap sebagai resep bagi instabilitas pemerintahan, menghambat pembangunan konsensus, dan berpotensi menimbulkan kebuntuan legislatif (Mainwaring, 1990).
Hipotesis Duverger, yang menyatakan bahwa sistem pemilu proporsional cenderung mendorong pembentukan banyak partai politik, sangat relevan dengan konteks Indonesia (Duverger, 1964). Untuk mengukur tingkat fragmentasi ini, konsep "Effective Number of Parties" (ENEP/ENPP).
Sementara, Shugart dan Carey (1992) berargumen bahwa fragmentasi partai seharusnya lebih rendah dalam sistem presidensial dibandingkan parlementer, yang sebagian dapat dijelaskan oleh dinamika sistem elektoralnya.
Pendekatan institusionalisme baru menawarkan kerangka untuk memahami bagaimana institusi politik, termasuk undang-undang pemilu, membentuk perilaku aktor politik. Dalam konteks ini, ambang batas parlemen adalah sebuah desain institusional yang bertujuan merekayasa sistem kepartaian menuju stabilitas.