Dalam kancah pergulatan demokrasi modern, sebuah persoalan pelik senantiasa membayangi negara-negara yang menganut sistem presidensial multipartai yaitu bagaimana menyeimbangkan antara efisiensi pemerintahan yang stabil dengan prinsip representasi kedaulatan rakyat yang utuh.
Indonesia, sebagai sebuah republik yang terus berupaya mematangkan konsolidasi demokrasinya, tak luput dari pusaran polemik ini. Persoalan ini tidak hanya terletak pada penyesuaian angka ambang batas parlemen (PT), melainkan pada rekonstruksi sistemik yang lebih mendalam, di mana pergeseran ke sistem proporsional daftar tertutup menjadi keniscayaan strategis untuk mengatasi akar masalah tersebut.
Sistem proporsional daftar terbuka yang diterapkan saat ini, meskipun bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas langsung wakil rakyat, telah menunjukkan kekurangan fundamentalnya.
Sistem ini menciptakan insentif bagi individu untuk bersaing satu sama lain memperebutkan suara, yang seringkali mengesampingkan kompetensi, integritas, dan koherensi ideologi demi modal finansial.
Fenomena ini menghasilkan sebuah penyimpangan yang harus ditelaah secara mendalam. Mekanisme persaingan antar-kandidat dari partai yang sama dalam sistem terbuka secara langsung memicu peningkatan biaya kampanye individu dan maraknya praktik politik uang.
Hal ini pada gilirannya menggeser kriteria seleksi calon dari berbasis meritokrasi menjadi berbasis modal, yang berujung pada representasi parlemen yang didominasi oleh segmen masyarakat dengan kekuatan finansial yang besar.
Akibatnya, parlemen yang ingin dibangun agar kuat secara kelembagaan melalui instrumen seperti ambang batas, justru menjadi rapuh secara substansi dan kehilangan legitimasi demokratisnya karena tidak mencerminkan aspirasi rakyat secara otentik. Situasi ini menciptakan tantangan mendasar terhadap kesehatan dan keberlanjutan demokrasi Indonesia.
Â
Anatomi Ambang Batas Parlemen di Indonesia
Indonesia mulai menerapkan ambang batas parlemen (PT) pada Pemilu 2009 dengan besaran 2.5% dari suara sah nasional, sebuah kebijakan yang bertujuan untuk menyederhanakan sistem multipartai demi efektivitas kinerja parlemen.
Besaran ini kemudian ditingkatkan menjadi 3.5% pada Pemilu 2014 dan kembali naik menjadi 4% pada Pemilu 2019 dan 202. Akan tetapi, data empiris yang dihimpun dari beberapa periode pemilu menunjukkan bahwa kenaikan persentase ini tidak secara konsisten atau linier berkorelasi dengan penurunan jumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pada Pemilu 2004, sebelum PT diberlakukan secara nasional, terdapat 10 fraksi di DPR RI, dengan 16 partai yang berhasil menempatkan wakilnya. Uniknya, sekitar 19.05 juta suara sah pemilih, atau sekitar 18% dari total suara nasional, tidak dapat dikonversi menjadi kursi.
Setelah penerapan PT 2.5% pada Pemilu 2009, jumlah fraksi memang berkurang menjadi 9, dengan 9 partai yang berhasil lolos ambang batas. Meski begitu, ketika PT dinaikkan menjadi 3.5% pada Pemilu 2014, jumlah fraksi kembali meningkat menjadi 10, meskipun 10 partai berhasil lolos. Barulah pada Pemilu 2019, dengan PT 4%, jumlah fraksi kembali menjadi 9, dengan 9 partai yang lolos.