Sementara fresh graduate juga kesulitan, karena hampir semua lowongan mensyaratkan “pengalaman minimal dua tahun”. Jadi, entah di mana posisi aman bagi rakyat biasa yang cuma ingin bertahan hidup dengan cara yang halal dan layak.
Pemerintah, Aturan Nyeleneh, dan Suara Rakyat yang Tak Didengar
Bukan hanya soal pekerjaan. Setahun terakhir ini, rakyat juga dibuat geleng-geleng kepala dengan sejumlah kebijakan dan pernyataan dari para petinggi negara.
Mulai dari aturan-aturan yang berubah tanpa penjelasan yang masuk akal, hingga keputusan yang terasa lebih mengutamakan kepentingan elite daripada kepentingan rakyat.
Contoh kecil tapi nyata adalah kebijakan pajak yang makin terasa memberatkan. Setiap aktivitas ekonomi, sekecil apa pun, mulai disentuh oleh kewajiban pajak yang sering kali tak diimbangi dengan layanan publik yang membaik.
Masyarakat mulai lelah, bukan karena tak mau taat aturan, tapi karena merasa aturan itu tak lagi berpihak pada mereka.
Rakyat butuh kepastian, bukan kejutan-kejutan baru yang membingungkan. Mereka ingin pemimpin yang mampu merasakan denyut nadi kehidupan di bawah - bukan sekadar memantau dari podium atau ruang rapat ber-AC.
Dan yang paling menyakitkan, ketika rakyat berani turun ke jalan menyuarakan keluh kesahnya, justru tak ada telinga yang mau mendengar. Demo besar yang digelar beberapa waktu lalu menjadi cermin nyata: rakyat bersuara, tapi para petinggi justru memilih diam dan menghindar.
Alih-alih turun menemui atau membuka dialog, banyak dari mereka justru pergi ke luar negeri. Kantor-kantor pemerintahan tutup rapat, seolah tak ada apa-apa.
Sementara di jalanan, rakyat dihadapkan dengan aparat yang sejatinya juga sama-sama bagian dari mereka - hanya saja dipaksa berdiri di sisi berlawanan.
Situasi itu memunculkan luka baru: rakyat merasa ditindas oleh negaranya sendiri. Padahal yang diinginkan hanyalah didengar, bukan dilawan.