Setiap pemerintahan selalu datang dengan janji dan harapan. Rakyat menyambut dengan rasa optimistis, meski sebagian masih menahan ragu. Sejak satu tahun lalu, Indonesia kembali menaruh keyakinan kepada pasangan baru di pucuk kekuasaan.
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka diberi amanah untuk memimpin negeri ini menuju arah yang lebih baik - setidaknya begitu harapan awalnya. Namun, seiring waktu, optimisme itu mulai diuji oleh realitas di lapangan yang tak selalu berpihak pada rakyat kecil.
Banyak yang mengira perubahan besar akan segera terasa: harga stabil, pekerjaan mudah, dan hukum tegak untuk semua. Tapi yang terjadi, justru kehidupan makin pelik.
Bukan karena rakyat menuntut hasil instan, melainkan karena tanda-tanda kemajuan itu belum benar-benar terasa. Yang muncul justru keluh kesah, kekecewaan, dan rasa kehilangan arah.
Janji 17 Juta Lapangan Kerja dan Realitas di Lapangan
Masih segar di ingatan bagaimana janji 17 juta lapangan kerja jadi salah satu magnet terbesar kampanye tahun lalu. Rakyat tentu antusias, apalagi setelah melewati masa sulit pasca-pandemi. Tapi kini, satu tahun berlalu, di mana semua itu?
Di berbagai kota, berita PHK justru makin sering muncul. Industri padat karya seperti garmen dan manufaktur mulai merumahkan karyawan karena pesanan menurun.
Di sisi lain, dunia digital yang dulu digadang-gadang jadi penopang ekonomi justru sedang lesu. Startup tumbang, marketplace sepi, dan lapangan kerja digital yang dijanjikan tak secerah yang diharapkan.
Ironinya, di tengah situasi itu, syarat mencari kerja makin ribet. Buat SKCK harus punya BPJS aktif, dan BPJS itu sendiri harus dibayar penuh agar dianggap sah. Sementara bagi mereka yang belum bekerja, aturan seperti ini terasa seperti candaan pahit. Mau kerja harus punya BPJS, mau punya BPJS harus punya uang, tapi uangnya dari mana kalau belum kerja?
Di sisi lain, diskriminasi usia masih kuat. Banyak perusahaan menolak pelamar di atas 35 tahun, bahkan untuk posisi yang sebenarnya bisa dikerjakan dengan pengalaman.
Sementara fresh graduate juga kesulitan, karena hampir semua lowongan mensyaratkan “pengalaman minimal dua tahun”. Jadi, entah di mana posisi aman bagi rakyat biasa yang cuma ingin bertahan hidup dengan cara yang halal dan layak.
Pemerintah, Aturan Nyeleneh, dan Suara Rakyat yang Tak Didengar
Bukan hanya soal pekerjaan. Setahun terakhir ini, rakyat juga dibuat geleng-geleng kepala dengan sejumlah kebijakan dan pernyataan dari para petinggi negara.
Mulai dari aturan-aturan yang berubah tanpa penjelasan yang masuk akal, hingga keputusan yang terasa lebih mengutamakan kepentingan elite daripada kepentingan rakyat.
Contoh kecil tapi nyata adalah kebijakan pajak yang makin terasa memberatkan. Setiap aktivitas ekonomi, sekecil apa pun, mulai disentuh oleh kewajiban pajak yang sering kali tak diimbangi dengan layanan publik yang membaik.
Masyarakat mulai lelah, bukan karena tak mau taat aturan, tapi karena merasa aturan itu tak lagi berpihak pada mereka.
Rakyat butuh kepastian, bukan kejutan-kejutan baru yang membingungkan. Mereka ingin pemimpin yang mampu merasakan denyut nadi kehidupan di bawah - bukan sekadar memantau dari podium atau ruang rapat ber-AC.
Dan yang paling menyakitkan, ketika rakyat berani turun ke jalan menyuarakan keluh kesahnya, justru tak ada telinga yang mau mendengar. Demo besar yang digelar beberapa waktu lalu menjadi cermin nyata: rakyat bersuara, tapi para petinggi justru memilih diam dan menghindar.
Alih-alih turun menemui atau membuka dialog, banyak dari mereka justru pergi ke luar negeri. Kantor-kantor pemerintahan tutup rapat, seolah tak ada apa-apa.
Sementara di jalanan, rakyat dihadapkan dengan aparat yang sejatinya juga sama-sama bagian dari mereka - hanya saja dipaksa berdiri di sisi berlawanan.
Situasi itu memunculkan luka baru: rakyat merasa ditindas oleh negaranya sendiri. Padahal yang diinginkan hanyalah didengar, bukan dilawan.
Hukum, Rasa Keadilan, dan Harapan yang Masih Bisa Diperbaiki
Kalau bicara soal hukum, banyak orang mulai kehilangan rasa percaya. Kasus demi kasus besar kerap berakhir dengan kejanggalan. Orang kecil tersandung hukum, cepat diadili dan divonis. Tapi kalau yang terlibat pejabat, pengusaha besar, atau orang berkuasa, prosesnya bisa mendadak lambat, berliku, bahkan hilang arah.
Rasa keadilan publik itu seperti kaca: sekali retak, susah diperbaiki. Pemerintah seharusnya sadar, kepercayaan rakyat bukan cuma soal ekonomi, tapi juga soal moral dan rasa adil. Karena tanpa rasa adil, pertumbuhan ekonomi sehebat apa pun akan terasa kosong. Apa gunanya GDP naik, kalau rakyat tetap merasa hidup di negeri yang tak berpihak?
Namun di tengah rasa kecewa itu, tentu masih ada harapan. Harapan agar pemerintah mau mendengar, bukan sekadar mendikte. Harapan agar kritik tak dianggap ancaman, tapi dijadikan bahan introspeksi. Harapan agar pemimpin benar-benar memihak rakyat, bukan hanya memoles citra di depan kamera.
Tahun pertama mungkin belum sempurna, tapi masih ada empat tahun lagi. Masih ada waktu untuk memperbaiki arah.
Pemerintah harus berani menurunkan ego dan benar-benar turun ke lapangan - melihat sendiri bagaimana rakyat berjuang di tengah harga yang naik, pekerjaan yang langka, dan keadilan yang terasa timpang.
Sektor yang paling perlu perhatian tentu adalah lapangan kerja dan penegakan hukum. Karena dua hal ini saling terkait. Tanpa pekerjaan, rakyat kehilangan harapan. Tanpa hukum yang adil, rakyat kehilangan kepercayaan. Dan tanpa harapan serta kepercayaan, pemerintahan apa pun akan kehilangan maknanya.
Rakyat sudah lelah dengan janji. Yang mereka butuhkan sekarang adalah bukti. Bukti bahwa negara ini masih punya empati. Bahwa pemimpinnya bukan sekadar pandai berbicara, tapi juga mau mendengar.
Setahun pemerintahan ini bisa jadi bahan refleksi, bukan sekadar perayaan. Karena pemerintahan yang baik bukan diukur dari berapa banyak proyek diresmikan, tapi seberapa besar perubahan nyata dirasakan oleh rakyat di bawah.
Kita tak butuh 17 juta janji, kita hanya butuh satu: kehadiran negara yang benar-benar berpihak kepada rakyatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI