Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setahun Prabowo-Gibran: Janji, Harapan, dan Rasa yang Tertinggal di Jalan

14 Oktober 2025   20:48 Diperbarui: 15 Oktober 2025   14:59 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ribuan mahasiswa dan warga menggelar aksi damai di Jakarta, menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah. (Sumber: Human Rights Watch.)

Contoh kecil tapi nyata adalah kebijakan pajak yang makin terasa memberatkan. Setiap aktivitas ekonomi, sekecil apa pun, mulai disentuh oleh kewajiban pajak yang sering kali tak diimbangi dengan layanan publik yang membaik. Masyarakat mulai lelah, bukan karena tak mau taat aturan, tapi karena merasa aturan itu tak lagi berpihak pada mereka.

Rakyat butuh kepastian, bukan kejutan-kejutan baru yang membingungkan. Mereka ingin pemimpin yang mampu merasakan denyut nadi kehidupan di bawah - bukan sekadar memantau dari podium atau ruang rapat ber-AC.

Dan yang paling menyakitkan, ketika rakyat berani turun ke jalan menyuarakan keluh kesahnya, justru tak ada telinga yang mau mendengar. Demo besar yang digelar beberapa waktu lalu menjadi cermin nyata: rakyat bersuara, tapi para petinggi justru memilih diam dan menghindar.

Alih-alih turun menemui atau membuka dialog, banyak dari mereka justru pergi ke luar negeri. Kantor-kantor pemerintahan tutup rapat, seolah tak ada apa-apa.

Sementara di jalanan, rakyat dihadapkan dengan aparat yang sejatinya juga sama-sama bagian dari mereka - hanya saja dipaksa berdiri di sisi berlawanan. Situasi itu memunculkan luka baru: rakyat merasa ditindas oleh negaranya sendiri. Padahal yang diinginkan hanyalah didengar, bukan dilawan.

Hukum, Rasa Keadilan, dan Harapan yang Masih Bisa Diperbaiki

Kalau bicara soal hukum, banyak orang mulai kehilangan rasa percaya. Kasus demi kasus besar kerap berakhir dengan kejanggalan. Orang kecil tersandung hukum, cepat diadili dan divonis. Tapi kalau yang terlibat pejabat, pengusaha besar, atau orang berkuasa, prosesnya bisa mendadak lambat, berliku, bahkan hilang arah.

Rasa keadilan publik itu seperti kaca: sekali retak, susah diperbaiki. Pemerintah seharusnya sadar, kepercayaan rakyat bukan cuma soal ekonomi, tapi juga soal moral dan rasa adil. Karena tanpa rasa adil, pertumbuhan ekonomi sehebat apa pun akan terasa kosong. Apa gunanya GDP naik, kalau rakyat tetap merasa hidup di negeri yang tak berpihak?

Namun di tengah rasa kecewa itu, tentu masih ada harapan. Harapan agar pemerintah mau mendengar, bukan sekadar mendikte. Harapan agar kritik tak dianggap ancaman, tapi dijadikan bahan introspeksi. Harapan agar pemimpin benar-benar memihak rakyat, bukan hanya memoles citra di depan kamera.

Tahun pertama mungkin belum sempurna, tapi masih ada empat tahun lagi. Masih ada waktu untuk memperbaiki arah. Pemerintah harus berani menurunkan ego dan benar-benar turun ke lapangan - melihat sendiri bagaimana rakyat berjuang di tengah harga yang naik, pekerjaan yang langka, dan keadilan yang terasa timpang.

Sektor yang paling perlu perhatian tentu adalah lapangan kerja dan penegakan hukum. Karena dua hal ini saling terkait. Tanpa pekerjaan, rakyat kehilangan harapan. Tanpa hukum yang adil, rakyat kehilangan kepercayaan. Dan tanpa harapan serta kepercayaan, pemerintahan apa pun akan kehilangan maknanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun